Ibnu Sina

polimatik, fisikawan dan filsuf Persia (sekitar 980–1037 M)

Ibnu Sina (Arab: ابن سینا, translit: Ibn Sīnā; 980 – Juni 1037 M), yang di Barat dikenal dikenal sebagai Avicenna, adalah seorang muslim Mu'tazilah polimat yang dipandang sebagai dokter, astronomer, dan penulis terpenting dari Zaman Keemasan Islam;[1][tepercaya?] dan dianggap sebagai filsuf paling berpengaruh di era pra-modern.[2] Bagi banyak orang, dia adalah "Bapak Kedokteran Modern". Dari sekitar 450 judul yang ditulisnya, 240 di antaranya selamat dan bertahan hingga hari ini, yang di antaranya terdapat 240 judul dalam bidang filsafat dan 40 judul dalam pengobatan.[3] Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Qānūn fī al-Thibb (Buku Pengobatan), sebuah ensiklopedia medis yang menjadi buku rujukan dan standar di bidang kedokteran pada berbagai universitas dan terus digunakan selama berabad-abad hingga sekitar tahun 1650.[4]

Ibnu Sina
ابن سینا
Ibn Sīnā (Arab)
Lahirc. 980
Afshona, Peshkunskiy, Bukhara, Dinasti Samaniyah
MeninggalJuni 1037 – 980; umur -58–-57 tahun
Hamadan, Emirat Kakuyid
Tempat tinggal
Nama lain
  • Sharaf al-Mulk
  • Hujjat al-Haq
  • Sheikh al-Rayees
  • Ibn-Sino (Abu Ali Abdulloh Ibn-Sino)
  • Bu Alī Sīnā (بو علی سینا)
Latar belakang akademis
Dipengaruhi
Karya akademis
EraZaman Keemasan Islam
Minat utama
Karya terkenal
Memengaruhi

Ibnu Sina (Arab: أبو علي الحسين بن عبد الله بن سينا, translit: Abū ‘Alī al-Husain bin ‘Abdullāh bin Sīnā) lahir pada 980 di Afsyanah daerah dekat Bukhara (sekarang wilayah Uzbekistan) dan meninggal pada bulan Juni 1037 di Hamadan, Persia (sekarang Iran). Pada masa itu Kesultanan Samaniyah di Bukhara sedang diguncang konflik internal, setelah sebelumnya menjadi salah satu sentral kebudayaan menyaingi Baghdad. Ayahnya berasal dari Balkh, sedangkan ibunya berasal dari desa setempat di sekitar Bukhara.

Biografi sunting

Ibnu Sina menulis sebuah autobiografi untuk muridnya yang bernama Abu 'Ubayd Juzjani, yang kemudian dilengkapi oleh muridnya tersebut dengan bab penutup.[5] Naskah autobiografi ini, yang berakhir hingga periode di Gorgon sekitar tahun 1013/1014,[6] kemudian dimasukkan oleh Ibnu Abi Ashaybi’ah dalam karyanya yang berjudul ’Uyūn al-Anbā’ fī Thabaqāt al-Athibbā’ (Sejarah Literatur Bidang Kedokteran).[7][8] Inilah yang menjadi rujukan utama kisah hidup Ibnu Sina, di luar catatan-catatan lain yang diberikan para penulis muslim.

Menurut penuturan Ibnu Sina, ayahnya berasal dari Balkh di wilayah Mazar-i Syarif (sekarang Afghanistan), yang pindah ke Bukhara pada masa pemerintahan Nuh bin Mansyur (berkuasa 976 – 997).[1][8] Di sana ayahnya diangkat sebagai gubernur Harmaytsan, sebuah propinsi di Bukhara; dan di sana pula ayahnya bertemu dengan ibunya di sebuah desa bernama Afsyanah hingga akhirnya menikah.

Nuh bin Mansyur naik tahta pada 976 dalam usia masih sangat muda, sehingga harus dibantu ibunya menjalankan roda pemerintahan, serta seorang wazir bernama Abu Husain 'Uthbi.[9] Saat itu Kesultanan Samaniyah sedang menghadapi gejolak internal dan eksternal. Selain harus menghadapi persaingan kekuasaan antar pangeran, Nuh bin Mansyur juga harus menghadapai pertempuran di utara dan selatan.

Di utara, Khanat Kara-Khanid menyerang dan mengambil Lembah Zarafshan, di mana terdapat tambang perak Kesultanan Samaniyah, dan pada 980 Khanat Kara-Khanid sudah menguasai wilayah Isijab. Sementara itu di selatan, Dinasti Buwaihi (Buyid) yang telah menguasai Baghdad dan menjadikan Abbasiyah hanya sebagai simbol kekhalifahan, tengah dipimpin 'Adud al-Dawla yang sangat kuat. Nuh bin Mansyur mencoba melakukan ekspedisi melawan Dinasti Buwaihi pada 982, tetapi berhasil dipatahkan 'Adud al-Dawla. Tetapi setahun kemudian 'Adud al-Dawla dan Dinasti Buwaihi mulai mengalami keruntuhan.

Pada tahun 992, Kara-Khanid merebut ibukota Bukhara di bawah seorang khan bernama Harun Bughara, namun dia meninggal tidak lama setelah penaklukan tersebut sehingga Nuh bin Mansyur bisa mengambil alih kembali Bukhara[10] atas bantuan Sultan Abu 'Abdallah Muhammad dari Dinasti Afrighiyah.[11] Namun setelah Nuh bin Mansyur meninggal pada 997, tidak ada syah pengganti yang cukup kuat untuk memimpin Kesultanan Samaniyah. Saat Kara-Khanid kembali menyerang Samaniyah pada 999, Bukhara akhirnya jatuh dan Kesultanan Samaniyah lenyap.[10]

Kehidupan Awal dan Pendidikan sunting

 
Kesultanan Samaniyah (819–999) pada puncak kejayaannya. Kota Balkh (atau Bactria), tempat asal ayah Ibnu SIna, tampak berada di bawah Bukhara.

Ayah Ibnu Sina berasal dari Balkh, yang pindah ke Bukhara dan menjadi gubernur sebuah wilayah penting bernama Harmaytsan.[1] Di dekat Harmaytsan, terdapat sebuah desa bernama Afsyanah, di mana ayah dan ibunya bertemu kemudian menikah dan menetap di sana. Di desa itulah Ibnu Sina lahir pada tahun 980, dan tidak lama disusul oleh adiknya. Pada kurun itu ketegangan antara Kesultanan Samaniyah dengan Khanat Kara-Khanid di utara dan Dinasti Buwaihi di selatan tengah memanas.

Ketika Ibnu Sina cukup besar, keluarga itu pindah ke Bukhara. Di ibukota Samaniyah itu Ibnu Sina mulai mendapat pendidikan yang lebih baik. Ayahnya mendatangkan guru khusus Al-Quran dan guru Sastra Arab (Adab, Literatur) untuk mengajar kedua putranya. Menurut Ibnu Sina, saat dirinya genap berusia 10 tahun, dia telah hapal Al-Quran serta berbagai teks sastra lainnya.[7][8]

Perkenalan awal Ibnu Sina dengan filsafat terjadi karena sering mendengarkan perdebatan ayahnya yang kerap didatangi orang-orang Mesir pengikut Ismailiyah,[1][8] dan dari mereka itulah ayahnya, Ibnu Sina, dan adiknya mulai mengenal istilah-istilah jiwa dan akal dalam perspektif Ismailiyah. Sebagaimana diceritakan Ibnu Sina:[8]

Mungkin karena saya kerap mendengar mereka berdiskusi maka saya pun mulai memahami pembicaraan pengikut Ismailiyah ini, namun jiwa saya tidak kunjung dapat menerima apa yang mereka bicarakan. Karena itu mereka pun mulai mengajak saya berdiskusi tentang berbagai hal [terutama terkait jiwa dan akal] melalui berbagai pendekatan filsafat, geometri, dan aritmetika Hindia. Ayah tampaknya kurang senang melihat hal itu, sehingga untuk sementara waktu ayah mengirimku kepada seorang pedagang herbal yang menguasai aritmetika Hindia sehingga aku pun dapat mempelajari ilmu tersebut darinya.

Selain belajar aritmetika Hindia, Ibnu Sina juga kerap mendatangi Ismail al-Zahid, seorang sufi dan ulama madzhab Hanafi yang terkenal di Bukhara, untuk belajar fiqih dan yurisprudensi, hingga mahir untuk melakukan pembelaan hukum sesuai kebiasaan zaman itu.[7][8] Tidak lama dari itu, setelah pendidikan agamanya dirasa cukup, seorang filsuf bernama Abu Abdullah An-Natili datang ke Bukhara dan tinggal di rumah keluarga Ibnu Sina atas undangan ayahnya, dengan imbalan mengajar filsafat kepada Ibnu Sina. Darinya Ibnu Sina mulai belajar Isagoge karya Porfirios, yang merupakan standar pengajaran filsafat sebelum masuk ke logika Aristoteles.[1] Setelah itu Ibnu Sina mempelajari logika (ilmu mantiq) dari Organon karya Aristoteles, namun An-Natili hanya memberikan pengantar dan Ibnu Sina harus mempelajarinya sendiri; demikian pula saat mempelajari Stoicheia karya Euclid dan Almagest karya Ptolemeaus, An-Natili hanya mengajarnya bab-bab awal dan sisanya dipelajari seorang diri.[7][8]

Menyadari bahwa Ibnu Sina lebih mahir dalam penguasaan filsafat dari dirinya, An-Natili kemudian meninggalkan Bukhara menuju Gurganja,[8] guna mencari murid lain yang lebih membutuhkannya.[1] Maka sejak itu Ibnu Sina mempelajari filsafat seorang diri, mulai dari Fisika (filsafat alam) dan Metafisika karya Aristoteles, berikut berbagai karya pengantar tentangnya, juga berbagai karya tentang pengobatan secara luas dan mendalam. Dan ketika Ibnu Sina berusia 16 tahun, sebagaimana tradisi di Bukhara bagi anak yang menjelang akil baligh, dia pun mulai mendalami fiqih secara khusus.

Satu setengah tahun kemudian, atau saat berusia 17 tahun lebih, Ibnu Sina mengulang pelajaran filsafat dari awal, dimulai dari Organon hingga Fisika dan Metafisika. Dalam autobiografinya dikatakan:[8]

Hampir setiap malam saya selalu berada di kamarku dengan lampu yang menyala, dan menghabiskan waktu untuk membaca dan menulis. Manakala merasa ngantuk atau lelah, biasanya saya istirahat sejenak dan menghabiskan segelas sirup [herbal] hingga kekuatan saya kembali pulih, dan kemudian saya akan meneruskan melahap buku-buku. Setiap kali saya tertidur karena kantuk, saya kerap memimpikan masalah-masalah yang sedang dihadapi hingga ke akarnya. Dan sungguh, betapa banyak masalah menjadi jelas duduk perkaranya dalam mimpi (ru'ya) saya. Semua itu saya jalani hingga saya benar-benar menguasai berbagai cabang filsafat, dan saya memahaminya sejauh yang bisa dicapai oleh seorang manusia.

Satu-satunya topik filsafat yang tidak dikuasai Ibnu Sina adalah Metafisika Aristoteles. Hingga pada suatu hari, saat sedang berjalan-jalan di sebuah pasar, dia menemukan sebuah buku karya Al-Farabi berjudul Fi Agrādhi Kitāb Mā Ba’da al-Thabi’ah (Penjelasan atas Buku Metafisika). Dari karya Al-Farabi itulah akhirnya Ibnu Sina bisa memahami Metafisika.[7][8]

Bacaannya yang luas dan intensif, khususnya dalam bidang pengobatan, pada akhirnya membawa Ibnu Sina menjadi tabib penguasa Nuh bin Mansyur, yang kemudian memberinya izin untuk memasuki perpustakaan besar Samaniyah di Bukhara sebagai imbalan atas pengobatan yang diberikannya. Di perpustakaan itu Ibnu Sina menemukan banyak sekali literatur di setiap bilik ruang perpustakaan yang didedikasikan untuk bidang pengetahuan yang berbeda. Di sana, kata Ibnu Sina, dia membaca karya-karya orang zaman dahulu (al-awa'il) yang belum pernah dia temui sebelumnya dan tidak pernah dia lihat lagi di kemudian hari, [1] hingga akhirnya Ibnu Sina berkata:[7]

Saya membaca buku-buku yang ada, menguasai berbagai pengajaran di dalamnya, serta mengetahui martabat setiap penulis dan penguasaan ilmunya. Maka pada saat saya mencapai usia delapan belas tahun, saya telah melakukan studi di semua cabang ilmu yang ada. Namun demikian, meski saat itu saya telah menguasainya, di usia [tua] sekarang saya merasa lebih matang dalam memahami apa-apa yang telah saya pelajari sebelumnya. Sungguh, ilmu yang telah saya ketahui tidak banyak berubah, tidak ada lagi ilmu baru yang saya dapati setelah dewasa.

Karir dan Pergolakan Politik sunting

Pada suatu ketika Amir Bukhara, Nuh bin Mansyur, menderita sakit yang membuat para tabib istana menyerah. Karena Ibnu Sina telah telah dikenal di Bukhara sebagai kutu buku, para tabib istana memberanikan diri mengajukan namanya untuk didatangkan ke istana. Maka Ibnu Sina pun datang memenuhi undangan tersebut, dan bersama para tabib istana berhasil menyembuhkan sang Syah.[7] Atas keberhasilan itu, para tabib kemudian meminta pangeran Nuh bin Mansyur agar mengizinkan Ibnu Sina mengakses perpustakaan kerajaan.

Menurut autobiografinya, Ibnu Sina pertama kali menulis saat masih tinggal di Bukhara, yang dia beri judul Majmu' (Ringkasan Ilmu) sebagai jawaban atas permintaan tetangganya yang bernama Abu Hussein al-Rouzi.[6][7] Setelah itu, temannya dari Karazm bernama Abu Bakar Bargy, ahli teologi dan filsafat, memintanya menulis komentar atas filsafat Aristoteles; maka Ibnu Sina menulis Al-Hasil wal-Mahsul (Makna dan Substansi) yang membahas persoalan yurisprudensi dalam 20 jilid, dan Al-Birr wal-Itsm (Kebajikan dan Keburukan) yang membahas masalah etika.[6][7]

Pada Juli 997, tidak lama setelah Ibnu Sina dipanggil ke istana untuk mengobatinya, Sultan Nuh bin Mansyur meninggal, disusul kekalahan Dinasti Samaniyah dari Khanat Kara-Khanid pada 999.[10] Selanjutnya pada 1002 ayahnya juga meninggal di Bukhara saat usia Ibnu Sina sekitar 22 tahun.[7] Kejadian ini membuat kehidupan Ibnu Sina sepenuhnya berubah: kini dia harus menanggung hidupnya sendiri dan harus bekerja menggantikan posisi ayahnya di pemerintahan.[7] Namun, tampaknya hal ini tidak berlangsung lama karena berbagai peristiwa politik yang terjadi pasca runtuhnya Dinasti Samaniyah telah memaksa Ibnu Sina untuk pergi dari Bukhara.

Keruntuhan Dinasti Samaniyah menghadirkan perebutan wilayah dan melahirkan penguasa baru, yakni Dinasti Ghaznawiyah, yang awalnya adalah gubernur Samaniyah di Ghazni. Ketika Nuh bin Mansyur berkuasa, dia mengangkat Sabuktigin sebagai gubernur Ghazni pada 977.[12] Lalu ketika terjadi pemberontakan di Khurasan pada 994, Sabuktigin dan putranya Mahmud berhasil memadamkan pemberontakan itu sehingga Nuh bin Mansyur mengangkat Mahmud sebagai gubernur Khurasan. Namun, pada 997 Mahmud berbalik mendukung Kara-Khanid yang saat itu tengah berperang dengan Samaniyah. Maka saat Dinasti Samaniyah runtuh pada 999, Mahmud mengklaim wilayah Khurasan, Balkh, Herat, dan Merv dari Samaniyah.[10]

Kehilangan patron dan pelindung, serta terjadinya pergolakan politik dan pergantian kekuasaan yang terjadi terus menerus, memaksa Ibnu Sina untuk mengembara dan selalu berpindah dari kota ke kota. Pergolakan politik dan munculnya Dinasti Ghaznawiyah yang kini menguasai Bukhara memaksa Ibnu Sina pindah dari Bukhara ke Gurganji.[6] Sultan Mahmud mengingingkan Ghazni sebagai pusat kebudayaan dan mengundang berbagai ilmuwan seperti Al-Biruni, Ferdowsi, dan Ibnu Sina untuk datang ke ibukota Ghaznawiyah di Ghazni, tapi Ibnu Sina memilih untuk melarikan diri dari Bukhara ke kota Gurganji di utara,[8] yang saat itu dikuasai Dinasti Ma'muniyah (995–1017) yang berkuasa sesaat di wilayah Khwarezmia setelah berhasil menggulingkan Dinasti Afrighiyah (305–995).[11]

Di Gurganji, Ibnu Sina bertemu seorang menteri bernama Abu al-Hussein Suhali[8] yang menerimanya dengan baik dan memperkenalkannya dengan penguasa Ma'muniyah.[6] Meski di Gurganji mendapatkan rumah yang besar dan gaji yang cukup, namun keadaan memaksanya untuk terus mengembara dan berpindah dari kota ke kota. Selama beberapa tahun Ibnu Sina dikabarkan terus berpindah tempat, mulai dari Gorganji, ke Nisa, lalu ke Abiward (ketiganya sekarang di Turkmenistan), kemudian ke Tus, ke Shaqqan (Sarbadar), ke Samangan, lalu ke Jajarm (semuanya sekarang di Iran).[8] Dari sana Ibnu Sina berencana menuju Gorgan untuk mencari suaka kepada Sultan Qabus,[8] dari Dinasti Ziyariyah, yang terkenal sebagai pelindung para ilmuwan; namun ketika Ibnu Sina akhirnya tiba di kota itu, Sultan Qabus telah meninggal sejak tahun 1013.[13]

Ibnu Sina kemudian meninggalkan Gorgan menuju Dahae (di Turkmenistan) tapi terpaksa kembali ke Gorgan karena menderita sakit selama perjalanan. Pada saat kembali ke Gorgan itulah dia bertemu dengan Abu 'Ubayd Juzjani, seorang pelajar, yang berasal dari wilayah Balkh seperti asal ayah Ibnu Sina.[6] Abu 'Ubayd Juzjani kemudian menjadi murid yang paling setia dan melayani Ibnu Sina hingga akhir hayatnya.[13][14] Sampai periode ini autobiografi Ibnu Sina berakhir dan kisah selanjutnya diteruskan oleh Juzjani: "Dari titik ini, saya lah yang menuliskan episode-episode kehidupan Guru [Ibnu Sina] yang saya saksikan sendiri selama saya menemaninya hingga kematiannya."[7][6]

Di Gorgan tampaknya Ibnu Sina diterima dengan baik. Seorang penduduk Gorgan, yang dikatakan pencinta ilmu, membelikan Ibnu Sina sebuah rumah yang cukup nyaman. Menurut Dimitri Gutas, kemungkinan Ibnu Sina mendapat suaka dari Manuchihr (berkuasa 1012–1031), putra Sultan Qabus, yang menjadi penguasa Dinasti Ziyariyah menggantikan ayahnya.[13] Juzjani kerap mengunjungi rumah Ibnu Sina untuk membaca "Risalah Matematika" (Almagest) karya Ptolemaeus bersamanya. Di sana pula Ibnu Sina mulai mendiktekan karya-karyanya untuk ditulis ulang oleh Juzjani, di antaranya: Mukhtasar Al-Awshāt (Ringkasan Tengah), Al-Mabda wal-Ma'ād (Masa Awal dan Masa Kembali), Al-Arsyād Al-Kulliyah (Observasi Umum), Mukhtasar Al-Majisti (Ringkasan Almagest), dan berbagai traktat lainnya.[6] Di Gorgan pula Ibnu Sina mulai menulis bagian awal Al-Qānūn fī al-Thibb (Kanon Kedokteran).[6]

 
Persia sekitar kurun 1000 masehi.

Selang beberapa waktu, untuk alasan yang tidak disebutkan, sekitar tahun 1014 Ibnu Sina meninggalkan Gorgan menuju Ray di Persia, kota tempat kelahiran Khalifah Harun al-Rasyid.[6] Saat tiba di Ray, kota itu dipimpin seorang emir dari Dinasti Buwaihi yang masih kecil bernama Majd al-Dawla, sehingga pada waktu itu ibunya, Sayyidah Syirin (wafat 1028), yang secara de facto berkuasa.[15] Sebagaimana dikisahkan Juzjani, Majd al-Dawla menderita sakit dan ditempatkan ibunya di harem dan Ibnu Sina ditugaskan untuk merawatnya.[6]

Ibnu Sina menetap di Ray selama dua hingga tiga tahun, dan di sana menyelesaikan sebuah buku berjudul Kitāb al-Ma'ad (Buku Masa Kembali).[6] Setelah itu Ibnu Sina pergi dari Ray menuju Qazwin, kemudian menuju Hamadan dan diangkat sebagai wazir (perdana menteri) Syams al-Dawla, yang tidak lain saudara Majd al-Dawla. Meski Juzjani tidak menceritakan alasan kepindahan Ibnu Sina, namun Khvandamir, sejarahwan Persia abad ke-15, menceritakan bahwa Ibnu Sina membuat marah Sayyidah Syirin karena bersikeras bahwa salah satu putranya memiliki hak atas kerajaan.[6]

Dalam kesibukannya sebagai wazir kerajaan, Juzjani meminta gurunya untuk terus menulis dan Ibnu Sina berjanji untuk memenuhinya.[7] Maka atas bantuan Juzjani dan murid-muridnya yang lain, setiap malam Ibnu Sina mengadakan pertemuan di rumahnya bersama murid-muridnya, sehinga akhirnya Ibnu Sina berhasil menyelesaikan bukunya Al-Qānūn fī al-Thibb (Kanon Kedokteran) yang telah dimulai sejak di Gorgon, serta mulai menulis Kitāb al-Syifā (Buku Penyembuhan).[6][16] Dari riwayat yang lain dikatakan bahwa setiap pagi, sebelum berangkat bekerja, Ibnu Sina selalu menyempatkan diri untuk menulis Kitāb al-Syifā, kemudian memanggil murid-muridnya dan membacakan tulisannya.[6]

Ketika Syams al-Dawla meninggal tahun 1021, para jendral meminta Sama al-Dawla, yang naik tahta menggantikan ayahnya, untuk tetap menjadikan Ibnu Sina sebagai wazir kerajaan. Tetapi Ibnu Sina menulak permintaan ini, yang alasannya, menurut Soheil M. Afnan, karena sebelumnya para jendral di Hamadan sempat menyerang Ibnu Sina.[6] Alih-alih tetap menjadi wazir, Ibnu Sina memilih untuk pergi dan bersembunyi atas bantuan pelindungnya, Abu Ghalib al-Attar;[13] di mana pada kurun inilah Ibnu Sina berhasil menyelesaikan Kitāb al-Syifā yang dia tulis 50 halaman setiap harinya.[16]

Selama dalam persembunyian, Ibnu Sina sempat melakukan korespondensi rahasia dengan 'Ala al-Dawla, penguasa di Isfahan, dan menawarkan diri untuk menjadi pembantunya. Penguasa di Hamadan, khususnya menteri bernama Tāj-al-Mulk, mencium peristiwa ini dan menuduh Ibnu Sina melakukan pengkhianatan. Maka mereka pun menangkap Ibnu Sina dan memenjarakannya di sebuah kastil di luar Hamadān yang disebut Fardajān.[13] Ibnu Sina dipenjara selama hampir empat bulan hingga pasukan 'Ala al-Dawla dari Isfahan menyerang Hamadan dan mengakhiri pemerintahan Samāʾ al-Dawla pada 1023. Ibnu Sina pun bebas.

Selama dalam tahanan, Ibnu Sina menyelesaikan menyibukkan diri dengan menulis dan menyelesaikan Kitāb al-Hidāyah (Buku Hidayah), Risālah Hayy bin Yaqdzān (Kisah Kehidupan Orang yang Waspada), Kitāb al-Qulanj (Buku tentang Kolik/Sakit Perut), dan Al-Adawiyāt al-Qalbiyah (Pengobatan Jantung). Ketika sudah keluar dari tahanan dan saat masih berada di Hamadan, Ibnu Sina menghabiskan waktu menulis bab logika dari Kitāb al-Syifā.

Periode Stabil di Isfahan sunting

Ibnu Sina sempat ditawari kembali untuk menduduki posisi administratif di Hamadan tetapi dia menolaknya. Selang beberapa waktu, Ibnu Sina memutuskan untuk pindah ke Isfahan bersama para pengikutnya, yakni Juzjani dan saudaranya, serta dua orang budak.[13] Mereka menyamar menggunakan pakaian sufi hingga akhirnya tiba di gerbang Isfahan. Di sana mereka disambut sahabat-sahabatnya, kemudian dibawa ke sebuah rumah yang sudah disapkan sebagai tempat kediamannya.[6]

Pindah ke Isfahan dan berada di bawah perlindungan 'Ala al-Dawla, tampaknya merupakan keputusan yang tepat dan menjadi periode paling stabil dalam kehidupan Ibnu Sina.[16] Dalam kalimat Juzjani, penguasa Kakuyiah itu "memberikan rasa hormat dan penghargaan yang sudah sepantasnya diterima oleh seseorang sekaliber dia [Ibnu Sina]."[13] Tidak heran bila 'Ala al-Dawla mengeluarkan maklumat: pada setiap Jumat malam sebuah pertemuan digelar bagi Ibnu Sina untuk membahas topik ilmiah dan filosofis, dan dihadiri orang-orang terpelajar dari semua golongan.[6]

Selama menetap di Isfahan, Ibnu Sina tidak menduduki posisi resmi di pemerintahan dan cenderung menghindari politik beserta seluruh perangkapnya. Dia mengabdikan seluruh waktunya hanya untuk menulis dan mengajar. Untuk pertama kalinya, Ibnu Sina juga menulis sebuah buku tentang filsafat dalam bahasa Persia yang—sesuai dengan nama pelindungnya—diberi judul Dānish-Nāmeh ye 'Alā'i (Buku Pengetahuan 'Ala al-Daula). Di luar itu Ibnu Sina menulis Kitāb al-Najāt (Buku Doa), Kitāb al-Insyāf (Buku Penghakiman Diri), dan melengkapi Kitāb al-Syifā (Buku Penyembuhan) yang telah lama dirintisnya.

Mendalami Bahasa Arab sunting

Meski Ibnu Sina sudah terbiasa menulis dalam bahasa Arab, tapi dia bukanlah ahli dalam bidang sastra dan literatur Arab. Pada suatu hari, dalam pertemuan yang dihadiri 'Ala al-Dawla, Ibnu Sina mengutarakan jawaban akan sebuah pertanyaan linguistik yang pelik. Seorang terpelajar maju dan berkata, "Anda adalah seorang filsuf dan juga orang bijaksana, tetapi tidak cukup baik memahami filologi sehingga jawaban Anda tidak memuaskan hati kami." Teguran halus ini sangat mengganggu Ibnu Sina; maka dia pun secara sungguh-sungguh mempelajari tata bahasa dan sastra secara menyeluruh.[6]

Sekitar tiga tahun kemudian, Ibnu Sina berhasil menyusun tiga puisi Arab yang penuh dengan kata-kata langka; serta menulis tiga esai dengan berbagai gaya bahasa. Dia lalu membundel karyanya dalam satu jilid, kemudian menyerahkannya kepada 'Ala al-Dawla agar diteruskan kepada orang terpelajar yang telah menegurnya. Orang terpelajar itu keheranan membacanya, dan tidak berhasil menebak pengarangnya.[6]

Pada tahun-tahun berikutnya Ibnu Sina mencoba menyusun sebuah karya tentang linguistik Arab yang diberi judul Lisānul Arab, namun tulisan ini tidak selesai dan masih dalam bentuk naskah kasar hingga kematian menjemputnya.[6] Selain itu Ibnu Sina juga menulis sebuah esai tentang Logika saat mengunjungi Gorgan yang berjudul al-Mukhtasar al-Asghār (Ringkasan Pendek), yang kemudian disertakan pada pembukaan Kitāb al-Najāt.[6]

Jatuhnya Isfahan dan Masa Tua sunting

 
Mausoleum Ibnu Sina di Hamadan

Sayyidah Syirin, yang menjadi penguasa di Ray atas nama putranya, meninggal pada 1028. Peristiwa itu memberi jalan bagi Sultan Mahmud untuk menyerang Dinasti Buwaihi. Sultan Ghaznawiyah itu sudah lama mengincar Persia Tengah, namun terhalang oleh kehadiran penguasa perempuan sehingga menahan diri untuk melakukan serangan.[6] Tetapi Majd al-Dawla terbukti tidak secakap ibunya. Sepeninggal Sayyidah Syirin, pemberontakan melanda Ray dan memaksa Majd al-Dawla meminta bantuan penguasa Ghaznawiyah. Menggunakan undangan Majd al-Dawla sebagai dalih, Sultan Mahmud mengirimkan pasukan ke Ray dan menaklukan Majd al-Dawla pada 1029.[17]

Jatuhnya Ray membuat Isfahan berada dalam ancaman. Meski 'Ala al-Dawla telah berusaha menawarkan jalan damai, namun Sultan Mahmud bersikukuh menaklukan seluruh Dinasti Buwaihi dan membebaskan Kekhalifahan Abbasiyah dari cengkramannya.[17] Ketika Mas'ud, putra Sultan Mahmud, memasuki Isfahan pada tahun 1029, 'Ala al-Dawla melarikan diri ke Ahvaz,[17] dan dapat dipastikan Ibnu Sina turut melarikan diri bersamanya.[6] Saat peristiwa itu terjadi, dikabarkan rumah Ibnu Sina dijarah dan seluruh koleksi perpustakaannya diangkut ke Ghazni.[6]

Tidak lama 'Ala al-Dawla kembali ke Isfahan dan bersedia menjadi kerajaan bawahan Ghaznawiyah dengan upeti sebesar 200.000 dinar. Dan ketika Sultan Mahmud meninggal tahun 1930, 'Ala al-Dawla melepaskan diri dari Ghaznawiyah dan bahkan berhasil merebut Ray.[6] Dengan jarak yang jauh dari Ghazni, ibukota Ghaznawiyah, untuk sementara Isfahan bebas dari gangguan.[17] Menurut Soheil M. Afnan, urutan peristiwa politik selama periode ini saling bertentangan dan tanggalnya tidak bisa dipastikan.[6] Satu hal yang pasti, pada tahun 1035, Sultan Mas'ud yang menjadi penguasa Ghaznawiyah kembali menyerang Isfahan. Dan perang ini terus berlangsung hingga kematian 'Ala al-Dawla pada tahun 1041.[17]

Ibnu Sina dikabarkan terus menemani 'Ala al-Dawla dalam setiap kesempatan, bahkan dalam perang sekalipun. Pada tahun-tahun terakhir inilah Ibnu Sina dikabarkan mulai jatuh sakit dan menderita kolik hebat.[6] Meski Ibnu Sina sudah berusaha mengobati dirinya sendiri, namun penyakitnya tidak sepenuhnya lenyap. Kemudian, saat menemani 'Ala al-Dawla dalam ekspedisi, penyakit Ibnu Sina kembali kambuh. Pada saat itu Ibnu Sina menyadari bahwa kekuatan tubuhnya menyusut dengan cepat dan seolah menyadari kematiannya sudah dekat, dia meminta untuk menghentikan semua pengobatannya dan berkata, "Tidak ada gunanya lagi mencoba menyembuhkan penyakit saya."[6]

Setelah bertahan beberapa hari, tidak lama setelah mereka memasuki Hamadan, Ibnu Sina meninggal dan dimakamkan di sana pada sekitar bulan Juni/Juli 1037 (Ramadhan 428 hijriah) dalam usia 58 tahun.

Pemikiran Ibnu Sina sunting

 
Sketsa Ibnu Sina dari manuskrip 1271 berjudul 'Subtleties of Truth'

Ibnu Sina memberi sumbangan besar atas perkembangan awal filsafat Islam, terutama dalam tema logika, etika, dan metafisika. Sebagian besar karyanya ditulis dalam bahasa Arab—yang merupakan lingua franca di Timur Tengah—dan beberapa ditulis dalam bahasa Persia. Skema emanasi Neoplatonis yang diangkat Ibnu Sina menjadi landasan fundamental dalam Ilmu Kalam.[18]

Selain itu, menyebut nama Ibnu Sina tidak bisa lepas dari karya terbesarnya Kitab Al-Syifa dalam bidang kedokteran. Lima puluh tahun setelah ditulis, Kitab Al-Syifa sudah beredar di Eropa dalam terjemahan parsial dalam bahasa Latin dengan judul Sufficientia, dan beberapa peneliti mengidentifikasi bahwa pengaruh Ibnu Sina tumbuh sejalan dengan pengaruh Ibnu Rusyd, tetapi surut akibat oleh Dekit Paris 1210 dan 1215 yang menganggap beberapa ajaran atau buku sebagai heretik.[19]

Metafisik sunting

Filsafat dan Islam metafisika Islam awal, dijiwai karena dengan teologi Islam, membedakan lebih jelas daripada Aristotelianisme antara esensi dan eksistensi. Sedangkan keberadaan adalah domain dari kontingen dan disengaja, esensi bertahan dalam makhluk luar disengaja. Filsafat Ibnu Sina, terutama bagian yang berkaitan dengan metafisika, berutang banyak al-Farabi. Pencarian untuk filsafat Islam definitif terpisah dari okasionalisme dapat dilihat pada apa yang tersisa dari karyanya.

Setelah memimpin al-Farabi, Ibnu Sina memulai penyelidikan penuh ke dalam pertanyaan dari makhluk, di mana ia membedakan antara esensi (Mahiat) dan keberadaan (Wujud). Dia berargumen bahwa fakta keberadaan tidak dapat disimpulkan dari atau dicatat dengan esensi dari hal-hal yang ada, dan bentuk yang dan materi sendiri tidak dapat berinteraksi dan berasal gerakan alam semesta atau aktualisasi progresif hal yang ada. Keberadaan harus, karena itu, disebabkan agen-penyebab yang mengharuskan, mengajarkan, memberikan, atau menambah eksistensi ke esensi. Untuk melakukannya, penyebabnya harus menjadi hal yang ada dan hidup berdampingan dengan efeknya.

Pertimbangan Ibnu Sina dari pertanyaan esensi-atribut dapat dijelaskan dalam hal analisis ontologis tentang modalitas menjadi; yaitu kemustahilan, kontingensi, dan kebutuhan. Ibnu Sina berpendapat bahwa makhluk tidak mungkin adalah bahwa yang tidak bisa eksis, sementara kontingen sendiri (mumkin bi-dhatihi) memiliki potensi untuk menjadi atau tidak menjadi tanpa yang melibatkan kontradiksi. Ketika diaktualisasikan, kontingen menjadi 'ada diperlukan karena apa yang selain itu sendiri' (wajib al-wujud bi-ghayrihi). Jadi, kontingensi dalam dirinya adalah potensi beingness yang akhirnya bisa diaktualisasikan oleh penyebab eksternal selain itu sendiri. Struktur metafisik kebutuhan dan kontinjensi berbeda. makhluk diperlukan karena itu sendiri (wajib al-wujud bi-dhatihi) benar dalam dirinya sendiri, sedangkan makhluk kontingen adalah 'palsu dalam dirinya sendiri' dan 'benar karena sesuatu yang lain selain itu sendiri'. Yang diperlukan adalah sumber keberadaan sendiri tanpa adanya dipinjam. Ini adalah apa yang selalu ada.

The Necessary ada 'karena-to-Its-Self', dan tidak memiliki hakikat / esensi (mahiyya) selain keberadaan (wujud). Selanjutnya, Ini adalah 'One' (wahid ahad) [37] karena tidak bisa ada lebih dari satu 'Diperlukan-yang Ada-karena-to-Hakikat' tanpa differentia (fasl) untuk membedakan mereka dari satu sama lain. Namun, untuk meminta differentia mensyaratkan bahwa mereka ada 'karena-to-diri' serta 'karena apa yang selain diri mereka sendiri'; dan ini bertentangan. Namun, jika tidak ada differentia membedakan mereka dari satu sama lain, maka tidak ada rasa di mana ini 'Existent' tidak satu dan sama. [38] Ibnu Sina menambahkan bahwa 'Diperlukan-yang Ada-karena-to-Hakikat' tidak memiliki genus (jins), atau definisi (hadd), maupun rekan (nTambahkan) atau berlawanan (melakukan), dan terlepas (bari) dari materi (madda), kualitas (kayf), kuantitas (kam), tempat (ain ), situasi (segumpal), dan waktu (waqt).

Teologi sunting

Ibnu Sina adalah seorang Muslim yang taat dan berusaha untuk mendamaikan filsafat rasional dengan teologi Islam. Tujuannya adalah untuk membuktikan keberadaan Tuhan dan ciptaan-Nya dari dunia ilmiah dan melalui akal dan logika. [43] Pandangan Ibnu sina tentang teologi Islam (dan filsafat) yang sangat berpengaruh, membentuk bagian dari inti kurikulum di sekolah-sekolah agama Islam sampai abad ke-19. [44] Ibnu Sina menulis sejumlah risalah singkat berurusan dengan teologi Islam. Ini risalah disertakan pada nabi (yang ia dipandang sebagai "filsuf terinspirasi"), dan juga pada berbagai penafsiran ilmiah dan filosofis dari Quran, seperti bagaimana Quran kosmologi sesuai dengan sistem filsafat sendiri. Secara umum risalah ini terkait tulisan-tulisan filosofis ide-ide agama Islam; misalnya, akhirat tubuh.

Ada petunjuk singkat sesekali dan sindiran dalam bukunya lagi bekerja namun yang Ibnu Sina dianggap filsafat sebagai satu-satunya cara yang masuk akal untuk membedakan nubuatan nyata dari ilusi. Dia tidak menyatakan ini lebih jelas karena implikasi politik dari teori semacam itu, jika nubuat bisa dipertanyakan, dan juga karena sebagian besar waktu ia menulis karya pendek yang berkonsentrasi pada menjelaskan teori-teorinya tentang filsafat dan teologi jelas, tanpa menyimpang ke mempertimbangkan hal-hal epistemologis yang hanya bisa dipertimbangkan oleh filsuf lain. [45]

Kemudian interpretasi dari Ibnu Sina filsafat dibagi menjadi tiga sekolah yang berbeda; mereka (seperti al-Tusi) yang terus menerapkan filosofinya sebagai sistem untuk menafsirkan peristiwa politik kemudian dan kemajuan ilmiah; mereka (seperti al-Razi) yang dianggap karya teologis Ibnu Sina dalam isolasi dari keprihatinan filosofis yang lebih luas; dan mereka (seperti al-Ghazali) yang selektif digunakan bagian dari filsafat untuk mendukung upaya mereka sendiri untuk mendapatkan wawasan spiritual yang lebih besar melalui berbagai cara mistis. Itu interpretasi teologis diperjuangkan oleh orang-orang seperti al-Razi yang akhirnya datang untuk mendominasi di madrasah. [46]

Ibnu Sina menghafal Al Qur'an pada usia sepuluh, dan sebagai orang dewasa, ia menulis lima risalah mengomentari surah dari Al-Qur'an. Salah satu teks-teks ini termasuk Bukti Nubuat, di mana dia komentar pada beberapa ayat-ayat Alquran dan memegang Quran di harga tinggi. Ibnu Sina berpendapat bahwa nabi Islam harus dianggap lebih tinggi dari filsuf. [47]

Eksperimen pikiran sunting

Sementara ia dipenjarakan di kastil Fardajan dekat Hamadan, Ibnu Sina menulis yang terkenal "Mengambang Man" nya - benar jatuh man - percobaan berpikir untuk menunjukkan manusia kesadaran diri dan kekukuhan dan tidak material jiwa. Ibnu Sina percaya nya "Mengambang Man" eksperimen pikiran menunjukkan bahwa jiwa adalah substansi, dan mengklaim manusia tidak dapat meragukan kesadaran mereka sendiri, bahkan dalam situasi yang mencegah semua input data sensorik. Pikiran percobaan kepada pembacanya untuk membayangkan diri mereka diciptakan sekaligus sementara ditangguhkan di udara, terisolasi dari semua sensasi, yang mencakup tidak ada kontak sensorik bahkan dengan tubuh mereka sendiri. Dia berargumen bahwa, dalam skenario ini, kita masih akan memiliki kesadaran diri. Karena dapat dibayangkan bahwa seseorang, ditangguhkan sementara udara terputus dari pengalaman rasa, masih akan mampu menentukan eksistensi sendiri, poin pemikiran percobaan untuk kesimpulan bahwa jiwa adalah kesempurnaan, independen dari tubuh dan immaterial zat. The conceivability ini "Mengambang Man" menunjukkan bahwa jiwa dianggap intelektual, yang mencakup keterpisahan jiwa dari tubuh. Avicenna disebut kecerdasan manusia hidup, terutama intelek aktif, yang ia percaya untuk menjadi hypostasis yang melaluinya Tuhan berkomunikasi kebenaran kepada pikiran manusia dan menanamkan ketertiban dan kejelasan dengan alam.

Bibliografi sunting

Menurut berbagai peneliti, Ibnu Sina menulis sekitar 450 judul, namun hanya 240 yang selamat dan bertahan hingga hari ini. Di antara karya-karyanya yang masih ada, 240 judul merupakan tulisan di bidang filsafat dan 40 judul dalam bidang pengobatan.[3]

Berikut beberapa karya Ibnu Sina dalam bentuk kitab atau buku:

  • Al-Qānūn fī al-Thibb (Kanon Kedokteran);
  • Kitāb al-Syifā (Buku Penyembuhan);
  • Mukhtasar Al-Awshāt (Ringkasan Tengah);
  • Al-Mabda wal-Ma'ād (Masa Awal dan Masa Kembali);
  • Kitāb al-Ma'ad (Buku Masa Kembali);
  • Al-Arsyād Al-Kulliyah (Observasi Umum);
  • Mukhtasar Al-Majisti (Ringkasan Almagest, Ptolomaeus);
  • Mantiq Al Masyriqin (Logika Timur);
  • Kitāb al-Hidāyah (Buku Hidayah);
  • Kitāb al-Qulanj (Buku tentang Kolik/Sakit Perut);
  • Al-Adawiyāt al-Qalbiyah (Pengobatan Jantung);
  • Kitāb al-Najāt (Buku Doa);
  • Kitāb al-Insyāf (Buku Penghakiman Diri);

Berikut adalah sejumlah esai, cerita, dan kumpulan puisi yang ditulis Ibnu Sina:

  • Risālah Hayy bin Yaqdzān (Kisah Kehidupan Orang yang Waspada);
  • Risalah Ath-Thair;
  • Risalah fi Sirr al-Qadar;
  • Risalah fi Al- 'Isyq;
  • Risalah al-Mukhtasar al-Asghār (Ringkasan Pendek);
  • Tahshil As-Sa'adah;
  • Al-Urjuzah fi Ath-Thibb;
  • Al-Qasidah Al-Muzdawiyyah;
  • Al-Qasidah Al- 'Ainiyyah.

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e f g Wisnovsky, Robert (2004). Adamson, Peter; Taylor, Richard C., ed. Avicenna and the Avicennian Tradition. Cambridge Companions to Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 92–136. doi:10.1017/ccol0521817439.006. ISBN 978-0-521-81743-1. 
  2. ^ Rizvi, Sajjad H. "Avicenna (Ibn Sina) | Internet Encyclopedia of Philosophy" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-06-09. 
  3. ^ a b O'Connor, J. J.; Robertson, E. F. (November 1999). "Abu Ali al-Husain ibn Abdallah ibn Sina (Avicenna)". Maths History (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-06-09. 
  4. ^ Lilly Library (Indiana University, Bloomington) (2004-08-31). "Medicine : an exhibition of books relating to medicine and surgery from the collection formed by J.K. Lilly. An Exhibition: a machine-readable transcription". Lilly Library (Indiana University, Bloomington). Diakses tanggal 2023-06-09. 
  5. ^ Adamson, Peter; Adamson, Peter (2018). Philosophy in the Islamic world. A history of philosophy without any gaps (edisi ke-Paperback edition). New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-957749-1. 
  6. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac Afnan, Soheil M. (2015-10-14). Avicenna: His Life and Works (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 978-1-317-37859-4. 
  7. ^ a b c d e f g h i j k l m Ushaybi’ah, Ibnu Abi (1981). 'Uyūn al-Anbā' fī Thabaqāt al-Athibbā' (dalam bahasa Arab). Dar al-Taqafa. Archived from the original on 2023-06-01. Diakses tanggal 2023-06-09. 
  8. ^ a b c d e f g h i j k l m n Ibnu Sina: Sebuah Autobiografi. Dicuplik dari ’Uyūn al-Anbā’ fī Thabaqāt al-Athibbā’ karya Ibnu Abi Ashaybi’ah. Penerjemah: Zaenal Muttaqin (2021). Medium. Diakses tanggal 2023-06-09.
  9. ^ Fisher, William Bayne; Frye, Richard Nelson; Frye, R. N. (1975-06-26). The Cambridge History of Iran (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. hlm. 177. ISBN 978-0-521-20093-6. 
  10. ^ a b c d Osimī, Muḩammad, ed. (1998). History of civilizations of Central Asia: A.D. 750 to the end of the fifteenth century. Part 1: Vol. 4, The age of achievement The historical, social and economic setting / ed.: M. S. Asimov. Paris: UNESCO Publ. ISBN 978-92-3-103467-1. 
  11. ^ a b Boyle, John Andrew; Bailey, Harold Walter; Gray, Basil (1968). The Cambridge history of Iran. The Cambridge history of Iran. Cambridge: Cambridge university press. ISBN 978-0-521-06936-6. 
  12. ^ Majumdar, Ramesh Chandra (1966). The History and Culture of the Indian People (dalam bahasa Inggris). Bharatiya Vidya Bhavan. 
  13. ^ a b c d e f g Gutas, Dimitri (1989). “AVICENNA ii. Biography,” Encyclopædia Iranica, III. London: Routledge & Kegan Paul. hlm. 67–70. ISBN 978-0-7100-9121-5. RingkasanEncyclopædia Iranica (17 Agustus 2011). 
  14. ^ Gutas, Dimitri (2014). Avicenna and the Aristotelian tradition: introduction to reading Avicenna's philosophical works, including an inventory of Avicenna's authentic works. Islamic philosophy, theology and science (edisi ke-2nd revised and enlarged ed). Leiden: Brill. ISBN 978-90-04-20172-9. 
  15. ^ Sajjadi, Sadeq; Asatryan, Translated by Mushegh; Melvin-Koushki, Translated by Matthew (2021-06-17). "Būyids". Encyclopaedia Islamica (dalam bahasa Inggris). Brill. doi:10.1163/1875-9831_isla_com_05000055. 
  16. ^ a b c Adamson, Peter (2013). Interpreting Avicenna: critical essays. Cambridge New York: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-19073-2. 
  17. ^ a b c d e Bosworth, C. E. (1968). Boyle, J. A., ed. The Political and Dynastic History of the Iranian World (A.D. 1000–1217). The Cambridge History of Iran. 5. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 1–202. doi:10.1017/chol9780521069366.002. ISBN 978-0-521-06936-6. 
  18. ^ Fancy, Nahyan A. G. (2006-11-06). "Pulmonary Transit and Bodily Resurrection: The Interaction of Medicine, Philosophy and Religion in the Works of Ibn al-Nafīs (d. 1288)". University Of Notre Dame. 
  19. ^ Corbin, Henry (2014-06-23). History Of Islamic Philosophy (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 978-1-135-19889-3. 

20. Robert Wisnovsky, Avicenna's Metaphysics in Contexts, 2003