Hartini

istri ke-4 Presiden Soekarno

Siti Suhartini atau lebih dikenal dengan nama Hartini Soekarno[1] (20 September 1924 – 12 Maret 2002) adalah istri keempat Presiden RI Soekarno.

Hartini
Hartini, 1954
Ibu Negara Indonesia (tidak resmi)
Masa jabatan
7 Juli 1953 – 12 Maret 1967
Sebelum
Pendahulu
Fatmawati (menjabat sejak 18 Agustus 1945)
Pengganti
Siti Hartinah
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir20 September 1924
Pudak, Ponorogo, Hindia Belanda
Meninggal12 Maret 2002(2002-03-12) (umur 77)
Jakarta, Indonesia
KewarganegaraanIndonesia
Suami/istriDr. Soewondo (?–1952)
Ir. Soekarno (1953–1970)
Anakdari Soewondo
  • Siti Suwandari
  • Herwindo
  • Tri Harwanto
  • Sri Wulandari
  • Riswulan

dari Soekarno
Orang tua
  • Osan Murawi (ayah)
  • Mairah (ibu)
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Riwayat Hidup

sunting

Masa Kecil

sunting

Hartini lahir pada tanggal 20 September 1924 di Jakarta sebagai anak kedua dari lima bersaudara pasangan Osan Murawi dan Mairah.[2] Ayahnya Osan adalah pegawai Departemen Kehutanan yang rutin berpindah kota. Hartini menamatkan SD di Malang dan ia diangkat anak oleh keluarga Oesman di Bandung. Hartini melanjutkan pendidikan di Nijverheidsschool (Sekolah Kepandaian Putri) Bandung. Hartini menamatkan SMP dan SMU di Bandung. Hartini remaja dikenal cantik, dan Hartini muda menikahi Soewondo dan menetap di Salatiga. Ia menjadi janda pada usia 28 tahun dengan lima orang anak. Tahun 1952 di Salatiga, Hartini berkenalan dengan Soekarno yang rupanya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Saat itu Soekarno, dalam perjalanan menuju Yogyakarta untuk meresmikan Masjid Syuhada.

Istri Keempat Soekarno

sunting

Setahun kemudian, Hartini dan Soekarno bertemu saat peresmian teater terbuka Ramayana di Candi Prambanan. Melalui seorang teman, Soekarno mengirimkan sepucuk surat kepada Hartini dengan nama samaran Srihana. Dua hari setelah Guruh Soekarno Putra lahir, tanggal 15 Januari 1953, Soekarno meminta izin Fatmawati untuk menikahi Hartini. Fatmawati mengizinkan, tetapi kemudian menyebabkannya menuai protes dari berbagai organisasi wanita yang dimotori Perwari yang anti poligami. Soekarno dan Hartini akhirnya menikah di Istana Cipanas, 7 Juli 1953. Tahun 1964 Hartini pindah ke salah satu paviliun di Istana Bogor. Hartini ikut mendampingi acara kenegaraan Soekarno di Istana Bogor, antara lain menemui Ho Chi Minh, Norodom Sihanouk, Akihito dan Michiko.

 
Makam Hartini di TPU Karet Bivak

Pada masa tahun 1950-an, saat nasionalisme dan revolusi sangat kuat mewarnai citra diri Soekarno, membuat peran Hartini di Istana Bogor sangat besar dan ia menjadi satu-satunya istri yang paling lama bisa bertemu dengan Soekarno. Meski demikian dekat, Soekarno masih menikahi Ratna Sari Dewi (1961), Haryati (Mei 1963) dan Yurike Sanger (Agustus 1964). Namun sejarah mencatat, Hartini telah mengisi paruh kehidupan Soekarno. Dia lambang perempuan Jawa yang setia, nrimo, dan penuh bekti terhadap guru laki.

Kehidupan Pribadi

sunting

Anak-anak

sunting

Hartini menikah dengan Soewondo Soeryosoedarmo (8 Agustus 1916 – 5 Desember 1972) saat usianya masih belia. Mereka dikaruniai 5 orang anak yaitu:

  • Siti Suwandari Soewondo Soeryosoedarmo
  • Herwindo Soewondo Soeryosoedarmo (w. 23 Juni 2017), yang pernah menikahi artis Rima Melati (l. 22 Agustus 1938) pada tahun 1969 [3]
  • Tri Harwanto Soewondo Soeryosoedarmo, menikah dengan Ardiani Harwanto [4]
  • Sri Wulandari Soewondo Soeryosoedarmo
  • Riswulan Soewondo Soeryosoedarmo

Setelah bercerai dengan Soewondo, Hartini dikaruniai 2 orang anak dari pernikahannya dengan Soekarno, yaitu:

  • Taufan Soekarnoputra (27 Maret 1955 – 17 Januari 1986), menikah dengan Iryani Levana Banubrata (l. 5 Januari 1958)
  • Bayu Soekarnoputra (l. 1958)

Kematian

sunting

Hartini meninggal di Jakarta 12 Maret 2002 dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak. Hartini meninggalkan 7 anak yaitu Bayu Soekarnoputra dan almarhum Taufan Soekarnoputra (berayah Bung Karno) serta Siti Suwandari, Herwindo, Tri Harwanto, Sri Wulandari dan Riswulan (berayah Soeswondo).

Pranala luar

sunting
  1. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-08. Diakses tanggal 2022-03-07. 
  2. ^ name=https://www-law--justice-co.cdn.ampproject.org/v/s/www.law-justice.co/amp/40537/pendamping-setia-sukarno/?amp_js_v=a6&amp_gsa=1&usqp=mq331AQKKAFQArABIIACAw%3D%3D#aoh=16489637839952&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&amp_tf=Dari%20%251%24s&ampshare=https%3A%2F%2Fwww.law-justice.co%2Fartikel%2F40537%2Fpendamping-setia-sukarno%2F Diarsipkan 2023-01-22 di Wayback Machine.
  3. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-02-20. Diakses tanggal 2022-04-03. 
  4. ^ Dekolonisasi buruh kota dan pembentukan bangsa. Erwiza Erman, Ratna Saptari, KITLV Office Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie (edisi ke-Edisi pertama). Jakarta. 2013. ISBN 978-979-461-797-7. OCLC 863637560.