Helena
Santa Helena adalah ibu dari Kaisar Konstantinus Agung.[1][2] Helena pada awalnya hanyalah anak dari seorang penjaga penginapan.[1] Ketika masih muda, ia bertemu dengan seorang jenderal Romawi dan mereka menikah.[1] Anak dari perkawinan mereka bernama Konstantinus.[1][2] Beberapa tahun kemudian, jenderal Romawi tersebut ditunjuk sebagai kaisar sehingga menceraikan Helena dengan alasan politis, yakni supaya bisa mengawini puteri kaisar terdahulu.[1] Helena menjadi orang biasa lagi.[1] Tiga belas tahun kemudian, Konstantinus, anak Helena, menjadi kaisar menggantikan ayahnya.[1] Ia mengharuskan setiap orang Romawi menghormati Helena, sehingga wajah Helena dicetak pada mata uang.[1]
Santa Helena | |
---|---|
Ratu | |
Lahir | 248 Drepanum, Bithynia, Asia Kecil |
Meninggal | 328 Konstantinopel, Kekaisaran Romawi (masa kini Istambul, Turki) |
Dihormati di | Gereja Katolik Roma Gereja Ortodoks Timur Gereja Anglikan Gereja Lutheran |
Pesta | 18 Agustus (Gereja Katolik Roma); 21 Mei (Gereja Lutheran dan Ortodoks); 19 Mei (Gereja Lutheran) |
Atribut | Salib |
Ketika Konstantinus mengakui agama Kristen di seluruh kekaisaran Romawi, Helena mulai mempelajari ajaran-ajaran agama Kristen dan memutuskan untuk memeluk agama Kristen.[1] Setelah itu, ia bekerja demi gereja dan menjelajahi Palestina untuk membangun banyak gereja.[2]
Ia terkenal karena keramahannya kepada para tawanan, tentara, dan kaum miskin.[1] Ia wafat pada tahun 330 dalam usia sekitar 80 tahun.[3]
Tradisi
suntingSt Helena sering digambarkan memeluk sebuah salib oleh sebab menurut tradisi, Helena merupakan orang yang menemukan relik Salib Sejati (yang dianggap sebagai bagian dari salib Yesus Kristus yang asli) di Yerusalem.[3]
Sebelum itu, karena pemberontakan bangsa Yahudi, Kaisar Romawi Hadrian (berkuasa tahun 117-138) menghapuskan nama Yudea dan menamai wilayah itu dengan “Siria Palestina”. Ia juga menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota yang baru, menamainya “Aelia Capitolina”, dan melarang kaum Yahudi memasuki wilayah sekitar sana. Sementara Yerusalem sebagian besar tetap tinggal puing-puing karena pemberontakan pada tahun 70 (ketika Bait Allah juga diruntuhkan), Hadrian meratakan sisa-sisanya. Hadrian memandang keyahudian sebagai sumber pemberontakan, dan ia juga memiliki pandangan yang sama terhadap kekristenan. Guna melenyapkan pengaruh kekristenan, Hadrian meratakan puncak Bukit Kalvari dan mendirikan sebuah kuil bagi dewi kafir Venus. Ia juga memotong serta meratakan sisi bukit di mana makam Yesus berada dan mendirikan sebuah kuil bagi dewa kafir Jupiter Capitolinus. Ironisnya, penghancuran ini sesungguhnya justru melestarikan tempat-tempat suci tersebut.[3]
Kaisar Konstantin meraih kekuasaan pada tahun 312, dan tahun berikutnya, ia mensahkan kekristenan dengan Maklumat Milan. Sekitar masa itu, ibundanya, St Helena, menjadi seorang pengikut Kristus. Menurut Eusebius, sejarahwan besar Gereja awali, St Helena berusia sekitar 63 tahun saat ia dibaptis. Dengan wewenang puteranya, St Helena pergi ke Palestina demi menemukan tempat-tempat suci sekitar tahun 324. Tahun-tahun berikutnya, St Helena mendirikan gereja-gereja guna menandai tempat Kelahiran di Betlehem, dan tempat Kenaikan Yesus ke Surga.[3]
Semangat Kristiani sejati menggerakkan St Helena. Eusebius menggambarkannya sebagai berikut, “Teristimewa berlimpah ruah pemberian yang ia amalkan kepada mereka yang telanjang dan kepada orang-orang miskin yang malang. Kepada yang sebagian, ia memberikan uang, kepada yang lain banyak persediaan pakaian; ia membebaskan yang lain dari penjara, atau dari perbudakan pahit di pertambangan; sebagian lainnya ia bebaskan dari penindasan yang tidak adil, dan yang lainnya lagi, ia pulangkan dari pembuangan. Namun demikian, walau termasyhur karena kebajikan-kebajikan yang demikian …, ia jauh dari melalaikan kesalehan pribadi kepada Tuhan. Orang dapat melihat dia terus-menerus mengunjungi Gereja-Nya, sementara pada saat yang sama ia menghiasi rumah-rumah doa dengan amal kasih yang berlimpah, tanpa mengabaikan gereja-gereja di kota-kota terkecil sekalipun. Singkat kata, perempuan mengagumkan ini biasa dilihat, dengan busana sederhana dan bersahaja, berbaur di antara khalayak ramai yang bersembah bakti, dan memberikan kesaksian akan devosinya kepada Tuhan dengan rangkaian rutin perbuatan-perbuatan saleh”[4]
Penemuan salib sejati
suntingSekitar tahun 326, kuil Jupiter Capitolinus dirobohkan, dan para pekerja mulai menggali area. Mereka menemukan sisa-sisa makam yang dilaporkan sebagai makam Tuhan Yesus. Mereka membangun sebuah tempat ziarah baru di atas makam, yang kemudian mengalami perubahan-perubahan selama berabad-abad, tetapi sekarang berdiri dalam Gereja Makam Suci di Yerusalem.[3]
Kuil Venus juga dirobohkan, dengan demikian menyingkapkan tempat di mana Kristus disalibkan. Kaisar Konstantin sendiri menulis kepada St Macarius, Uskup Yerusalem, menginstruksikan agar diadakan pencarian salib di Bukit Kalvari. Seorang Yahudi terpelajar bernama Yudas tampaknya memiliki pengetahuan mengenai hal ini dan didesak untuk membantu. Persis di sebelah timur lokasi, ditemukan tiga salib dalam sebuah waduk batu, berikut titulus (prasasti kayu di mana tertulis Iesus Nazaranus Rex Iudaeorum). (Bersama Gereja Makam Suci adalah Kapel Penemuan Salib Suci, yang menandai lokasi waduk batu ). Kemudian, muncul pertanyaan, “Yang manakah salib Kristus?”[3]
Sementara detail yang dikemukakan oleh St Yohanes Krisostomus, St Ambrosius, Rufinus dan Socrates (bukan sang filsuf) kurang lengkap dan kadang-kadang saling bertentangan, inti kisahnya adalah sebagai berikut: Ketiga salib dan titulus dipindahkan dari waduk batu. Seorang perempuan, yang sedang menghadapi ajal karena suatu penyakit yang mematikan, dibawa ke sana. Ia menyentuh ketiga salib satu per satu. Setelah ia menyentuh salib ketiga, sekonyong-konyong ia sembuh, dengan demikian menyatakan salib yang asli. Sumber-sumber lain juga menyebutkan mengenai penemuan alat-alat siksa Sengsara Yesus sesudahnya. Dan yang paling penting, St Ambrosius menyampaikan khotbahnya bahwa ketika St Helena menemukan salib yang asli, “ia tidak menyembah kayu, melainkan Raja, yaitu Dia yang tergantung pada kayu salib. Ia berkobar-kobar dalam kerinduan sejati untuk menyentuh jaminan hidup abadi.”[3]
St Sirilus dari Yerusalem mengajukan beberapa bukti pendukung. Dalam suratnya kepada Kaisar Konstantius (putera dan penerus Konstantin), St Sirilus memaklumkan, “Kayu salib yang menyelamatkan ditemukan di Yerusalem pada masa Konstantin.” Dalam Pengajaran Katekese yang keempat, ia menulis, “Ia sungguh disalibkan demi dosa-dosa kita. Sebab, jika engkau menyangkalnya, tempat ini secara tak terelakkan membuktikan kesalahanmu; Golgota yang terberkati ini, di mana kita sekarang berkumpul demi Dia yang disalibkan di sini; dan sejak itu seluruh dunia telah dipenuhi dengan potongan-potongan kayu Salib.”[3]
Pesta Salib Suci dirayakan pada tanggal 14 September.[3]
Lihat pula
suntingReferensi
sunting- ^ a b c d e f g h i j (Indonesia)Bernadette McCarver Snyder. 2001. 115 Kisah Santo-Santa yang Mengasyikkan. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 70-71.
- ^ a b c A. Heuken. 1985. Ensiklopedi Orang Kudus. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. Hal. 143-145.
- ^ a b c d e f g h i Fr. William P. Saunders, “Straight Answers: St. Helena and the True Cross”; Arlington Catholic Herald, Inc; 2005; (www.catholicherald.com) Fr. Saunders adalah pastor of Our Lady of Hope Parish di Potomac Falls dan seorang profesor catechetics and theology pada Christendom's Notre Dame Graduate School di Alexandria, Amerika Serikat.
- ^ Riwayat Hidup Konstantin, XLIV, XLV.