Hidup yang tak teruji tak layak dijalani
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Oktober 2022. |
Hidup yang tak teruji tak layak dijalani (bahasa Yunani Kuno: ὁ ... ἀνεξέταστος βίος οὐ βιωτὸς ἀνθρώπῳ) adalah sebuah diktum terkenal yang konon diucapkan oleh Socrates pada saat pengadilannya atas tuduhan menentang dewa dan merusak generasi muda, yang kemudian membuatnya dijatuhi hukuman mati, seperti yang dijelaskan dalam Apology, Plato (38a5-6).
Dasar
suntingPernyataan ini berkaitan dengan pemahaman dan sikap Sokrates terhadap kematian dan komitmennya untuk memenuhi tujuannya dalam menyelidiki dan memahami pernyataan Pythia. Socrates percaya bahwa tanggapan Pythia terhadap pertanyaan Chaerephon adalah sebuah komunikasi dari dewa Apollo dan ini menjadi pedoman utama Socrates, raison d'etre-nya. Bagi Socrates, dipisahkan dari elenchus oleh pengasingan (mencegahnya untuk menyelidiki pernyataan tersebut), adalah nasib yang lebih buruk daripada kematian. Karena Socrates religius dan mempercayai pengalaman religiusnya, seperti petunjuk suara gaib yang diikutinya, dia lebih memilih untuk terus mencari jawaban sebenarnya atas pertanyaannya di kemudian hari, daripada menjalani hidup tanpa memperoleh jawabannya di Bumi.[1]
Makna
suntingKata-kata itu diduga diucapkan oleh Socrates di pengadilannya setelah dia memilih kematian, bukan pengasingan. Ini mewakili (dalam istilah modern) pilihan mulia, yaitu pilihan kematian dalam menghadapi alternatif.[2]
Interpretasi
suntingSocrates percaya bahwa filsafat—mencintai kebijaksanaan—adalah pencarian yang paling penting di atas segalanya. Dia mencontohkan, beberapa orang mencari kebijaksanaan melalui perdebatan dan argumen logis, dengan pengujian dan berpikir, lebih dari orang lain dalam sejarah. 'Pengujianya' terhadap kehidupan dengan cara ini menyebar ke kehidupan orang lain, sehingga mereka memulai 'ujian' kehidupan mereka sendiri, namun dia tahu mereka semua akan mati suatu hari nanti, dengan menyadari bahwa hidup tanpa filsafat—yaitu hidup yang 'tak teruji'—tidak layak untuk dijalani.[3][4]
Referensi
sunting- ^ Brickhouse, Thomas C.; Smith, Nicholas D. (1994). Plato's Socrates. Oxford University Press. hlm. 201–. ISBN 978-0-19-510111-9.
- ^ Julian Baggini - Wisdom's folly The Guardian newspaper (Guardian News and Media Limited) Thursday 12 May 2005 [Retrieved 2015-04-25]
- ^ Spivey, Nigel; Squire, Michael (1 March 2011). Panorama of the Classical World. Getty Publications. hlm. 230–. ISBN 978-1-60606-056-8.
- ^ D.M. Johnson - Socrates and Athens (p.74) Cambridge University Press, 31 Mar 2011 ISBN 0521757487 [Retrieved 2015-04-25]
Pranala luar
sunting- (Inggris) Plato. Apology 38a. Plato in Twelve Volumes, Vol. 1 translated by Harold North Fowler; Introduction by W.R.M. Lamb. Cambridge, MA, Harvard University Press; London, William Heinemann Ltd. 1966. via Perseus Tufts
- (Inggris) J. O. Famakinwa - IS THE UNEXAMINED LIFE WORTH LIVING OR NOT? Think / Volume 11 / Issue 31 / Summer 2012, pp 97–103 The Royal Institute of Philosophy 2012
- (Inggris) J. M. Ambury - Socrates (469—399 B.C.E.) -2biii - The Unexamined Life in the Internet Encyclopedia of Philosophy