Ibrahim an-Nazzam

(Dialihkan dari Ibrahim al-Nazzam)


Ibrahim an-Nazzam (c. 775 – c. 845) adalah seorang filsuf, penyair, dan teolog Mu'tazilah [1] Ia merupakan keponakan teolog Mu'tazilah, Abu al-Hudhayl al-'Allaf, dan al-Jahiz adalah salah satu muridnya. An-Nazzam bertugas di istana daulah Abbasiyah pada masa kepemimpinan khalifah Al-Mamun.[2]

Infobox orangIbrahim an-Nazzam
Nama dalam bahasa asliAbū Isḥāq Ibrāhīm ibn Sayyār ibn Hāni‘ an-Naẓẓām (أبو إسحاق إبراهيم بن سيار بن هانئ النظام)
Biografi
Kelahiran(ar) إبراهيم بن سيار بن هانئ البصري Edit nilai pada Wikidata
154-168 H (775-782 M)
Basra, Kekhalifahan Abbasiyah
Kematian845 Edit nilai pada Wikidata (69/70 tahun)
221-230 H (836-845 M)
Data pribadi
AgamaIslam dan Mu'taziliyah Edit nilai pada Wikidata
Kegiatan
SpesialisasiFilsafat dan Ilmu Kalam Edit nilai pada Wikidata
Pekerjaanteolog, penyair, filsuf Edit nilai pada Wikidata
Bekerja diBagdad Edit nilai pada Wikidata
Murid dariMuḥammad Ibn-al-Huḏail Abu-'l-Huḏail al-ʿAllāf (en) Terjemahkan dan Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi Edit nilai pada Wikidata
MuridAl-Jahiz Edit nilai pada Wikidata

Pandangan

sunting

Kepercayaan

sunting

Berbeda dengan berbagai pandangan yang dianut pada masanya, dia terkenal karena penolakannya yang kuat terhadap qiyas, yang diterima oleh Hanafi dan Syafi'i; penolakannya terhadap preferensi hukum, yang merupakan pilar pemikiran Hanafi; doktrin konsensus yang mengikat, yang diterima oleh semua Islam Sunni ; dan catatan-catatan yang diyakini oleh banyak Muslim secara akurat menggambarkan tradisi-tradisi kenabian sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah.[3]

Kritik terhadap Abu Hurairah dan hadis-hadisnya

sunting

Seperti halnya para penganut Mu'tazilah awal lainnya, al-Nazzamm adalah seorang penganut skripturalisme yang tidak tertarik pada tradisi dan kisah yang konon diceritakan oleh Abu Hurairah, seorang perawi hadis paling produktif, yang dianggapnya penuh dengan kontradiksi. [3] Bagi al-Nazzam, apa yang disebut sebagai laporan dari satu sumber dan banyak sumber, seperti banyaknya narasi yang dikaitkan dengan Abu Hurairah, tidak bisa dipercaya.[3] Al-Naẓẓām memperkuat bantahannya terhadap penghargaan yang selama ini dipegang teguh terhadap riwayat-riwayat Abu Hurairah dan para sahabat Muhammad lainnya (terutama di kalangan Sunni) dengan klaim yang lebih besar bahwa riwayat-riwayat tersebut beredar dan berkembang terutama untuk mendukung dan melegitimasi tujuan-tujuan polemik berbagai mazhab teologis dan para ahli hukum dan bahwa tidak ada seorang perawi pun, baik yang sezaman dengan Muhammad atau tidak, yang dapat dengan sendirinya dibebaskan dari kecurigaan mengubah isi dari riwayat tunggal mana pun. Sikap skeptis Al-Nazzam melibatkan lebih dari sekadar mengesampingkan kemungkinan verifikasi suatu laporan yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, apakah laporan itu ditelusuri kembali ke satu sumber (wāḥid) atau banyak sumber (mutawātir). Ia juga mempertanyakan laporan-laporan yang diterima secara luas, yang terbukti penting bagi kriteria Mu’tazilah klasik yang dirancang untuk memverifikasi laporan tunggal tersebut, sehingga mendapat perhatian khusus atas kedalaman dan luasnya skeptisismenya.

Kritik terhadap konsensus peradilan

sunting

Penolakan Al-Nazzam terhadap konsensus terutama disebabkan oleh kritik rasionalisnya terhadap sebagian generasi pertama Muslim, yang ia anggap memiliki kepribadian dan kecerdasan yang cacat. Para teolog Syiah al-Shaykh al-Mufīd dan Sharif al-Murtaza sangat menghargai Kitab al-Nakth (Kitab Pembongkaran) karya al-Naẓẓām, yang di dalamnya ia menolak validitas doktrin konsensus.

Referensi

sunting