Indonesische Persbureau
Indonesische Persbureau (disingkat IP, atau "Kantor Berita Indonesia") merupakan kantor berita pertama yang didirikan seorang bumiputra Indonesia, yaitu RM Soewardi Soerjaningrat yang kemudian dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara. IP tidak didirikan di Hindia Belanda (kini Indonesia), melainkan di Den Haag, Belanda bulan November 1913. Baru setelah empat tahun IP lahir, dibuka kantor berita pertama di Indonesia bernama Aneta, yang didirikan tahun 1917 oleh wartawan Belanda Dominique W. Berretty. Kantor berita pertama yang didirikan oleh seorang bumiputra di Indonesia, yaitu Borpena (Borneosche Pers en Nieuws Agentschap atau Keagenan Pers dan Berita Borneo), baru ada pada tahun 1926. Borpena didirikan oleh putra suku bangsa Dayak bernama Housman Babu di Banjarmasin. Kantor berita itu diubah namanya menjadi Kalpena (Kalimantansche Pers en Nieuws-Agentsebap) tahun 1928, dan ditutup empat tahun kemudian karena tidak mampu bersaing dengan Aneta.
Pada awalnya IP dimaksudkan sebagai sumber mata pencaharian pribadi, karena tunjangan yang diberikan pemerintah Belanda kepada keluarga Ki Hadjar kurang memadai. Tetapi kantor berita ini kemudian tidak sekadar berfungsi sebagai penyalur informasi, melainkan juga alat propaganda dan perjuangan kaum pergerakan Indonesia di Belanda. Ia sering menerima kiriman surat kabar dan majalah dari Hindia, di antaranya ada yang memuat karangannya sendiri. Berbagai berita penting yang disiarkan media pers itu dikutip pula dalam buletin IP. Buletin itu dikirimkan antara lain kepada para anggota Senat (Eerste Kamer) dan Parlemen (Tweede Kamer), serta pengurus partai-partai sehingga mereka menyadari apa yang sedang terjadi di Hindia Belanda.
Selain menerbitkan buletin, IP bersama perkumpulan mahasiswa Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia), pernah menyelenggarakan pertemuan perdebatan antara para mahasiswa Indonesia dan Belanda. IP juga mengadakan pameran buku dan penerbitan pers yang memuat masalah-masalah Indonesia, bahkan pertunjukan kesenian. Tiga tahun setelah Ki Hadjar Dewantara mulai mengelola kantor berita ini, Indische Vereeniging juga menerbitkan media perjuangannya, berupa majalah bulanan Hindia Poetera yang kelak berubah nama menjadi Indonesia Merdeka.