Hukum penistaan agama di Indonesia

Hukum penistaan agama di Indonesia adalah undang-undang, dekret presiden, dan peraturan menteri yang melarang penistaan agama di Indonesia.

KUHP sunting

Indonesia melarang penistaan agama dalam KUHP-nya. Pasal 156(a) menyasar setiap orang yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia atau dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun. Pelanggaran Pasal 156(a) dipidana penjara selama-lamanya lima tahun.[1][2]

Dekret presiden sunting

Pasal 156(a) melengkapi dekret Presiden Sukarno yang dijalankan oleh Presiden Soeharto, yaitu Dekret Presiden No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pasal 1 dekret melarang "penafsiran menyimpang" ajaran agama dan memberi Presiden hak membubarkan organisasi yang mempraktikkan ajaran menyimpang.[2] Hingga akhir abad ke-20, masyarakat Indonesia terdiri atas penganut agama Islam (88% penduduk), Katolik Roma, Protestantisme, Hinduisme, Sikhisme, Buddhisme, Yahudi, dan animisme.[3] Pemerintah menoleransi orang-orang tanpa agama, tetapi tidak menghitung jumlahnya dalam sensus.[3]

Konstitusi sunting

Pasal 29 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia menyatakan bahwa “negara Indonesia dilandasi oleh ketuhanan yang maha esa.” UUD tidak menentukan Tuhan agama mana yang harus disembah.[2] Pada Januari 2006, Kementerian Agama memberi status resmi untuk enam agama: Islam, Katolik, Protestantisme, Buddhisme, Hinduisme, dan Konfusianisme. Tanggal 9 Desember 2006, DPR mengesahkan undang-undang pencatatan sipil baru yang mewajibkan warga negara mencantumkan satu dari enam agama resmi di kartu tanda penduduk.[3]

MUI sunting

Pemerintah membentuk badan penasihat Muslim, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1975, dan selalu mendanai dan menunjuk anggotanya. MUI bukan badan pemerintahan resmi, tetapi cukup berpengaruh. Pemerintah mempertimbangkan fatwa MUI ketika membuat keputusan atau merumuskan undang-undang.[3] Pada Juli 2005, MUI mengeluarkan fatwa yang mencap sekte Ahmadiyah sebagai ajaran sesat. Pada Juni 2008, Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan surat keputusan bersama tentang Ahmadiyah. Surat tersebut meminta pihak berwenang membatasi aktivitas Ahmadiyah sehingga melakukan ibadah tertutup dan mencegah Muslim Ahmadi melakukan dakwah. Gubernur Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Nusa Tenggara Barat melarang segala aktivitas Ahmadiyah.[1]

Konflik sunting

Hukum dan kebijakan Indonesia memicu sejumlah kasus persekusi oleh umat agama tertentu terhadap umat agama atau sekte lain. Pihak berwenang biasanya gagal mengadili pelaku kejahatan. Pelaku umumnya membenarkan tindakan mereka sebagai perlawanan terhadap kebencian, kesesatan, penistaan, atau penyimpangan.[1][3]

Pada Oktober 2009, sekelompok masyarakat, termasuk beberapa kelompok HAM, meminta Mahkamah Konstitusi meninjau hukum penistaan agama tahun 1965. Pada tanggal 19 April 2010, MK menolak permohonan peninjauan tersebut. Hakim Akil Mochtar mengatakan, “Jika hukum penistaan agama dihapus sebelum hukum baru disahkan . . . dikhawatirkan akan timbul benturan serta konflik horizontal.” MK memberikan interpretasi hukum bahwa negara mengakui enam agama dan "membiarkan" penganut agama yang lain.[4]

Kasus pilihan sunting

Basuki Tjahaja Purnama (kiri) dituduh melakukan penistaan agama Islam dan dihukum dua tahun penjara. Pidatonya yang mengutip ayat Quran memancing unjuk rasa yang menuntut Basuki ditahan.
  • Bulan Agustus 2018, Pengadilan Negeri Medan menjatuhkan vonis penjara satu tahun enam bulan kepada Meiliana, warga Tanjung Balai, atas penistaan agama. Hakim menilai ia melanggar Pasal 156(a) karena mengeluhkan volume suara azan yang berkumandang di dekat rumahnya.[5]
  • Bulan Mei 2018, Abraham Ben Moses, mantan pendeta yang memeluk agama Islam dengan nama Saifuddin Ibrahim, dihukum penjara 4 tahun atas penistaan agama dan denda 50 juta rupiah karena menyebarkan ajaran Kristen kepada seorang Muslim.[6]
  • Bulan Mei 2017, Basuki Tjahaja Purnama, gubernur Jakarta, menyampaikan pidato kontroversial saat sedang menjelaskan proyek pemerintah di Kepulauan Seribu. Ia mengutip sebuah ayat Quran. Lawan politiknya mencap pidatonya menista agama dan melaporkan Basuki ke polisi. Ia kemudian dinyatakan bersalah atas penistaan agama Islam oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan dihukum dua tahun penjara.[7][8][9][10] Ia digantikan oleh wakilnya, Djarot Saiful Hidayat.
  • Pada Januari 2012, seorang pria bernama Alexander Aan menulis di Facebook bahwa Tuhan tidak ada. Ia dipenjara karena ateisme dinilai "melanggar hukum Indonesia yang dilandasi prinsip dasar negara".[11][12]
  • Tanggal 6 Mei 2010, pengadilan menjatuhkan hukuman penjara satu tahun kepada Bakri Abdullah atas penistaan agama. Ia mengaku sebagai nabi dan pernah mengunjungi surga pada tahun 1975 dan 1997.[13]
  • Tanggal 2 Juni 2009, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman kepada Lia Eden, juga dikenal dengan nama Lia Aminuddin atau Syamsuriati, atas penistaan agama. Pengadilan menerima bahwa Eden menyebarkan ajaran agamanya, Salamullah. Ia dihukum penjara dua tahun enam bulan.[14] Eden sebelumnya dipenjara selama 16 bulan atas tuduhan yang sama sesuai putusan pengadilan tanggal 29 Juni 2006. Pada tahun 1997, MUI mengeluarkan fatwa ajaran sesat untuk agama Eden.[3] Asisten Lia, Wahyu Andito Putro Wibisono, juga dihukum penjara dua tahun.[14]
  • Tanggal 9 Desember 2008, ratusan pengunjuk rasa Muslim merusak 67 rumah, satu gereja, satu aula, dan melukai lima orang di Masohi, Maluku Tengah. Pelaku mengaku marah karena seorang guru sekolah Kristen, Welhelmina Holle, diduga mengatakan sesuatu yang menista agama pada jam ekstrakurikuler di sekolah dasar.[15] Polisi menangkap Holle atas tuduhan penistaan agama dan dua pria Muslim karena memancing kerusuhan.[16]
  • Pada April 2008, pengadilan menjatuhkan hukuman penjara empat tahun kepada Ahmad Moshaddeq, pemimpin sekte Al-Qiyadah al-Islamiyah, dengan tuduhan penistaan agama. Tanggal 2 Mei 2008, Pengadilan Negeri Padang menjatuhkan hukuman penjara tiga tahun kepada Dedi Priadi dan Gerry Lufthi Yudistira, anggota Al-Qiyadah al-Islamiyah, sesuai Pasal 156(a).[1]
  • Tanggal 11 November 2007, Mahkamah Agung Indonesia menjatuhkan hukuman penjara tiga tahun kepada Abdul Rahman, anggota senior sekte Lia Eden, atas penistaan agama karena ia mengaku reinkarnasi Nabi Muhammad.[17]
  • Bulan April 2007, Kepolisian Malang menangkap 42 umat Protestan karena menyebarkan "video doa" yang menginstruksikan penontonnya meletakkan Quran di lantai dan memohon agar pemimpin politik Muslim Indonesia pindah agama. Pada September 2007, pengadilan daerah menyatakan mereka bersalah atas penistaan agama dan menjatuhkan hukuman penjara lima tahun.[1]
  • Tanggal 10 April 2007, Kepolisian Pasuruan menangkap dua orang, Rochamim (atau Rohim) dan Toyib. Toyib adalah pengikut Rochamim yang, menurut penduduk setempat, mengatakan bahwa Islam adalah agama Arab; salat lima waktu tidak perlu; dan Quran penuh kebohongan. Toyib dijerat Pasal 156(a) karena ia menyebarluaskan perkataan Rochamim.[18]
  • Tanggal 28 Juni 2006, Pengadilan Negeri Polewali, Sulawesi Selatan, menjatuhkan hukuman penjara enam bulan kepada Sumardi Tappaya, guru agama Islam SMA, atas ajaran sesat setelah seorang anggota keluarga menuduhnya bersiul saat beribadah. MUI setempat menyatakan bersiul sebagai tindakan melenceng.[3]
  • Bulan Mei 2006, pers melaporkan bahwa DPRD Banyuwangi setuju mendepak Bupati Banyuwangi, Ratna Ani Lestari. Anggota yang setuju menuduh Ratna, seorang Muslim, menistakan agama Islam dengan mempraktikkan agama selain yang tertera di KTP-nya. Pendukung Ratna menyatakan bahwa Ratna menjadi sasaran kampanye kotor karena suaminya beragama Hindu.[3]
  • Bulan November 2005, Kepolisian Madura menangkap seorang pria karena menistakan agama setelah ia secara terbuka mempraktikkan Islam nontradisional. Pengadilan menjatuhkan hukuman penjara dua setengah tahun kepada pria tersebut.[3]
  • Bulan Oktober 2005, Kepolisian Sulawesi Tengah menggeledah rumah sekte Mahdi setelah warga dari desa lain mengeluh karena pengikut sekte tersebut tidak berpuasa atau beribadah di bulan Ramadan. Tiga polisi dan dua pengikut sekte tewas. Pengadilan mengadili lima anggota Mahdi karena membunuh polisi. Pada Januari 2006, para anggota Mahdi dijatuhi hukuman penjara selama 9 sampai 12 tahun.[3]
  • Bulan September 2005, pengadilan daerah di Jawa Timur menjatuhkan hukuman penjara lima tahun ditambah tiga tahun kepada enam pengurus klinik kanker karena menerapkan metode penyembuhan paranormal yang bertentangan dengan prinsip dasar Islam. MUI setempat mengeluarkan fatwa bahwa metode yang digunakan klinik itu sesat. Polisi menangkap mereka ketika mereka sedang mempertahankan diri dari ratusan orang yang merusak klinik.[3]
  • Bulan Agustus 2005, Pengadilan Negeri Malang menjatuhkan hukuman penjara dua tahun kepada Muhammad Yusman Roy karena berdoa dalam bahasa Indonesia. Menurut MUI, tindakan ini menodai kesucian Islam yang berlandaskan bahasa Arab. Roy dibebaskan tanggal 9 November 2006 setelah menjalani masa kurungan selama 18 bulan.[3]
  • Bulan Juni 2005, polisi menangkap dosen Universitas Muhammadiyah Palu atas ajaran sesat. Ia ditahan selama lima hari sebelum ditahan di rumah setelah dua ribu orang memprotes editorialnya yang berjudul "Islam, Agama Gagal". Editorial ini menyoroti penyebaran korupsi di Indonesia. Ia dibebaskan dari status tahanan rumah dan diberhentikan oleh universitas.[3]

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e "Annual Report of the United States Commission on International Religious Freedom May 2009" (PDF). Indonesia. United States Commission on International Religious Freedom. May 2009. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 8 May 2009. Diakses tanggal 24 June 2009. 
  2. ^ a b c Al ‘Afghani, Mohamad Mova (3 December 2007). "Ruling against blasphemy unconstitutional". The Jakarta Post. Diakses tanggal 2009-06-20. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m "Indonesia". International Religious Freedom Report 2007. U.S. State Department. Diakses tanggal 2009-06-22. 
  4. ^ Hapsari, Arghea Desafti (23 April 2010). "Court upholds Blasphemy Law". The Jakarta Post. Diakses tanggal 23 April 2010. 
  5. ^ (), Iil Askar Monza (23 August 2018). Chairunnisa, Ninis, ed. "Ini Kronologi Kasus Penistaan Agama Meiliana di Tanjung Balai". Tempo.co. Tempo. Diakses tanggal 26 August 2018. 
  6. ^ "Man sentenced to four years in prison for religious defamation". The Jakarta Post. 7 May 2018. Diakses tanggal 10 May 2018. 
  7. ^ "Ahok Jailed for Two Years". Metrotvnews.com. metrotvnews.com. 9 May 2017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-09-22. Diakses tanggal 9 May 2017. 
  8. ^ "Ahok Sent to 2 Years in Prison for Blasphemy". Tempo.co. en.tempo.co. 9 May 2017. Diakses tanggal 9 May 2017. 
  9. ^ "Jakarta governor Ahok found guilty of blasphemy, jailed for two years". theguardian.com. 9 May 2017. Diakses tanggal 9 May 2017. 
  10. ^ "Jakarta governor Ahok found guilty of blasphemy". BBC. Diakses tanggal 9 May 2017. 
  11. ^ "Row over Indonesia atheist Facebook post". BBC News. 20 January 2012. Diakses tanggal 21 January 2012. 
  12. ^ Camelia Pasandaran (20 January 2012). "Dismay After Indonesian Atheist Charged With Blasphemy". JakartaGlobe. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 January 2012. Diakses tanggal 21 January 2012. 
  13. ^ https://www.webcitation.org/5px52XxdQ?url=http://www.google.com/hostednews/afp/article/ALeqM5ijbg0WsNAk-AzhKMByUt8lxyOHtA Indonesian prophet jailed for blasphemy.
  14. ^ a b Wisnu, Andra (3 June 2009). "Lia Eden sentenced to prison, again". The Jakarta Post. Diakses tanggal 2009-06-23. 
  15. ^ Tunny, M. Azis (13 December 2008). "Maluku Police name new suspect, take over case". The Jakarta Post. Diakses tanggal 2009-06-24. 
  16. ^ "Indonesia: Village to be rebuilt following Islamic rampage". Compass Direct News. 17 December 2008. Diakses tanggal 2009-06-24. 
  17. ^ Patung (27 February 2006). "Abdul Rahman, Blasphemer". Indonesia Matters. Diakses tanggal 2009-06-23. 
  18. ^ Patung (11 April 2007). "Islam is for Arabs". Indonesia Matters. Diakses tanggal 2009-06-23.