Iddah (bahasa Arab: masa عدة; "waktu menunggu") di dalam agama Islam adalah sebuah sebuah masa menunggu dan menahan diri bagi seorang perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya untuk dapat kembali meikahi laki-laki lain. Masa iddah dapat berlaku ketika seorang perempuan yang diceraikan karena suaminya mati atau cerai ketika suaminya masih hidup.[1][2] Tujuannya adalah untuk menjaga hubungan darah suaminya. Dikhawatirkan, seorang wanita sedang mengandung saat akan menikah lagi sehingga anaknya menjadi anak pria yang dia nikahi.[3] Terkecuali perempuan usia 35 tahun ke atas dan memang tidak bisa hamil lagi, perempuan tersebut tidak memiliki masa iddah.[4]

Iddah masa waktu menunggu seorang perempuan

Seorang perempuan yang sedang dalam masa iddah disebut mu’taddah.[5] Iddah sendiri menjadi 2, yaitu perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya (mutawaffa ‘anha) dan perempuan yang tidak ditinggal mati oleh suaminya (ghair mutawaffa ‘anha).[5]

Iddah diwajibkan untuk memastikan apakah perempuan tersebut rahimnya sedang mengandung atau tidak, hal tersebut adalah penyebab kenapa seorang perempuan harus menunggu dalam masa yang telah ditentukan.[2][5][6] Apabila ia menikah dalam masa iddah, sedangkan kita tidak mengetahui apakah perempuan tersebut sedang hamil atau tidak dan ternyata dia hamil maka akan timbul sebuah pertanyaan “Siapa bapak dari anak ini?” dan ketika anak tersebut lahir maka dinamakan “anak syubhat”, yakni anak yang tidak jelas siapa bapaknya dan apabila anaknya adalah perempuan maka ia tidak sah, karena ia tidak dinikahkan oleh walinya.[2][5][6]

Iddah itu wajib hukumnya bagi seorang istri yang dicerai oleh suami nya.[6][5] Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa seorang perempuan sedang mengandung atau tidak.[6][5] Iddah tidak wajib bagi perempuan yang belum pernah melakukan hubungan suami istri.[butuh rujukan]Kewajiban iddah berdasarkan ucapan Muhammad kepada Fatimah binti Qais: "Ber'iddahlah kamu di rumah Ibnu Ummi Maktum".[7]

Masa iddah tidak berlaku bagi laki-laki yang telah menikah dan bercerai dalam kondisi istri yang diceraikan masih hidup ataupun mati. Seorang laki-laki yang telah bercerai dengan istrinya dapat menikah lagi dengan perempuan lain tanpa menunggu selesainya masa iddah dari istri yang diceraikan. Namun terdapat dua kondisi yang melarang laki-laki menikah setelah perceraian dan wajib menunggu selesainya masa iddah. Kondisi pertama ialah perceraian atas istri keempat dengan landasan bahwa batas istri bagi seorang muslim adalah empat dalam pernikahan sah maupun masa iddah. Kondisi kedua ialah seorang suami yang menceraikan istrinya dan ingin menikahi perempuan yang tidak boleh dihimpunnya seperti kakak atau adik dari istri yang diceraikan.[8]

Hikmah

sunting
  1. Memberikan kesempatan kepada suami istri untuk kembali kepada kehidupan rumah tangga, apabila keduanya masih melihat adanya kebaikan di dalam hal itu.[6]
  2. Untuk mengetahui adanya kehamilan atau tidak pada istri yang diceraikan.[5] Untuk selanjutnya memelihara jika terdapat bayi di dalam kandungannya, agar menjadi jelas siapa ayah dan bayi tersebut.[5]
  3. Penghargaan terhadap hubungan suami-isteri, sehingga dia tidak langsung berpindah kecuali setelah menunggu dan diakhirkan.[5]

Hak-hak

sunting

Seorang perempuan yang sedang dalam masa iddah masih menjadi tanggungan suami, bukan tanggung jawab keluarga sedarah atau sekandung perempuan tersebut, terkecuali dipisahkan oleh keluarga sedarah atau sekandung dari sang istri.[5] Maka sang suami tidak wajib memenuhi hak-hak istrinya sampai masa iddahnya selesai,[5] dan berikut adalah hak-hak nya:

  1. Istri yang menjalani masa iddah karena ditalak raji’ (dapat dirujuk kembali) atau istrinya terkena talak ba’in (tidak dapat rujuk kembali) yang sedang hamil, apabila terjadi salah satu hal tersebut maka ia berhak mendapatkan tempat tinggal, pakaian, dan nafkah dari suami yang menceraikannya selama masa iddahnya.[9][6][5]
  2. Istri yang dalam masa iddah dikarenakan suaminya wafat, maka ia hanya mendapat hak waris, walaupun sedang hamil.[6][5][9]
  3. Wanita yang dicerai dengan talak ba’in (tidak dapat rujuk kembali) maka baginya hanya mempunyai hak tempat tinggal saja dan tidak yang lainnya[6][5][9]. Talak ba'in adalah talak yang tidak memberi hak merujuk bagi bekas suami terhadap bekas istri kedalam ikatan perkawinan dengan bekas suami harus melalui akad nikah baru, lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya[10]. Catatan: tempat tinggal bukan disediakan oleh keluarga sedarah atau sekandung dan istri tersebut.

Variasi

sunting
  1. Jika perempuan yang ditinggalkan mati suaminya tidak hamil, maka masa iddahnya 4 bulan 10 hari.[5][9] Adapun apabila ia dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya adalah sampai perempuan tersebut melahirkan.[5][9][2]
  2. Jika perempuan itu dalam keadaan tidak hamil dan masih memiliki siklus haid, maka masa iddahnya sampai ia telah menstruasi sebanyak 3 kali.[5][2]
  3. Jika perempuan itu masih kecil atau sudah tidak memilki siklus haid (menopause), iddahnya 3 bulan.[5][9][6]
  4. Adapun untuk perempuan yang belum pernah disetubuhi, ia tidak memiliki masa iddah.[5][9][1]
  5. Iddah bagi istri yang sedang hamil, yaitu sampai ia melahirkan.[11] Apabila ia sedang hamil maka iddahnya sama dengan perempuan yang merdeka yang sedang hamil, yakni hingga melahirkan.[11] Jika ia tidak hamil, maka masa iddahnya adalah 2 kali menstruasi.[11]

Referensi

sunting
  1. ^ a b Dr. H. Ibnu Mas'ud (2000). Fiqih Mazhab Syafi'i. CV.Pustaka Setia. 
  2. ^ a b c d e (Indonesia) "Kitab Munakahat" (pdf). 
  3. ^ Ali, Jawwad (2019) [1956-1960]. Kurnianto, Fajar, ed. كتاب المفصل في تاريخ العرب قبل الإسلام [Sejarah Arab Sebelum Islam–Buku 5: Politik, Hukum, dan Tata Pemerintahan]. Diterjemahkan oleh Ali, Jamaluddin M.; Hendiko, Jemmy. Tangerang Selatan: PT Pustaka Alvabet. hlm. 347. ISBN 978-602-6577-28-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-08. Diakses tanggal 2020-09-27. 
  4. ^ https://www.alodokter.com/komunitas/topic/halo-dok-saya-wanita-umur-37thn-dan-memilik-1-anak-skrg-ini-sdh-umur-19thn-gol-darah-saya-o-negative
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s Dr.Mustafa Dib Al-Bugha (2012). Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi'i. Noura Books. ISBN 978-602-9498-44-8. 
  6. ^ a b c d e f g h i (Indonesia) Ahmad Sarwad, Lc. "Fiqih Nikah". Diarsipkan dari versi asli (pdf) tanggal 2014-05-03. 
  7. ^ https://an-nur.ac.id/pengertian-dalil-sebab-pensyariatan-hukum-serta-hikmah-iddah/
  8. ^ asy-Sya'rawi, M. Mutawalli (2007). Basyarahil, U., dan Legita, I. R., ed. Anda Bertanya Islam Menjawab. Diterjemahkan oleh al-Mansur, Abu Abdillah. Jakarta: Gema Insani. hlm. 546. ISBN 978-602-250-866-3. 
  9. ^ a b c d e f g Achmad Sunarto (1991). Terjemahan Fat-hul Qarib. Menara Kudus. 
  10. ^ https://kantorpengacara-ram.com/pengertian-talak-perceraian/
  11. ^ a b c (Indonesia) Noer Faqih Arsyi ys. "PAI Kelas XII Bab Munakahah" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (pdf) tanggal 2014-04-18.