Hikayat Indraputra
Hikayat Indraputra adalah sebuah hikayat yang sudah tua usianya dan masuk dalam sastra zaman peralihan Hindu - Islam. Hikayat ini juga terdapat dalam bahasa Makasar, Bugis, Aceh dan di dalam bahasa Cam di Indo-Cina. Di dalam bahasa Cam, hikayat ini tidak ada pengaruh Islam sama sekali. Hal ini menunjukkan hikayat ini sudah tersebar ke Indo-Cina sebelum Islam masuk ke Nusantara.[1]
Ringkasan cerita
suntingIndraputra, putra Maharaja Bikrama Puspa adalah seorang utra yang arif dan bijaksana. Nasibnya mula-mula tidak mujur. Sewaktu kecil, ia diterbangkan oleh seekor merak emas. Ia jatuh pada sebuah taman dan dipelihara oleh nenek Kebayan. Sesudah beberapa lama kemudian ia diangkat menjadi anak oleh perdana mentri. Sementara itu Raja Syahsian tidak memiliki anak. Terdengar kabar, di sebuah gunung hidup seorang maharesi pertapa yang sakti yang bernama Berma Sakti. Siapa yang ingin beranak bisa meminta obat darinya. Indraputra pun menawarkan diri ke gunung tersebut.
Dalam perjalanannya, Indraputra menenui banyak pengalaman bertemu tengkorak yang bisa berbicara, membunuh raksasa dan buto yang makan manusia. Berbagai hikmat diperolehnya. Akhirnya ia sampai ke gunung dan berjumpa dengan Berma Sakti dan mendapatkan obat yang diinginkan. Raja Syahsian dan perdana mentri sangat gembira. Obat itu berupa sekuntum bunga tanjung dan diberikan ke permaisuri. Tidak lama kemudian permaisuri hamil dan melahirkan seorang anak perempuan yang elok parasnya. Ia dinamakan Tuan Putri Mengindra Sri Bulan.
Sementara itu Indraputra dihanyutkan ke laut karena dituduh berbuat jahat dengan dayang-dayang. Ia terkandas di sebuah negeri yang kotanya dibuat dari batu hitam. Disana ia dimuliakan dan diberi hadiah sebuah kain yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit. Lalu terdengarlah kabar Putri Mengindra Sri Bulan yang sudah dewasa terkena penyakit. Raja Syahsian mengumumkan, siapa yang bisa mengobatinya maka akan diambil menjadi menantu raja. Indraputra pun mengobati tuan putri, namun raja melarang Indraputra menikahi putrinya dengan mudah. Para mentri berusaha mencelakakan Indraputra. Tiga kali dibunuh, Tiga kali pula Indraputra dihidupkan oleh istrinya. Sampai akhirnya Indraputra didudukkan dengan tuan putri.
Beberapa lama setelah itu, Indraputra berniat kembali ke negeri tempat Ayah-bundanya. Bersama empat istrinya, ia kembali dan disambut dengan pesta besar-besaran. Indraputra pun dinobatkan menjadi raja dalam negri dengan gelar Paduka Sultan Mengindra.
Referensi
sunting- ^ Fang., Liaw, Yock (2011). Sejarah kesusastraan Melayu klasik (edisi ke-Ed. 1). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 9789794617786. OCLC 774833579.