Hukum Papua Nugini
Hukum Papua Nugini menganut perpaduan antara sistem hukum umum dan hukum adat Papua Nugini.[1] Hal ini ditegaskan dalam pasal 3 ayat (1) Underlying Law Act 2000 yang menyatakan bahwa keduanya merupakan sumber hukum selain hukum tertulis lainnya sesuai pasal 9 Konstitusi Papua Nugini.[2][3] Hanya hukum umum yang berlaku di Inggris sebelum 16 September 1975 yang dijadikan sebagai yurisprudensi bagi hukum Papua Nugini, dengan pengecualian amendemen, pencabutan atau perubahan yang dilakukan di Inggris juga telah diadopsi oleh Papua Nugini.[2]
Menurut Konstitusi, hukum di Papua Nugini hanya terdiri atas: Konstitusi; hukum organik; undang-undang yang dibentuk oleh Parlemen Papua Nugini; peraturan yang dibuat dalam keadaan darurat; peraturan provinsi; hukum yang dibuat, diadopsi oleh atau diadopsi berdasarkan Konstitusi atau undang-undang terkait, termasuk peraturan perundang-undangan di bawahnya yang ditetapkan di bawah Konstitusi atau undang-undang terkait; dan hukum yang mendasar di Papua Nugini (yurisprudensi hukum umum Inggris dan hukum adat).[2][3]
Sejarah
suntingPapua Act 1905
suntingPapua Act 1905 adalah salah satu hukum tertulis kolonial Papua Nugini. Melalui undang-undang ini, Teritori Papua dinyatakan diterima sebagai sebuah teritori di bawah kewenangan Persemakmuran Australia (pasal 5). Namun undang-undang yang dibuat di Australia tidak serta merta diberlakukan di Teritori Papua kecuali dinyatakan turut diberlakuan bagi Teritori (pasal 7). Undang-undang ini turut melarang pemberian minuman keras sebagai hadiah, dengan menjual atau perbuatan lainnya kepada masyarakat adat setempat, kecuali untuk kebutuhan medis. Begitu pun sebaliknya di mana masyarakat adat juga dilarang memiliki minuman keras kecuali ditentukan lain. Dapat dikatakan bahwa undang-undang ini merupakan bukti hukum permulaan kolonisasi Papua Nugini oleh Australia.[4]
New Guinea Act 1920
suntingNew Guinea Act 1920 adalah undang-undang yang menyatakan penerimaan wilayah Nugini Jerman oleh Australia sebagai Teritori Nugini. Seperti dalam Papua Act 1905, undang-undang yang dibuat di Australa tidak serta merta diberlakukan di Teritori Nugini kecuali dinyatakan turut berlaku bagi Teritori atau ditentukan lain oleh Gubernur Jenderal. Namun yang membedakannya dari Papua Act 1905 adalah pasal 15 tentang jaminan (yang di antaranya mengatur larangan perdagangan budak dan kerja paksa) dan pasal 16 tentang kewajiban melaporkan perkembangan di Teritori kepada Liga Bangsa-Bangsa. Dapat dikatakan bahwa kedua pasal tersebut bagai sebuah perjanjian internasional mengingat Teritori tersebut dahulunya merupakan wilayah koloni Jerman.[5]
Papua and New Guinea Act 1949
suntingPapua and New Guinea Act 1949 menggantikan Papua Act 1905 dan New Guinea Act 1920, menempatkan kedua teritori di bawah kewenangan Australia tersebut di bawah sistem administrasi tunggal. Undang-undang ini jauh lebih komprehensif daripada kedua undang-undang pendahulunya dan terdiri atas 78 pasal. Ada beberapa ketentuan dari undang-undang pendahulunya seperti larangan perdagangan budak (pasal 71 ayat (1)).[6] Dengan adanya undang-undang ini, teritori yang dahulunya Nugini Jerman ini dengan ini resmi menjadi wilayah koloni Australia, manakala dalam New Guinea Act 1920 seolah teritori tersebut hanya dititipkan kepada Australia karena adanya ketentuan dalam pasal 15 dan 16 undang-undang tersebut.[5][6]
Papua New Guinea Independence Act 1975
suntingUndang-undang ini adalah produk hukum yang diterbitkan Parlemen Australia dan menjadi cikal bakal berdirinya Papua Nugini sebagai negara merdeka. Melalui undang-undang ini, Australia melepaskan segala kedaulatan terhadap Papua Nugini dan mencabut undang-undang yang sebelumnya berlaku mengatur teritori tersebut.[7]
Hukum Adat
suntingHukum adat diakui sebagai salah satu sumber hukum di Papua Nugini sesuai ketentuan dalam Konstitusi Papua Nugini dan Underlying Law Act 2000.[2][3]
Sistem Hukum Adat
suntingOttley dan Zorn menuliskan bahwa meski hukum adat yang ada di Papua Nugini sangat beragam, terdapat kesamaan akibat faktor teknologi, ekonomi, dan struktur masyarakat yang tidak berbeda jauh antara masyarakat yang satu dengan lainnya sehingga dapat dijadikan acuan pembentukan sistem hukum nasional Papua Nugini yang baru.[8]
Masyarakat Adat Nagum Boiken
suntingSalah satu contoh hukum adat di Papua Nugini di antaranya seperti yang berlaku bagi masyarakat Nagum Boiken di provinsi Sepik Timur. Dalam hukum adat mereka, suatu tanah dimiliki secara bersama oleh suatu keluarga atau klan tetapi masing-masing anggota keluarga memiliki hak pakai. Hanya seseorang yang berhasil menebas hutan sendiri tanpa bantuan anggota keluarga lainnyalah yang berhak atas tanah tersebut secara pribadi. Kepala keluarga harus terlebih dahulu memberikan izin sebelum kegiatan apapun dapat dilakukan di atas tanah bersama tersebut. Dalam tulisannya, Winduo turut menekankan adanya kemiripan antara hukum adat masyarakat Nagum Boiken dengan hukum adat Melanesia lainnya meski tidak menjabarkan lebih lanjut apa itu.[9]
Pengadilan Adat
suntingTerbitnya Village Courts Act 1973 merupakan pengejawantahan bagi keberadaan sistem peradilan adat bagi masyarakat Papua Nugini, tapi pengadilan ini dilarang menyelesaikan sengketa agraria.[10][11] Penyelesaian sengketa dalam pengadilan ini selalu diawali dengan proses mediasi. Hal yang cukup unik adalah adanya penggunaan pengadilan adat ini untuk menyelesaikan sengketa di antara orang-orang dari kelompok masyarakat yang berbeda dengan hukum adatnya yang berbeda-beda pula (conflict of laws), terutama bagi mereka yang tinggal di perkotaan. Namun pengadilan adat ini turut dikritisi karena mengandung unsur kebarat-baratan seperti hak berbicara di muka persidangan yang hanya ditujukan bagi para pihak yang terlibat langsung dalam perkara bersangkutan manakala suara masyarakat adat lainnya tidak diperdengarkan dan lokasi persidangan di tempat atau gedung modern.[10] Menurut Evans, Goddard, dan Paterson, pengadilan adat Papua Nugini merupakan pengadilan hibrida.[11]
Upaya Kodifikasi
suntingSejak tahun 2012 pemerintah Papua Nugini bersama lembaga peradilannya dan Komisi Reformasi Konstitusional dan Hukum (Constitutional and Law Reform Commission atau CLRC) tengah mengupayakan kodifikasi berbagai hukum adat di negara tersebut dengan tujuan membentuk suatu yurisprudensi Melanesia tapi tetap sejalan dengan sistem hukum umum. Salah satu alasan diadakannya proyek ini adalah kesulitan pembuktian benar adanya suatu hukum adat atau tidak di muka pengadilan. Namun proyek ini sendiri terkendala keterbatasan peralatan, waktu, dan dana serta narasumber-narasumber yang enggan diwawancarai.[12]
Hukum Pidana
suntingHukum pidana yang berlaku di Papua Nugini diatur dalam Criminal Code Act 1974 dan Criminal Code (Amendment) Act 2015.[13][14] Criminal Code Act 1974 terdiri atas 628 pasal.[13] Criminal Code (Amendment) Act 2015 hanya menambah beberapa ketentuan ke dalam pasal 28, 590, dan 592 Criminal Code Act 1974.[14]
Sejarah
suntingBerbagai aturan hukum pidana di Papua Nugini, termasuk kitab undang-undang hukum pidananya (Criminal Code) dan Native Regulations, sebuah produk hukum yang hanya ditujukan bagi masyarakat asli Papua Nugini, merupakan produk impor dari aturan-aturan hukum pidana yang berlaku di negara bagian Queensland, Australia. Hukum Queensland dipilih karena kebijakan Australia pada awal kolonisasi wilayah yang kini menjadi Papua Nugini cenderung mengarah pada penggabungan wilayah koloni tersebut ke dalam negara bagian Queensland.[15]
Konsep hukum pidana kolonial merupakan konsep yang asing bagi masyarakat asli Papua Nugini.[15] Kajian-kajian antropologi sendiri menguatkan bahwa dalam suatu masyarakat yang tidak atau belum mengenal konsep negara tidak ada pembedaan antara perkara pidana dengan perkara perdata.[8] Sistem hukum dari berbagai masyarakat adat Papua Nugini memiliki kesamaan yakni mengedepankan proses seperti mediasi dan kompensasi, jauh berbeda dari mekanisme hukuman Barat seperti penjara.[8][15]
Pandangan kaum kolonialis pada masa itu adalah penerapan hukum Barat pada wilayah koloni merupakan bagian dari upaya pemberadaban masyarakat di wilayah koloni. Hal ini dilakukan baik oleh Australia maupun Jerman yang memberlakukan Strafgesetzbuch-nya (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Jerman) dan hukum-hukum Jerman lainnya tanpa menyesuaikan aturan-aturan di dalamnya bagi masyarakat di wilayah koloni.[15]
Sistem Peradilan
suntingSistem peradilan Papua Nugini terdiri atas Mahkamah Agung, Pengadilan Nasional, dan pengadilan lainnya yang ditentukan oleh undang-undang. Mahkamah Agung berfungsi sebagai pengadilan banding tingkat terakhir dan menafsirkan serta menegakkan Konstitusi. Meski menganut sistem hukum umum, pengadilan di Papua Nugini tidak menerapkan sistem juri.[16]
Penerapan yurisprudensi asing
suntingKeberadaan Reciprocal Enforcement of Judgments Act 1976 membuat yurisprudensi dari putusan pengadilan asing tertentu, terutama sesama negara penganut sistem hukum umum seperti Australia, Inggris, dan Selandia Baru, dapat diberlakukan pula di Papua Nugini selama putusan tersebut didaftarkan di Papua Nugini. Hal yang sebaliknya juga berlaku.[16]
Reformasi Hukum
suntingPada dasawarsa 1970an menjelang kemerdekaan Papua Nugini, kalangan terdidik Papua Nugini melihat reformasi hukum, yang berbeda dari sistem hukum asing dan kadang disebut sebagai "Melanesian Way", sebagai hal penting dalam pembangunan bangsa dan negara Papua Nugini merdeka. Reformasi itu didasari pada kebiasaan-kebiasaan adat, prinsip-prinsip Nasrani, dan hak asasi manusia. Salah satu wujud nyata dari reformasi tersebut adalah terbitnya Village Courts Act 1973. Pengerjaan lainnya termasuk revisi aturan-aturan hukum pidana kolonial.[15]
Proyek reformasi hukum ini kemudian terbengkalai pascakemerdekaan karena fokus pemerintah Papua Nugini cenderung pada pembangunan infrastruktur dan ekonomi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang murni berdasarkan karakter sosiologis masyarakat Papua Nugini tak kunjung selesai sehingga aturan-aturan kolonial yang eurosentris masih tetap berlaku.[15]
Referensi
sunting- ^ MacDowall, Fiona. "Library Guides: Papua New Guinea Law - Legal Research Guide: Introduction to PNG & its Legal System". unimelb.libguides.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-06-05.
- ^ a b c d "Underlying Law Act 2000". www.paclii.org. Diakses tanggal 2020-06-05.
- ^ a b c "Constitution of the Independent State of Papua New Guinea" (PDF).
- ^ "Papua Act 1905". www.legislation.gov.au (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-06-05.
- ^ a b "New Guinea: No. 25 of 1920".
- ^ a b "Papua and New Guinea: No. 9 of 1949" (PDF).
- ^ DFAT. "Papua New Guinea Independence Act 1975". www.legislation.gov.au (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-06-05.
- ^ a b c Ottley, Bruce L.; Zorn, Jean G. (1983). "Criminal Law in Papua New Guinea: Code, Custom and the Courts in Conflict". The American Journal of Comparative Law. 31 (2): 251–300. doi:10.2307/839827. ISSN 0002-919X.
- ^ Winduo, Steven. "Customary Law Is A Living Law" (PDF).
- ^ a b Zorn, Jean G. (1990). "Customary Law in the Papua New Guinea Village Courts" (PDF). The Contemporary Pacific. 2 (2): 279–311.
- ^ a b Evans, Daniel; Goddard, Michael; Paterson, Don (2010). "The Hybrid Courts of Melanesia: A Comparative Analysis of Village Courts of Papua New Guinea, Island Courts of Vanuatu and Local Courts of Solomon Islands" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2019-11-14.
- ^ Onom, Nathan. "Codification of Customary Law in Papua New Guinea" (PDF).
- ^ a b "Criminal Code Act 1974". www.paclii.org. Diakses tanggal 2020-06-06.
- ^ a b "Criminal Code (Amendment) Act 2015" (PDF).
- ^ a b c d e f Stewart, Christine (2014). Name, Shame and Blame: Criminalising consensual sex in Papua New Guinea (PDF). Canberra: ANU Press. hlm. 81–136. ISBN 9781925021219.
- ^ a b PNG, Business Advantage (2020-02-26). "Legal system and dispute resolution in Papua New Guinea". Business Advantage PNG (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-06-06.