Letnan Kolonel Inf. (Purn.) H. Mochammad Idjon Djanbi (13 Mei 1914 – 1 April 1977)[1][2] dengan nama asli Rodes Barendrecht "Rokus" Visser[3] adalah mantan anggota Korps Speciale Troepen KNIL dan komandan Kopassus pertama.

Mochammad Idjon Djanbi
H.M. Idjon Djanbi, pendiri dan komandan pertama Kopassus (1952)
Komandan KKAD ke-1
Masa jabatan
16 April.1952 – 1956
Sebelum
Pendahulu
jabatan baru
Informasi pribadi
Lahir
Rodes Barendrecht Visser

13 Mei 1914
Boskoop, Belanda
Meninggal1 April 1977(1977-04-01) (umur 62)
Yogyakarta, Indonesia
Suami/istriSuyatmi
HubunganRizky Djanbi (cucu)
AnakHeru Sulistyo Djanbi
Tempat tinggalYogyakarta
Karier militer
Pihak Indonesia
Dinas/cabang TNI Angkatan Darat
Masa dinas1942–1969
Pangkat Letnan Kolonel
SatuanInfanteri (RPKAD)
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Karier militer sunting

Karier di militer Belanda sunting

Terlahir sebagai putra seorang petani Tulip yang sukses. Selepas menyelesaikan kuliahnya, Visser muda membantu ayahnya berjualan bola lampu di London. Ketika itu perang dunia kedua dimulai dan karena tidak bisa pulang ke Belanda yang dikuasai oleh Jerman, Visser mendaftarkan pada dinas Ketentaraan Belanda yang mengungsi ke Britania dan membentuk kekuatan baru di sana. Setelah itu dia ditugaskan menjadi sopir Ratu Wilhelmina. Setelah setahun di pos tersebut dia mengundurkan diri dan mendaftarkan diri sebagai operator radio (Radioman) di pasukan Belanda ke-2 (2nd Dutch Troop). Bersama dengan pasukan sekutu, Visser merasakan operasi tempurnya yang pertama, yaitu Operasi Market Garden pada bulan September 1944, saat itu pasukan Belanda ke 2 bagian di mana Visser berada, dimasukkan dalam Divisi Lintas Udara 82 Amerika Serikat. Diterjunkan melalui pesawat layang Visser dan teman-teman Amerikanya mendarat di bagian dengan konsentrasi pasukan Jerman yang tinggi. Dua bulan kemudian saat dikumpulkan kembali, Visser digabungkan dengan pasukan Sekutu yang lain dan melakukan operasi pendaratan amfibi di Walcheren, sebuah kawasan pantai di Belanda bagian selatan.

Karena dianggap berprestasi maka dia disekolahkan di Sekolah Perwira sebelum dikirim ke Asia. Selanjutnya Viser dikirimkan ke Sekolah Pasukan Para di India dan dimaksudkan bergabung dengan pasukan untuk memukul kekuatan Jepang di Indonesia. Kekalahan pasukan Jepang pada 1945 mengakhiri perang dunia ke 2 dan Jepang mundur dari Indonesia sebelum pasukan Visser sempat dikirimkan ke Indonesia. Mundurnya Jepang dari Indonesia membuka peluang kepada Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Karena keadaan di Belanda sedang kacau dan mereka tidak mampu mengirimkan pasukan dari Eropa ke Indonesia, maka mereka berusaha membentuk kesatuan unit khusus di India dengan mendirikan School voor Opleiding van Parachutisten (sekolah pasukan terjun payung) yang dipimpin oleh Letnan Visser dan pasukan ini dikirim ke Jakarta pada 1946. Sekolah ini kemudian di pindah ke Jayapura (Hollandia) di Irian Jaya yang waktu itu dinamakan Dutch West Guinea oleh Belanda, menempati sebuah bangunan rumah sakit Amerika yang telah ditinggalkan oleh pasukan Douglas MacArthur.

Dengan segala kondisi yang ada Visser ternyata menyukai hidup di Asia sehingga dia meminta istrinya (wanita Inggris yang dinikahinya semasa perang dunia II) dan keempat anaknya untuk ikut dengannya ke Indonesia. Ketika istrinya menolak, Visser memilih untuk bercerai. Saat kembali ke Indonesia pada 1947, Sekolah pimpinannya sudah dipindah ke Cimahi, Bandung dan Visser dipromosikan naik pangkat menjadi Kapten. Selama tahun 1947 sampai akhir 1949, sekolah pimpinan Kapten Visser terus melahirkan tentara terjun payung sampai saat di mana Belanda harus menyerahkan kekuasaannya kepada Republik Indonesia. Karena sudah merasa nyaman dengan gaya hidup Asia, maka Kapten Visser memutuskan untuk tinggal di Indonesia sebagai warga sipil. Keputusan ini sangat berisiko, karena walaupun dia bukan termasuk pasukan baret hijau Belanda yang dikenal sangat kejam (Visser sendiri berbaret merah), tapi tidak ada yang bisa meramalkan bagaimana keamanan seorang mantan perwira penjajah di negara jajahannya yang baru saja merdeka. Akhirnya dia menetapkan keputusannya untuk tinggal di Indonesia, pindah ke Bandung, bertani bunga di Pacet, Lembang, memeluk agama Islam, menikahi kekasihnya yang orang Jogja dan mengubah namanya menjadi Mochammad Idjon Djanbi.[4]

Membentuk pasukan khusus Indonesia sunting

 
Djanbi berdiri di sisi kiri, sedangkan di sebelah paling kanan tampak Letjen Sarwo Edhie Wibowo

Pengalaman Idjon Djanbi sebagai anggota pasukan komando pada Perang Dunia II telah menarik perhatian Kolonel A.E. Kawilarang untuk membantu merintis pasukan komando. Idjon Djanbi kemudian aktif di TNI dengan pangkat Mayor. Idjon segera melatih kader perwira dan bintara untuk menyusun pasukan.

Kemudian pada tanggal 16 April 1952 dibentuklah pasukan istimewa tadi dengan nama Kesatuan Komando Teritorium Tentara III/Siliwangi (Kesko TT. III/Siliwangi) dengan Mayor Infanteri Mochammad Idjon Djanbi sebagai komandannya.

Karena satuan Komando ini perlu didukung dengan fasilitas dan sarana yang lebih memadai dan operasional satuan ini diperlukan dalam lingkup yang lebih luas oleh Angkatan Darat, maka Kesko TT. III/Siliwangi beralih kedudukan langsung di bawah komando KSAD bukan di bawah Teritorium lagi dan pada bulan Januari tahun 1953 berganti nama menjadi Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD). Pada tanggal 29 September 1953 KSAD mengeluarkan Surat Keputusan tentang pengesahan pemakaian baret sebagai tutup kepala prajurit yang lulus pelatihan Komando.

Latihan lanjutan Komando dengan materi Pendaratan Laut (Latihan Selundup) baru bisa dilakukan pada tahun 1954 di Pantai Cilacap Jawa Tengah.

Pada tanggal 25 Juli 1955 KKAD berubah namanya menjadi Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD). Yang menjadi komandan adalah Mayor Mochammad Idjon Djanbi.

Untuk meningkatkan kemampuan prajuritnya, tahun 1956 RPKAD menyelenggarakan pelatihan penerjunan yang pertama kalinya di Bandung. Mengingat Indonesia adalah negara kepulauan, maka Mayor Infanteri Mochammad Idjon Djanbi menginginkan agar prajurit RPKAD memiliki kemampuan sebagai peterjun sehingga dapat digerakkan ke medan operasi dengan menggunakan pesawat terbang dan diterjunkan di sana. Lulusan pelatihan ini meraih kualifikasi sebagai peterjun militer dan berhak menyandang Wing Para.

Berhenti dari pasukan khusus sunting

Pada tanggal 25 Juli 1955, Wapres Moh. Hatta meresmikan peningkatan KKAD menjadi RPKAD dan dikepalai tetap oleh Mayor Inf Mochamad Idjon Djanbi dengan Kastaf Mayor Inf R. E. Djailani yang juga merangkap sebagai Komandan SPKAD (sekolah Pasukan Komando Angkatan Darat) dibantu oleh Letnan LB Moerdani sebagai wakilnya.

Di bawah pimpinan Mayor R. E. Djailani dan wakilnya Letnan LB Moerdani, pendidikan komando mulai memperlihatkan hasil yang cukup memadai kendati banyak kekurangan tenaga pengajar maupun dana, dan hal tersebut melipatgandakan keefektifan tempur pasukan.

Pimpinan MABESAD melihat celah untuk mengambil alih kepemimpinan di RPKAD ke orang asli pribumi tetapi hal tersebut tercium oleh mayor Djanbi, dan setelah Djanbi ditawarkan jabatan baru yang jauh dari pelatihan komando, Mayor Djanbi marah dan meminta pensiun.[butuh rujukan]

Kebetulan pada saat itu pada tahun 1956, Indonesia sedang aktif menasionalisasi perusahaan-perusahaan milik asing dan Moh Idjon Djanbi yg sudah menjadi WNI diberi jabatan mengepalai perkebunan milik asing yg dinasionalisasi.

Tetapi ia tetap tidak pensiun sebagai anggota RPKAD (di"karyakan"), pada 1969 pada saat ulang tahun RPKAD Mayor Inf Moh. Idjon Djanbi diberi kenaikan pangkat menjadi Letnan Kolonel.[5]

Lihat pula sunting

Komandan Pasukan Pengamanan Presiden

Referensi sunting

Pranala luar sunting

Jabatan militer
Didahului oleh:
pertama
Komandan KKAD
1952 - 1956
Diteruskan oleh:
R. E. Djailani