Iha Fuyu, Ifa Fuyu (伊波普猷) adalah seorang sejarawan, peneliti, dan ahli bahasa Okinawa, dan juga orang pertama yang mengembangkan studi tentang Okinawa. Ia merupakan salah satu tokoh yang mendukung moderenisasi Okinawa dan penyatuannya dengan Jepang. Dijuluki sebagai "Bapak Studi Okinawa dan Omoro", karena dedikasinya bagi penelitian tentang Okinawa dalam berbagai bidang seperti cerita rakyat, sejarah, mitologi, bahasa dan ritual-ritual. Sekitar 300 karya tulis dan 20 buku telah ditulisnya. Karya-karyanya merupakan dasar dari studi Okinawa di masa sekarang. Iha Fuyu meninggal pada tanggal 13 Agustus 1947 di Tokyo pada usia 72 tahun. Ia dimakamkan di Urasoe Gusuku, Okinawa.

Iha Fuyu

Masa kecil dan pendidikan sunting

Iha Fuyu lahir pada tanggal 20 Februari 1876 di Naha, Pulau Okinawa, dari keluarga kaya dan klan bangsawan Gyo yang berpengaruh. Pada tahun 1895, Iha masuk Sekolah Menengah Prefektural Okinawa. Saat bersekolah ia ikut serta dalam protes agar kelas bahasa Inggris dihapuskan dari sekolah. Karena hal ini ia dikeluarkan dan pindah ke Kyoto. Ia masuk Universitas Kekaisaran Tokyo pada tahun 1893 mengambil jurusan linguistik.

Tulisan-tulisan dan pandangan tentang Ryukyu serta studi Okinawa sunting

Ia lulus tahun 1906 dan kembali ke Naha untuk memulai studi tentang Okinawa, kampung halamannya. Dalam tulisan pertamanya yang berjudul "Pendirian Prefektur Okinawa dipandang dari Teori Evolusioner", tahun 1909, direvisi tahun 1942, ia menuliskan tentang kelemahan-kelemahan Bangsa Ryukyu. Kepulauan Ryukyu yang kecil menyebabkan mereka sangat terisolasi, sehingga tidak banyak bercampur dengan bangsa lain, mereka kawin dengan sesama bangsa mereka saja, menyebabkan tubuh mereka pendek; namun orang Ryukyu di Shuri dan Naha telah kawin campur dengan bangsa Tionghoa dan bangsa lainnya sehingga mereka memiliki keunggulan bentuk fisik. Untuk alasan ini, manfaat dari aneksasi ke Jepang serta moderenisasi akan memperkenalkan banyak filsafat dan agama asing, ia berpendapat agar Kerajaan Ryukyu dibubarkan. Bergabungnya Okinawa ke Jepang adalah perkembangan baik untuk rakyat Okinawa. Selain itu, Neo Konfusianisme yang dijunjung tinggi kerajaan telah menjadi racun bagi bangsa dan negara, sebab filsafat itu telah menyebabkan Asia Timur terbelakang. Walau demikian, menurut Iha, semua kekurangan yang dimiliki suku Ryukyu dapat diperbaiki jika mereka berasimilasi dengan suku Jepang. Dalam esai Ryûkyû jinshu ron ("Tentang Suku Ryukyu") menuliskan bahwa suku Ryukyu pada dasarnya sama dengan suku Jepang, dan untuk suku Ryukyu, asimilasi dengan suku Jepang adalah jalan terbaik. Menurutnya kelemahan suku Ryukyu disebabkan oleh kondisi sejarah yang kurang beruntung, tetapi jika diberikan kesempatan serta pendidikan yang baik, mereka bisa menjadi sama unggulnya dengan orang Jepang.

Pada tahun 1910, Iha diangkat menjadi direktur pertama Perpustakaan Prefektur Okinawa. Dengan jabatan ini ia mulai meneliti koleksi dokumen dan material lain. Ia berkunjung ke pulau-pulau lain dan memberikan kuliah. Buku pertama karyanya, Ko Ryukyu (Ryukyu Kuno) diterbitkan tahun 1911. Ryukyu Kuno berisi tentang hasil penelitian awal, antara lain tentang tokoh-tokoh sejarah dan politik di Kerajaan Ryukyu.[1] Ia menuliskan jasa dan peran tiga orang sebagai "perwakilan tokoh politik Okinawa" di zaman kerajaan, yaitu: Sai On, Sho Joken, dan Giwan Choho. Menurut Iha, Sho Joken telah menciptakan reformasi politik yang membantu perbaikan perekonomian Ryukyu setelah kehancuran akibat Invasi Satsuma. Teori kesamaan nenek moyang antara suku Ryukyu dan suku Jepang pertama kali dikemukakan oleh Sho merupakan fondasi dari Japanisasi yang didukung oleh Iha.[1] Giwan Choho dikenal sebagai pendukung penyatuan Okinawa dengan Jepang sama seperti dirinya. Undang-undang Pemilu Jepang diamendemen tahun 1912, rakyat Okinawa berharap dapat mengirimikan perwakilan mereka ke Tokyo.[1] Pada tahun berikutnya keinginan mereka dikabulkan oleh pemerintah Jepang. Di tengah-tengah peristiwa ini, Iha Fuyu diundang untuk memberi ceramah dimana ia memperkenalkan tokoh politik lokal Sho dan Giwan sebagai model anggota Diet asal Okinawa yang akan datang. Pada tahun 1915, Kaisar Taisho naik tahta, ketiga tokoh Ryukyu tersebut diberi penghargaan setara dengan tokoh besar Jepang.[1]

Setelah itu, ia bergabung bersama dengan sejarawan Okinawa lain seperti Majikina Anko dan Higaonna Kanjun untuk meneliti sejarah Okinawa secara lebih intensif. Sejumlah antropolog dan ahli folklor dari Jepang mengujungi Okinawa dan bertemu Iha pada awal tahun 1920-an, seperti Yanagita Kunio dan Orikuchi Shinobu. Bersama Yanagita, Iha pergi ke Tokyo pada tahun 1925 dan berkonsentrasi meneliti pada dokumen kuno Okinawa, omoro soshi.[2] Bahasa Omoro soshi sangat sulit dimengerti orang awam. Namun, inilah sumber sejarah Okinawa yang terpenting. Hanya sedikit saja orang yang mengerti tentang dokumen kuno Okinawa tersebut, selain Iha dan beberapa peneliti lain seperti Nakahara Zenchu. Perubahan yang pesat pada budaya dan bahasa Ryukyu selama berabad-abad telah membuat bahasa di dalam dokumen sulit dimengerti. Pengetahuannya yang dalam akan omoro membuatnya diundang oleh Yanagita ke simposium dan pertemuan di Jepang. Di Tokyo ia berkesempatan menghadiri pertemuan dalam Studi Ainu dan mengadakan ceramah dan diskusi tentang buku omoro soshi. Selama tahun 1925-1926, ia menerbitkan empat buah buku.

Teori "asimilasi dengan Jepang" sunting

Para antropolog dan pengajar cenderung mendukung asal kebudayaan Okinawa yang serumpun dengan Jepang.[3] Studi Okinawa memainkan peran penting mengeksplorasi perbedaan dan kesamaan antara Jepang dan Ryukyu dalam kebudayaan dan sastra zaman kuno.[3] Para peneliti Jepang era Meiji seperti Tashiro Antei, Torii Ryuzo, Tsuboi Shogoro serta Iha Fuyu sendiri menekankan ada bukti-bukti untuk mendukung pandangan bahwa suku Ryukyu merupakan bagian penting dari Jepang.[3] Tujuan utama Iha Fuyu pada dasarnya adalah mempromosikan kepentingan orang Okinawa secara umum, dengan menekankan kesamaan antara kedua suku.[3] Menurutnya, suku Ryukyu adalah pemelihara budaya dan bahasa Jepang kuno.[4] Dengan ini, ia berharap agar Okinawa mendapat tempat sebagai bagian dari Jepang dan melegitimasi kualitas unik yang cenderung dipandang rendah orang Jepang.[4] Menciptakan identitas Uchinanchu (orang Okinawa) tanpa menolak asimilasi, dengan tetap memelihara karakter unik bahasa dan budayanya.[4]

Namun, pandangan Iha dianggap memiliki kelemahan. Karya-karya Iha pada dasarnya mendukung jalan orang Okinawa untuk menjadi orang Jepang[3] atau sebagai instrumen agar orang Okinawa diperhatikan hak-haknya.[1] Kenyataanya adalah Okinawa selalu dipandang rendah oleh Jepang dan tidak pernah dianggap sebagai bagian integral sejak Perang Dunia ke-II oleh Jepang.[4] Peristiwa Pertempuran Okinawa contohnya adalah pengorbanan rakyat Okinawa demi keuntungan daratan utama Jepang.[4]

Galeri sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e Iacobelli, Pedro (2017). Rethinking Postwar Okinawa: Beyond American Occupation. Lexington Books. 
  2. ^ A Separate Perspective: Shamanic Songs of The Ryukyu Kingdom. Christopher Drake. Harvard Journal of Asiatic Studies, Vol. 50, No. 1 (Jun., 1990), pp. 283-333. Harvard-Yenching Institute.
  3. ^ a b c d e Miyume, Tanji (2007). Myth, Protest and Struggle in Okinawa. Routledge. 
  4. ^ a b c d e Okinawan Identity and the Struggle for Self-Determination, nippon.com. 29-11-2017.