Hutan pantai

hutan yang tumbuh dan berkembang di daerah pesisir pantai

Hutan pantai, atau lebih tepatnya disebut vegetasi pantai[1] atau vegetasi pantai berpasir[2] (Inggris: beach vegetation[3]) adalah tutupan vegetasi yang tumbuh dan berkembang di pantai berpasir di atas garis pasang tertinggi di wilayah tropika. Secara tradisi, pakar membedakan dua—kadang-kadang tiga—formasi vegetasi di wilayah ini.

Hutan pantai di salah satu pulau di Raja Ampat

Meskipun cukup kaya akan keanekaragaman fauna, hanya sedikit jenis-jenis satwa yang khas dari tipe ekosistem ini. Kebanyakan hewan itu hidup pula di tipe ekosistem yang lain, atau bahkan hanya datang ke hutan pantai untuk satu masa yang singkat saja.

Formasi vegetasi dan flora sunting

Setidaknya, di ekosistem hutan pantai berpasir ini terdapat dua formasi vegetasi, yang dapat dibedakan berdasarkan struktur dan fisiognomi vegetasi, serta komposisi floristiknya; yaitu (1) formasi pes-caprae, dan (2) formasi Barringtonia.[4] Sebagian pakar, misalnya Backer, menyebutkan adanya formasi ketiga, yang terbentuk di atas bukit (gumuk) pasir.

Formasi Pes-caprae sunting

 
Formasi pes-caprae di Pulau Rodrigues, Samudra Hindia
 
Berbagai jenis buah yang didamparkan gelombang laut di Pantai Panjang, Bengkulu

Formasi ini terutama terbentuk oleh tetumbuhan menjalar yang tumbuh rapat atau renggang menutupi pasir pantai di atas garis pasang tertinggi. Namanya diambil dari nama ilmiah katang-katang (Ipomoea pes-caprae) yang memiliki daun berbentuk serupa teracak kambing (pes, kaki; caprae, kambing), yang merupakan tumbuhan tipikal di area ini. Jenis tumbuhan menjalar lain yang juga sering dijumpai, di antaranya, kekara laut (Canavalia maritima); kacang laut (Vigna marina); rumput lari-lari (Spinifex littoreus); grinting segara (Thuarea involuta); rumput kerupet (Ischaemum muticum); serta sejenis patikan, Euphorbia atoto.[2] Juga jenis-jenis teki seperti Cyperus pedunculatus, Cyperus stoloniferus, dan Fimbristylis sericea.[3]

Banyak tetumbuhan ini yang menjalar dengan geragih (stolon) atau batang yang panjang, dan perakaran yang dalam. Tetumbuhan ini bergantung pada ketersediaan air tanah berkadar garam rendah; namun umumnya tahan terhadap kekeringan yang berulang, suhu lingkungan yang tinggi, unsur hara tanah yang rendah, semburan garam dan tiupan angin yang terus menerus. Biji-bijinya berukuran kecil, dan disertai kelengkapan khas untuk mendukung pemencaran oleh air (hidrokori).[5]

Formasi pes-caprae terbentuk pada pantai yang bertumbuh di mana pasir diendapkan. Perakaran tumbuhan pada formasi ini melebar dan mencengkeram ke dalam pasir, membantu memantapkan ekosistem yang cenderung tidak stabil ini[1][6] Jalinan ranting dan dedaunan di atas pasir memerangkap sampah-sampah yang dilemparkan ombak, termasuk pelbagai buah dan bijian yang diangkut air, sehingga meningkatkan kandungan hara dan memungkinkan terjadinya suksesi vegetasi.[1][2][5] Di bagian belakang formasi ini biasa didapati semai dari aneka tumbuhan yang buahnya dipencarkan air laut, termasuk pula kelapa (Cocos nucifera) dan cemara laut (Casuarina equisetifolia); sebagai jenis pelopor (pionir) tumbuhan yang akhir ini sering membentuk tegakan murni, tetapi anakannya tak mau tumbuh di bawah naungan pohon-pohon induknya.[3]

Formasi Barringtonia sunting

 
Butun, Barringtonia asiatica, dengan buahnya
 
Pantai yang tererosi di muka formasi Barringtonia. Bangka Selatan

Di sebelah belakang formasi Pes-caprae biasa ditemukan formasi semak belukar dan pepohonan yang dinamai formasi Barringtonia. Formasi ini mendapatkan namanya dari pohon butun (Barringtonia asiatica) yang khas, meski terkadang tidak dijumpai, di tipe vegetasi ini. Pohon ini biasa membentuk asosiasi yang tipikal bersama nyamplung (Calophyllum inophyllum), ketapang (Terminalia catappa), kampis cina (Hernandia peltata), waru (Hibiscus tiliaceus), waru laut (Thespesia populnea), kepuh (Sterculia foetida), dungun (Heritiera littoralis), malapari (Pongamia pinnata) dan lain-lain.[2][3] Di bagian yang lebih terbuka didapati semak-semak bakung laut (Crinum asiaticum), gagabusan (Scaevola taccada), lempeni (Ardisia elliptica), pandan duri (Pandanus tectorius), kanyere laut (Desmodium umbellatum), tarum laut (Sophora tomentosa), jati pasir (Guettarda speciosa), dan sejenisnya.[1][3][6]

Komposisi floristik formasi ini cenderung seragam di seluruh Malesia; beberapa jenisnya bahkan didapati menyebar luas dari pantai Afrika, melalui kawasan Malesia, hingga ke pulau-pulau di Pasifik.[3] Banyak jenisnya yang tidak dijumpai di luar formasi ini, dan beberapa yang lain mencirikan vegetasi pantai berpasir di seluruh daerah tropika.[5] Liana dan parasit jarang terdapat, sementara jenis-jenis pakis, bambu, dan palma—kecuali kelapa—pada dasarnya tidak ada;[6] keberadaan epifit seperti sarang semut Myrmecodia sering menunjukkan kurangnya unsur hara tertentu.[5] Pelapisan tajuk (layering) kurang terlihat, dengan tinggi tajuk antara 5-25 m.[6] Sedangkan lebar formasi hutan ini ke arah daratan jarang melebihi 25–50 m; pada lahan yang berbatu-batu atau berkarang bahkan umumnya sangat sempit,[3] kadang-kadang dengan pohon-pohon yang mengerdil.[6]

Pada pantai-pantai yang tererosi oleh abrasi, formasi Barringtonia sering berhadapan langsung dengan garis pasang. Dalam keadaan demikian, pada baris terluar acap didapati pohon-pohon yang miring atau yang dahan-dahannya menjuntai di atas laut, dengan dahan terbawah rusak oleh gempuran ombak. Di sisi belakang, formasi ini umumnya menyatu, dan sukar dibedakan dari hutan dataran rendah, atau perlahan-lahan beralih menjadi hutan payau atau hutan bakau tanpa garis demarkasi yang jelas.[3]

Formasi gumuk pasir sunting

Gumuk pasir atau bukit pasir (sand dunes) terbentuk dari tumpukan pasir-pasir yang tertiup angin. Formasi ini agak serupa dengan formasi pes-caprae, dengan kondisi yang lebih kering dan tutupan vegetasi yang terpencar-pencar. Rumput lari-lari Spinifex khas sebagai penciri wilayah ini, kadang-kadang pula dengan cemara laut Casuarina yang cenderung kerdil.[2] Formasi ini contohnya berada di pantai utara Madura, sekitar Pantai Parangtritis di Yogyakarta, dan di pantai selatan Jawa dekat Lumajang dan Puger.

Fauna sunting

Banyak jenis-jenis satwa yang hidup di hutan pantai, tetapi boleh dikatakan bahwa hampir tak ada fauna yang khas ekosistem ini. Kebanyakan satwa juga ditemukan hidup di hutan-hutan dataran rendah, hutan payau, atau hutan bakau yang berdekatan. Beberapa jenis satwa bahari mendarat ke mintakat ini, misalnya, untuk bertelur. Namun ada juga hewan-hewan kecil yang khas, hidup di ekosistem pantai berpasir.

 
Penyu hijau bertelur di atas garis pasang

Berbagai jenis mamalia dapat dijumpai di formasi hutan pantai. Di Taman Nasional Baluran, hutan ini dihuni oleh jenis-jenis monyet kra (Macaca fascicularis); lutung budeng (Trachypithecus auratus); jelarang hitam (Ratufa bicolor); garangan jawa (Herpestes javanicus); musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus); musang rase (Viverricula indica); dan kucing kuwuk (Prionailurus bengalensis). Sedangkan mamalia besar seperti halnya banteng (Bos javanicus); kerbau (Bubalus bubalis) liar, rusa jawa (Rusa timorensis), babi celeng (Sus scrofa), dan kijang muncak (Muntiacus muncak), pada waktu-waktu tertentu berdatangan ke hutan ini untuk mencari air tawar atau air bergaram di pantai.[7]

Sejumlah binatang darat memang sering mengunjungi pantai-pantai pasir bervegetasi, yang memberikan sumber garam yang berharga. Tetapi tidak ada yang memang khas hanya hidup di hutan pantai.[2]

 
Ketam Ocypode memangsa tukik penyu tempayan. Gnaraloo, Australia Barat

Beberapa jenis hewan memanfaatkan pasir pantai yang panas untuk menetaskan telur-telurnya. Burung-burung maleo (Macrocephalon maleo) diketahui memanfaatkan—salah satunya—gundukan pasir pantai yang hangat sebagai sarang penetasan.[5] Berbagai jenis penyu, termasuk penyu hijau (Chelonia mydas); penyu sisik (Eretmochelys imbricata); penyu sisik semu (Lepidochelys olivacea); penyu tempayan (Caretta caretta); dan penyu belimbing (Dermochelys coriacea) diketahui membangun sarang penetasan di pasir pantai di sekitar formasi pes-caprae.[2][5] Walaupun permukaan pasirnya dapat mencapai suhu > 50 °C (pada pasir putih) atau bahkan > 80 °C (pasir hitam), tetapi beberapa sentimeter di bawah permukaan, suhu pasirnya konstan pada kisaran sekitar 36 °C. Telur-telur yang hendak ditetaskan biasanya diletakkan pada lubang dengan suhu antara 32 - 38 °C.[5]

Dua di antara sedikit hewan yang khas atau hampir khas pantai berpasir adalah kepiting pasir (Ocypode ceratophthalma) dan kadal pantai (Emoia atrocostata). Yuyu Ocypode membangun liangnya di pasir pantai, di sekitar garis pasang yang tertinggi; ketam ini memakan berbagai sisa bahan organik, walaupun kadang-kadang juga memangsa hewan-hewan yang lebih kecil.[1][5] Kadal pantai juga didapati hidup di hutan mangrove, selain di pantai berpasir dan berbatu. Kadal ini sering ditemui menjelajah formasi pes-caprae, berjemur di bebatuan dekat garis air, bahkan menjalar di batu-batu karang dekat tepi air atau berenang di antaranya. Binatang ini tidak dijumpai di daratan yang jauhnya 10 m dari garis pantai.[6]

Ancaman kelestarian sunting

Pantai berpasir, terutama yang berpasir putih, memiliki nilai yang tinggi untuk kegiatan wisata. Dengan demikian banyak ekosistem pantai berpasir yang kemudian terganggu atau tergusur oleh pembangunan fasilitas-fasilitas wisata; termasuk oleh pembangunan hotel-hotel dan restoran tepi pantai. Pembangunan fasilitas wisata di Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan di Lombok adalah contohnya.[6]

Ancaman yang lain hadir dari konversi hutan-hutan pantai ini untuk dijadikan kebun-kebun kelapa, permukiman nelayan, atau pengembangan wilayah industri.[2][6]

Catatan kaki sunting

  1. ^ a b c d e Anwar, J., S.J. Damanik, N. Hisyam, & A.J. Whitten. 1984. Ekologi ekosistem Sumatera: 168. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Press.
  2. ^ a b c d e f g h Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, & S.A. Afiff. 1999. Ekologi Jawa dan Bali: 374. Jakarta: Prenhallindo.
  3. ^ a b c d e f g h Whitmore, T.C. 1984. Tropical rain forests of the Far East: 176. Oxford: Clarendon Press.
  4. ^ Steenis, C.G.G.J. van. 1957. Outline of vegetation types in Indonesia and some adjacent regions. Proc. Pacif. Sci. Congress 8(4): 61-97.
  5. ^ a b c d e f g h Whitten, A.J., M. Mustafa, G.S. Henderson. 1987. Ekologi Sulawesi: 146. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Press.
  6. ^ a b c d e f g h Monk, K.A., Y. de Fretes, & G. Reksodihardjo-Lilley. 2000. Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku: 154-7. Jakarta: Prenhallindo.
  7. ^ Arifinsjah, D. 1987. Studi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius Shaw & Nodder, 1798) dan kemungkinan pengelolaannya di Taman Nasional Baluran. Skripsi pada Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. (tidak diterbitkan)