Huta Tinggi Sidihoni
Huta Tinggi Sidihoni adalah satuan endapan danau yg terdapat di kawasan hutan tinggi terdiri dari dari endapan dalam lingkungan air tenang (Lakustrin) terdiri dari material piroklastika berselang seling dari yang berukuran kerikil kerakalan hingga lanau pasiran. [1]
Legenda
suntingDanau ini juga dikelilingi legenda yang masih dipegang oleh masyarakat setempat. Menurut cerita, ada seorang tokoh bernama Ompung Sawangin Simalango dan istrinya Boru Malau yang tinggal di daerah Hutabange. Saat sedang kesulitan mencari makan, Ompung Sawangin menemukan genangan air di hutan yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya danau. Keajaiban terjadi setelahnya, saat genangan air ini terus membesar setelah peristiwa angin puting beliung yang merobohkan pepohonan di sekitarnya. Ompung Sawangin pun berdoa agar angin tersebut berhenti, dan setelah doanya terkabul, genangan tersebut terus berkembang menjadi sebuah danau.
Danau ini awalnya disebut Sidiakoni, yang berarti ‘memohon’, sebagai pengingat permohonan Ompung Sawangin kepada penguasa alam. Nama Sidihoni kemudian diberikan oleh penjajah Belanda untuk memudahkan pengucapan. Masyarakat setempat percaya bahwa apabila air danau ini mengering atau berubah warna, itu merupakan pertanda akan terjadinya peristiwa besar di Indonesia. Beberapa kejadian yang dikaitkan dengan perubahan Danau Sidihoni termasuk masuknya Jepang pada tahun 1944, pemberontakan PRRI pada 1959, reformasi 1998, dan gempa bumi serta tsunami Aceh pada 2004. Setiap kali tanda-tanda tersebut muncul, keturunan Ompung Sawangin dan penduduk sekitar mengadakan ritual untuk memohon agar bencana tidak berkepanjangan.
Sebagian besar penduduk di Desa Sabungan Nihuta bermata pencaharian sebagai petani. Desa ini memiliki luas sekitar 4,36 km², dengan tiga dusun, yaitu Dusun Toruan, Dusun Tonga-tonga, dan Dusun Dolok, serta jumlah penduduk sekitar 1.065 jiwa. Tanaman yang dominan di daerah ini adalah padi, ubi kayu, kopi, jagung, cengkeh, serta kacang tanah. Selain bertani, penduduk juga beternak kerbau, kambing, dan babi[2].
Referensi
sunting- ^ Nasution, Askolani; Siregar, Tikwan Raya; Hutasuhut, Anharuddin; Hamdani, Nasrul; Sinulingga, Jekmen; Rehulina, Eka Dalanta; Sekali, Mehamat Karo; Herlina, Herlina; Padang, Melisa (2021). Sibrani, Robert, ed. Ensiklopedia kebudayaan Kawasan Danau Toba. Banda Aceh: Balai Pelestarian dan Nilai Budaya Aceh. ISBN 978-623-6107-05-8.
- ^ Sari Bukit, Indah Permata; Dewi lubis, Hafnita Sari (2021). "TRADISI UPACARA KEMATIAN PADA ETNIS KARO DI DESA
SUKANDEBI KECAMATAN NAMANTERAN KABUPATEN KARO". Puteri Hijau: Jurnal Pendidikan Sejarah. 6 (1): 35–47. line feed character di
|title=
pada posisi 49 (bantuan)