Hujan asam

hujan yang mengandung asam dan bersifat korosif

Hujan asam merupakan hujan dengan nilai pH di bawah 5,6[1]. Hujan secara alami bersifat asam (pH di bawah 6) karena karbondioksida (CO2) di udara terlarut dengan air hujan sehingga terbentuk asam lemah. Jenis asam dalam hujan ini sangat bermanfaat karena membantu melarutkan mineral dalam tanah yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan binatang.

Hujan asam disebabkan oleh belerang (sulfur) yang merupakan pengotor dalam bahan bakar fosil serta nitrogen di udara yang bereaksi dengan oksigen membentuk sulfur dioksida dan nitrogen oksida. Zat-zat ini berdifusi ke atmosfer dan bereaksi dengan air untuk membentuk asam sulfat dan asam nitrat yang mudah larut sehingga jatuh bersama air hujan.[2] Air hujan yang asam tersebut akan meningkatkan kadar keasaman tanah dan air permukaan yang terbukti berbahaya bagi kehidupan ikan dan tanaman.[3] Usaha untuk mengatasi hal ini saat ini sedang gencar dilaksanakan.

Sumber

sunting

Secara alami hujan asam dapat terjadi akibat letusan gunung berapi dan dari proses biologis di bawah lapisan tanah, rawa, dan laut. Akan tetapi, mayoritas hujan asam disebabkan oleh aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil, industri, pembangkit tenaga listrik, kilang minyak, kendaraan bermotor dan pabrik pengolahan pertanian (terutama amonia).[4] Gas-gas yang dihasilkan oleh proses ini dapat terbawa angin hingga ratusan kilometer di atmosfer sebelum berubah menjadi asam dan terdeposit ke tanah.

Hujan asam karena proses industri telah menjadi masalah yang penting di Republik Rakyat Tiongkok, Eropa Barat, Rusia dan daerah-daerah di arahan anginnya. Hujan asam dari pembangkit tenaga listrik di Amerika Serikat bagian Barat telah merusak hutan-hutan di New York dan New England. Pembangkit tenaga listrik ini umumnya menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya.

 
Proses yang terlibat dalam pemecahan Asam ( catatan: bahwa hanya SO2 dan NOX memegang peran penting dalam hujan asam).

Pembentukan hujan asam

sunting

Secara sederhana, reaksi pembentukan hujan asam sebagai berikut:

 

Pada umumnya, gas buangan hasil pembakaran mengandung gas SO2 dalam jumlah yang lebih banyak dari gas SO3. Ketika gas tersebut bertemu dengan oksigen di atmosfer maka akan membentuk gas SO3 melalui reaksi di atas. Gas SO2 yang bertemu uap air akan bereaksi membentuk H2SO3 (asam sulfit) dan gas SO3 yang bertemu uap air akan bereaksi membentuk H2SO4 (asam sulfat).

Bukti terjadinya peningkatan hujan asam diperoleh dari analisis es kutub. Terlihat turunnya kadar pH sejak dimulainya Revolusi Industri dari 6 menjadi 4,5 atau 4. Informasi lain diperoleh dari organisme yang dikenal sebagai diatom yang menghuni kolam-kolam. Setelah bertahun-tahun, organisme-organisme yang mati akan mengendap dalam lapisan-lapisan sedimen di dasar kolam. Pertumbuhan diatom akan meningkat pada pH tertentu, sehingga jumlah diatom yang ditemukan di dasar kolam akan memperlihatkan perubahan pH secara tahunan bila kita melihat ke masing-masing lapisan tersebut.

Sejak dimulainya Revolusi Industri, jumlah emisi sulfur dioksida dan nitrogen oksida ke atmosfer turut meningkat. Industri yang menggunakan bahan bakar fosil, terutama batu bara, merupakan sumber utama meningkatnya oksida belerang ini. Pembacaan pH di area industri kadang-kadang tercatat hingga 2,4 (tingkat keasaman cuka). Sumber-sumber ini, ditambah oleh transportasi, merupakan penyumbang-penyumbang utama hujan asam.[5]

Masalah hujan asam tidak hanya meningkat sejalan dengan pertumbuhan populasi dan industri tetapi telah berkembang menjadi lebih luas. Penggunaan cerobong asap yang tinggi untuk mengurangi polusi lokal berkontribusi dalam penyebaran hujan asam, karena emisi gas yang dikeluarkannya akan masuk ke sirkulasi udara regional yang memiliki jangkauan lebih luas. Sering sekali, hujan asam terjadi di daerah yang jauh dari lokasi sumbernya, di mana daerah pegunungan cenderung memperoleh lebih banyak karena tingginya curah hujan di sini.

Terdapat hubungan yang erat antara rendahnya pH dengan berkurangnya populasi ikan di danau-danau. pH di bawah 4,5 tidak memungkinkan bagi ikan untuk hidup, sementara pH 6 atau lebih tinggi akan membantu pertumbuhan populasi ikan. Asam di dalam air akan menghambat produksi enzim dari larva ikan trout untuk keluar dari telurnya. Asam juga mengikat logam beracun seperi alumunium di danau. Alumunium akan menyebabkan beberapa ikan mengeluarkan lendir berlebihan di sekitar insangnya sehingga ikan sulit bernapas. Pertumbuhan fitoplankton yang menjadi sumber makanan ikan juga dihambat oleh tingginya kadar pH.

Tanaman dipengaruhi oleh hujan asam dalam berbagai macam cara. Lapisan lilin pada daun rusak sehingga nutrisi menghilang sehingga tanaman tidak tahan terhadap keadaan dingin, jamur dan serangga. Pertumbuhan akar menjadi lambat sehingga lebih sedikit nutrisi yang bisa diambil, dan mineral-mineral penting menjadi hilang.

Ion-ion beracun yang terlepas akibat hujan asam menjadi ancaman yang besar bagi manusia. Tembaga di air berdampak pada timbulnya wabah diare pada anak dan air tercemar alumunium dapat menyebabkan penyakit Alzheimer.

Sejarah

sunting

Hujan asam dilaporkan pertama kali di Manchester, Inggris, yang menjadi kota penting dalam Revolusi Industri. Pada tahun 1852, Robert Angus Smith menemukan hubungan antara hujan asam dengan polusi udara. Istilah hujan asam tersebut mulai digunakannya pada tahun 1872 untuk mendeskripsikan curah hujan yang turun di Inggris dan Jerman pada saat itu.[6] Ia mengamati bahwa hujan asam dapat mengarah pada kehancuran alam.

Walaupun hujan asam ditemukan pada tahun 1852, baru pada tahun 1970-an para ilmuwan mulai mengadakan banyak melakukan penelitian mengenai fenomena ini. Kesadaran masyarakat akan hujan asam di Amerika Serikat meningkat pada tahun 1990-an setelah di New York Times memuat laporan dari Hubbard Brook Experimental Forest di New Hampshire tentang banyaknya kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh hujan asam.

Metode Pencegahan

sunting

Di Amerika Serikat, banyak pembangkit tenaga listrik tenaga batu bara menggunakan Flue gas desulfurization (FGD) untuk menghilangkan gas yang mengandung belerang dari cerobong mereka.[7] Sebagai contoh FGD adalah wet scrubber yang umum digunakan di Amerika Serikat dan negara-negara lainnya. Wet scrubber pada dasarnya adalah tower yang dilengkapi dengan kipas yang mengambil gas asap dari cerobong ke tower tersebut. Kapur atau batu kapur dalam bentuk bubur juga diinjeksikan ke dalam tower sehingga bercampur dengan gas cerobong serta bereaksi dengan sulfur dioksida yang ada, Kalsium karbonat dalam batu kapur menghasilkan kalsium sulfat ber pH netral yang secara fisik dapat dikeluarkan dari scrubber. Oleh karena itu, scrubber mengubah polusi menjadi sulfat industri.

Di beberapa area, sulfat tersebut dijual ke pabrik kimia sebagai gipsum bila kadar kalsium sulfatnya tinggi. Di tempat lain, sulfat tersebut ditempatkan di land-fill.

Referensi

sunting
  1. ^ Hewitt, C. Nick (2009). Atmospheric Science for Environmental Scientists. John Wiley & Sons. hlm. 139. ISBN 9781444308235. 
  2. ^ Ryan, Lawrie. Oxford International AQA Examinations: International GCSE Biology. Oxford University Press. hlm. 192. ISBN 9780198411468. 
  3. ^ Nunez, Christina (28 Februari 2019). "Acid Rain Fact and Information". National Geographic. Diakses tanggal 27 Januari 2021. 
  4. ^ US EPA, OAR (2016-02-09). "What is Acid Rain?". US EPA (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-01-27. 
  5. ^ Shah, Shachi (2019). Sustainable Green Technologies for Environmental Management. Springer. hlm. 178. ISBN 9789811327728. 
  6. ^ Van Dyke, Fred H (1996). Redeeming Creation: The Biblical Basis for Environmental Stewardship. Inter Varsity Press. hlm. 114. ISBN 9780830818723. 
  7. ^ Girard, James (2013). Principles of Environmental Chemistry. Jones & Bartlett Publishers. hlm. 131. ISBN 9781449650155. 

Pranala luar

sunting