Muhammadiyah: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan |
Tag: VisualEditor pranala ke halaman disambiguasi |
||
Baris 57:
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha K.H. Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang menurut anggapannya, banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis [[dakwah]] untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam penerbitan majalah ''[[Suara Muhammadiyah]]'' pada 1915,<ref>{{Cite news|last=Administrator|date=2015-07-04|title=Seabad 'Soeara Moehammadijah'|url=https://koran.tempo.co/read/ide/376989/seabad-soeara-moehammadijah|work=[[Tempo.co]]|language=id|access-date=2020-10-22}}</ref><ref name=":1">{{Cite web|last=[[Muhammad Yuanda Zara]]|first=|title=Suara Muhammadiyah dan Jurnalisme Kaum Modernis|url=https://tirto.id/suara-muhammadiyah-dan-jurnalisme-kaum-modernis-cExK|website=tirto.id|language=id|access-date=2020-10-22}}</ref> pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hogere School Moehammadijah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Moehammadijah (sekarang dikenal dengan [[Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta]] khusus laki-laki, yang bertempat di Jalan Letjend S. Parman 68, [[Patangpuluhan, Wirobrajan, Yogyakarta|Patangpuluhan]], [[Wirobrajan, Yogyakarta|Wirobrajan]] dan Madrasah Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta khusus perempuan, di Suronatan Yogyakarta yang keduanya sekarang menjadi Sekolah Kader Muhammadiyah) yang bertempat di Yogyakarta dan dibawahi langsung oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
==Muhammadiyah Masa ke Masa==
=== Periode Kepemimpinan Ahmad Dahlan (1912-1923) ===
Pada masa kepemimpinan Kyai Haji Ahmad Dahlan dimulai dari berdiri tahun 1912 sampai tahun 1923 pada saat Kyai wafat, kendati kelihatan sederhana tetapi memancarkan gerakan pembaruan yang luar biasa cemerlang. Pada masa itu gagasan-gagasan cemerlang dilahirkan seperti mendirikan sekolah (1911), menerbitkan publikasi/majalah ''[[Suara Muhammadiyah|Soeara Moehammadijah]]'' (1915), mendirikan ''[[Sopo Tresno]]'' (1914) yang kemudian menjadi ''[[Aisyiyah|‘Aisyiyah]]'' (1917), Pandu [[Hizbul Wathan]] (1918), ''Weisshouse'' atau Panti Asuhan dan ''[[Penolong Kesengsaraan Umum|Penolong Kesengsaraan Omeoem]]'' atau PKU pada tahun 1922 satu bulan sebelum Kyai meninggal.<ref name=":0">{{Cite book|last=Nashir|first=Haedar|date=2016|url=https://play.google.com/store/books/details?id=PCNyDQAAQBAJ|title=Muhammadiyah Gerakan Pembaruan|location=Yogyakarta|publisher=Suara Muhammadiyah|isbn=978-979-3708-76-8|pages=40|url-status=live}}</ref>
Pada era Kyai Dahlan pula lahir gagasan pengorganisasian zakat, [[shalat Idul Fitri]] dan [[Idul Ahda]] di lapangan, pengorganisasian haji, penerbitan penerbitan brosur dan kegiatan taman pustaka lainnya, pengorganisasian mubaligh dan mubalighat untuk bertabligh yang berkeliling ke masyarakat untuk ”mempropagandakan” (menyiarkan) Islam, merintis membangun masjid/mushala ditempat-tempat umum dan perkantoran, dan ide-ide cerdas lainnya.<ref name=":0" />
Bahkan gagasan mendirikan Universitas Muhammadiyah justru telah muncul dari gagasan [[Hisjam bin Hoesni|M. Hisjam]] selaku H.B. Muhammadiyah Bahagian Sekolahan, yang disampikan dalam “''rapat anggota Muhammadiyah istimewa''” pada tanggal 17 malam 18 Juni tahun 1920 yang dipimpin langsung oleh [[Ahmad Dahlan|Kyai Haji Ahmad Dahlan]]. Belum termasuk pelurusan arah kiblat yang menggemparkan sebelum Muhammadiyah didirikan.<ref>Sudja’, 1989:31</ref>
Dalam pertemuan resmi Muhammadiyah tahun 1920 itu dilantik untuk pertama kalinya empat ''Bahagian Hoofdbestuur'' Muhammadiyah, yaitu:
# H.B. Muhammadiyah ''Bahagian'' Sekolahan, diketuai oleh sdr. [[Hisjam bin Hoesni|H.M. Hisjam]];
# H.B. Muhammadiyah ''Bahagian'' Tabligh, diketuai oleh sdr. [[Fakhruddin (ulama)|H.M. Fachruddin]];
# H.B. Muhammadiyah ''Bahagian'' [[Penolong Kesengsaraan Umum|Penolong Kesengsaraan Oemoem]], diketuai oleh sdr. [[Soedja’|H.M. Soedja’]]; dan
# H.B. Muhammadiyah ''Bahagian'' Taman Poestaka, diketuai oleh sdr. [[Mochtar|H.M. Mochtar]].
Ketika M. Hisjam dilantik dan ditanya pimpinan rencana apa yang akan diperbuatnya, Ketua Bahagian Sekolahan itu menjawab sebagai berikut:<blockquote>''“Bahwa saja akan membawa kawan-kawan kita pengurus bahagian sekolahan berusaha memadjukan pendidikan dan pengadjaran sampai dapat menegakan gedung Universiteit Muhammadijahm jang megah untuk mentjitak serdjana-serdjana Islam dan mahaguru-mahaguru Muhammadijah guna kepentingan umat Islam pada umumnja dan Muhammadijah pada chususnya.”'' <ref>Sudja’, 1989: 31, dengan bahasa Indonesia ejaan lama</ref></blockquote>Rencana ''Bahagian'' Sekolahan tersebut mendapat sambutan gembira dari para anggota ''Bahagian'' Tabligh, dan ''Bahagian'' Taman Pustaka yang hadir waktu itu. Namun ketika [[Suja’]] selaku ''Ketua Bahagian'' PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem) menggagas tentang rencana mendirikan ''Hospital'' (Rumah Sakit), ''Armeinhais'' (Rumah Miskin), dan ''Weeshuis'' (Rumah Yatim) justru disambut dengan tertawa bernada ejekan.
Suja’ sampai meminta waktu kepada pimpinan sidang, Kyai Dahlan, untuk menjelaskan rencana anehnya itu agar dipahami oleh anggota pertemuan Muhammadiyah. Dalam penjelasan panjang lebar, Suja’ memberikan argumentasi antara lain sebagai berikut: <blockquote>''“…..Dalam Al-Qur’an dapat kita lihat masih tertjantum Surat Al-Ma’un dengan njata dan lengkap, tidak sehurufpun jang kurang sekalimatpun berobah arti dan ma’nanja pun tetap sedjak turun diwahjukan oleh Allah sampai kini tetap djuga. Meskipun kitab sutji Al-Qur’an sudah berabad abad dan Surat Al-Ma’un mendjadi batjaan hari-hari dalam sembahjang oleh ummat Islam Indonesia pada umumnja dan di Jogjakarta pada hususnja, namun sampai kini belum ada seorang dari ummat Islam jang mengambil perhatian akan isi intisarinja jang sangat penting itu untuk diamalkan dalam masjarakat. Banjak orang-orang di luar Islam (bukan orang Islam) jang sudah berbuat menjelenggarakan rumah-rumah Panti Asuhan untuk memelihara mereka sifakir miskin dan kanak-kanak jatim jang terlantar dengan tjara jang sebaik-baiknja, hanja karena terdorong dari rasa kemanusiaan sadja, tidak karena merasa tanggung djawab dalam masjarakat dan tanggung djawab di sisi Allah kelak di hari kemudian. Kalau mereka dapat berbuat karena berdasarkan kemanusiaan sadja, maka saja heran sekali kalau ummat Islam tidak berbuat. Padahal agama Islam adalah agama untuk manusia bukan untuk chalajak jang lain. Apakah kita bukan manusia? Kalau mereka dapat berbuat, kena apakah kita tidak dapat berbuat? Hum ridjal wa nahnu ridjal…”''.<ref>Sudja’, 1989: 33, dengan ejaan lama</ref></blockquote>Dinamika pertemuan atau persidangan Muhammadiyah tersebut menunjukkan proses yang cerdas, demokratis, tetapi sebuah ide baru kadang tidak dengan mudah dipahami umat kala itu. Namun pertemuan Muhammadiyah tersebut tetap memutuskan rencana sebagaimana diagendakan oleh Ketua-Ketua ''Bahagian'' Sekolahan, Tabilgh, PKO, dan Taman Pustaka, yang kemudian menjadi tonggak gerakan sosial Muhammadiyah dikemudian hari.
Haji Suja’ sendiri mengakui kendati dirinya sempat kecewa dengan tanggapan peserta pertemuan yang terkesan menyepelekan gagasan barunya, tetapi persidangan tersebut diakuinya sebagai peristiwa istimewa yang tidak pernah terlupakan dan menjadi tonggak bagi Muhammadiyah berikutnya. Dengan dibentuknya Bahagian-bahagian langkah Muhammadiyah semakin terorganisasi dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya.
Kyai Dahlan bersama delapan anggota H.B. Muhammadiyah semakin giat melakukan aktivitas terutama dalam menjalin hubungan dengan pemerintah, dengan organisasi lain, dan dengan daerah binaan baru. H.B. Muhammadiyah pada waktu itu memang berjumlah sembilan orang terdiri atas Kyai Dahlan sendiri sebagai Presiden atau Ketua, disusul oleh [[Abdullah Sirad]] sebagai sekretaris serta [[Ahmad]], Abdul Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis, dan [[Mohammad Fakih]] sebagai anggota.
Dalam perkembangan awal tersebut Muhammadiyah melakukan perluasan sasaran dan wilayah gerak organisasi ke luar Residensi Yogyakarta tetapi terkendala oleh Anggaran Dasar pertama yang memperoleh pengakuan pemerintah Hindia Belanda 15 Juni tahun 1914.
Pada waktu itu berdatangan tuntutan dari daerah-daerah di luar Yogyakarta yang menjadi donatur dan pembaca majalah [[Suara Muhammadiyah]] (''Swara Moehammadijah'') di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali yang mendukung dan bersetuju dengan Muhammadiyah untuk menyelenggarakan pengajian-pengajian yang akan menjadi anggota Muhammadiyah.
Selain itu, banyak anggota yang pindah ke luar Yogyakarta tetapi ingin tetap menjadi anggota dan melakukan kegiatan Muhammadiyah, namun terkendala oleh batasan wilayah Karesidensi Yogyakarta.
Animo calon anggota Muhammadiyah makin meluas terutama setelah mendengar pidato Kyai Ahmad Dahlan dalam rapat [[Budi Utomo|Boedi Oetomo]] di Kauman Yogyakarta pada tahun 1917 serta peranan Kyai Dahlan sebagai Komiaris dan Penasihat Urusan Agama di [[Sarekat Islam]].<ref>Majelis Pustaka dan Dokumentasi PP Muhammadiyah, 1995:33</ref>
Karena itu H.B. Muhammadiyah mengajukan perubahan Anggaran Dasar pada artikel 2 yang menyangkut wilayah sebaran, dengan artikel baru yaitu:
# memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama Islam di Hindia Belanda;
# memajukan dan menggembirakan cara hidup sepanjang kemauan agama Islam kepada para anggotanya.
Usulan tersebut disetujui pemerintah Hindia Belanda dengan ''besluit'' nomor 40 tanggal 16 Agustus 1920. Perubahan artikel 4 dan lima dilakukan lagi yaitu mengubah dari ”''Karesidensi Yogyakarta''” menjadi ”di [[Hindia Belanda]], yang memperoleh persetujuan dengan ''besluit'' nomor 36 tanggal 2 September 1921.
Persetujuan tersebut membuka peluang bagi masyarakat di seluruh wilayah Hindia Belanda untuk menjadi simpatisan dan anggota Muhammadiyah. Karena itu mengingat majalah Suara Muhammadiyah yang menjadi sarana perluasan Muhammadiyah waktu itu masih berbahasa Jawa diterbitkan dengan mengggunakan bahasa Melayu penyebaran informasi agama Islam dan Muhammadiyah secara lebih luas dan cepat ke seluruh wilayah tanah air.
Dengan demikian sejak tahun 1921 itulah terjadi perluasan anggota dan organisasi ke berbagai wilayah/daerah di Hindia Belanda. Sebelum perubahan Angggaran Dasar tahun 1914 yang membatasi Muhammadiyah hanya di wilayah Karesidensi Yogyakarta, pada waktu itu kegiatan Muhammadiyah dilakukan perkumpulan-perkumpulan yang melakukan kegiatan sebagaimana dilakukan oleh Muhammadiyah di Yogyakarta.
Perkumpulan-perkumpulan tersebut antara lain ''Sidiq Amanah Tabligh Fatahanah'' di Surakarta, ''Al-Hidayah'' di Garut Jawa Barat, ''Nurul Islam'' di Pekalongan, dan ''Al-Munir'' di Makassar Sulawesi Selatan. Tetapi setelah perubahan Anggaran Dasar sejak tahun 1921 terjadi perkembangan baru dengan perluasan anggota dan organisasi di seluruh Hindia Belanda.
Pada tahun 1921 terbentuk Cabang Muhammadiyah di Srandakan dan Imogiri (Yogyakarta), di Blora Jawa Tengah, dan Surabaya serta Kepanjen (Jawa Timur). Tahun 1922 terbentuk enam Cabang baru yaitu di Surakarta, Purwokerto, Pekalongan, dan Pekajanagan (Jawa Tengah), Garut (Jawa Barat), serta Batavia (Jakarta). Pada tahun 1923 terbentuk tiga Cabang baru yaitu di Purbalingga, Klaten, dan Balapulang semuanya di Jawa Tengah.
{| class="wikitable"
|+Cabang Muhammadiyah Tahun 1921-1923<ref>Sejarah Muhammadiyah, Majelis Pustaka dan Dokumentasi PP Muhammadiyah, 1995, dari Verslag Muhammadiyah Th. 1921, 1922, dan 1923.</ref>
!Tahun
!Nama Cabang
!Tanggal Berdiri
|-
|1921
|1. Srandakan, Yogyakarta
2. Imogiri, Yogyakarta
3. Blora, Jawa Tengah
4. Surabaya, Jawa Timur
5. Kepanjen, Jawa Timur
|26 Juni 1921
25 September1921
27 November 1921
27 November 1921
21 Desember 1921
|-
|1922
|6. Surakarta, Jawa Tengah
7. Garut, Jawa Barat
8. Jakarta
9. Purwokerto, Jawa Tengah
10. Pekalongan, Jawa Tengah
11. Pekajangan, Jawa Tengah
|25 Januari 1922
30 Maret 1922
9 Maret 1922
15 November 1922
26 November 1922
26 November 1922
|-
|1923
|12. Purbalingga, Jawa Tengah
13. Klaten, Jawa Tengah
14. Balapulang, Jawa Tengah
|25 November 1923
25 November 1923
25 November 1923
|}
Pada waktu itu belum dibentuk Gerombolan atau Ranting Muhammadiyah yang berada di bawah Cabang. Perkembangan Cabang dan Gerombolan terjadi setelah era tahun 1923 pasca ditinggal Kyai Haji Ahmad Dahlan.
Pada rentang tahun 1916 sampai 1922 terjadi pertambahan anggota Muhammadiyah yang cukup signifikan. Tahun 1916 hanya 149 anggota tetapi pada tahun 1922 menjadi 3346 anggota yang sifatnya aktif. Berdasarkan pekerjaan pada umumnya anggota Muhammadiyah waktu itu terdiri dari saudagar/pedagang (38,6%) dan pegawai/ pamong praja/guru (24,6%), disusul pegawai urusan agama (6%), buruh (19,4%), wartawan (11%), dan swasta (0,6%).
Pada masa 1920-1923 itu juga berkembang sekolah Muhammadiyah yaitu dibentuknya Sekolah Angka 2 di Kauman/Suranatan, Karangkajen, Pasargede/Kotagede, dan Lempuyangan; kemudian Sekolah Guru ''Qismul Arqa Kauman'', Sekolah Agama di Suranatan, dan Sekolah Angka 1 ''HIS Met de Qur’an''.
Siswa yang belajar di sekolah Muhammadiyah sampai tahun 1923 tercatat 1.084 orang. Mengingat animo dan jumlah siswa perempuan bertambah maka Siswa Praja yang mengkoordinasikan aktivitas para siswa sekolah-sekolah Muhammadiyah dibagi menjadi Siswa Praja Pria dan Siswa Praja Wanita, yang setiap satu minggu sekali menyelenggarakan latihan kepemimpinan dalam berbagai bentuk kegiatan.
Pada tahun 1921 dibuka Pondok Muhammadiyah untuk tempat tinggal atau asrana siswa-siswi sekolah Muhammadiyah. Siswa laki-laki di Jayangprakosan dan dibina langsung oleh Kyai Dahlan, sedangkan siswa putri di rumah Kyai Dahlan dengan ibu asrama Nyai Dahlan sendiri.
Perkembangan berikutnya agar siswa-siswa itu terbina prestasi sekolahnya, maka dibuka dua asrama untuk siswa perempuan di Kauman dan untuk siswa laki-laki di Ngabean. Pada perkembangan berikutnya asrama Muhammadiyah tersebut tidak hanya menampung siswa-siswa sekolah Muhammadiyah tetapi juga berasal dari para siswa MULO dan AMS pemerintah serta Taman Siswa dengan bayaran yang lebih murah.<ref>ibid., hal: 38</ref>
Pada era awal kesadaran Muhammadiyah tentang tulis-menulis dan publikasi cukup tinggi dan merupakan hal yang terbilang cerdas untuk ukuran saat itu yang di kalangan umat Islam masih mengandalkan komunikasi langsung dan personal.<ref>Sairin, 1995:53</ref>
Selain menerbitkan selebaran dan buku, pada tahun 1915 diterbitkan Majalah ''[[Suara Muhammadiyah|Soeara Moehammadijah]]'' yang berbahasa Jawa campuran bahasa Melayu yang diterbitkan Taman Pustaka Muhammadiyah. Pemimpin Redaksinya [[Fakhruddin]], sosok muda yang cerdas, berani, dan penulis yang tajam yang sering mengkritik pemerintah Hindia Belanda, bahkan bersama [[Soerjopranoto]] sempat melakukan mobilisasi kaum buruh pabrik gula [[Madukismo]] untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial.
Kandungan isi Suara Muhammadiyah (SM) ialah pengajaran Agama Islam, berita Muhammadiyah, tanya jawab masalah, masalah organisasi, dan tulisan-tulisan lainnya. Majalah ini menjadi jembatan atau media yang cukup efektif dan tersebar bukan hanya di wilayah Yogyakarta tetapi juga ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.
Setelah tahun 1923 ketika Muhammadiyah telah menyebarluas ke wilayah lain Hindia Belanda, majalah ini menggunakan bahasa Melayu. Melalui SM itu ide-ide Muhammadiyah dipropagandakan atau disebarluaskan. Hal yang menarik melalui majalah tersebut seperti yang terbit pada nomor 3 tahun 1922, terdapat soal jawab mengenai ''”apakah agama Islam cocok dengan akal pikiran manusia”'' dalam topik ''”Agami-Nalar”''.
Dalam rubrik tanya jawab berbahasa Jawa di SM nomor tersebut ditanyakan hubungan akal dan agama. Setelah redaksi menjelaskan bagaimana agama-agama lain banyak yang tak bersesuaian dengan akal pikiran manusia, akhirnya disimpulkan bahwa ''”...Ananging agami Islam poeniko tamtoetjotjok kalijan ngakaling Manoengsa”'', artinya ''’’Tetapi agama Islam itu tentu cocok dengan akal pikiran manusia”''.<ref>Soeara Moehammadijah, No 3/1922:15</ref>
Muhammadiyah generasi awal setelah Kyai Dahlan wafat pada 23 Februari tahun 1923 terus berkembang ke seluruh tanah air. Dalam penyebaran Muhammadiyah yang pesat itu cukup besar peranan orang-orang Muhammadiyah dari Sumatra Barat dalam menyebarluaskan Muhammadiyah ke wilayah-wilayah Indonesia karena mobilitas sosialnya yang cukup tinggi.
=== Periode Kepemimpinan K.H. Ibrahim (1923 – 1932) ===
Sebelum [[Ahmad Dahlan|Kyai Haji Ahmad Dahlan]] wafat, ia berpesan kepada para sahabatnya agar tongkat kepemimpinan Muhammadiyah sepeninggalnya diserahkan kepada [[Ibrahim bin Fadlil|Kiai Haji Ibrahim]], adik ipar KHA. Dahlan. Mula-mula K.H. Ibrahim yang terkenal sebagai ulama besar menyatakan tidak sanggup memikul beban yang demikian berat itu. Namun, atas desakan sahabat-sahabatnya agar amanat pendiri Muhammadiyah bisa dipenuhi, akhirnya dia bisa menerimanya. Kepemimpinannya dalam Muhammadiyah dikukuhkan pada bulan Maret 1923 dalam Rapat Tahunan Anggota Muhammadiyah sebagai ''Voorzitter Hoofdbestuur'' Moehammadijah Hindia Timur
Pada masa ini Muhammadiyah makin berkembang dan meluas hingga luar Jawa. Lalu terbentuk Majelis Tarjih, mengadakan penelitian pengembangan hukum-hukum agama. Para pemuda mendapat bentuk organisasi yang nyata. Beridiri Nasyiyatul Aisyiyah dan Pemuda Muhammadiyah.
Baris 75 ⟶ 181:
'''Pada tahun 1923''', Ketua Muhammadiyah Cabang [[Kota Pekalongan|Pekalongan]] mengundurkan diri karena tidak tahan menerima serangan kanan-kiri dari pihak-pihak yang tidak suka dengan Muhammadiyah kemudian digantikan [[Ahmad Rasyid|Sutan Mansur]]. [[Ahmad Rasyid|Sutan Mansur]] juga memimpin Muhammadiyah Cabang [[Pekajangan, Kedungwuni, Pekalongan|Pekajangan, Kedung Wuni]], dan tetap aktif mengadakan tabligh dan menjadi guru agama.
'''Pada akhir 1925,''' Ketika terjadi ancaman dan konflik antara Muhammadiyah dengan orang-orang komunis di ranah [[Minang]], ''Hoofdbestuur'' Muhammadiyah mengutus [[Ahmad Rasyid|Sutan Mansur]] untuk memimpin dan menata Muhammadiyah yang mulai tumbuh dan bergeliat di bumi [[Orang Minangkabau|Minangkabau]]. Kepemimpinan dan cara berdakwah yang dilakukannya tidak frontal dan akomodatif terhadap para pemangku adat dan tokoh setempat, sehingga Muhammadiyah pun dapat diterima dengan baik dan mengalami perkembangan pesat.[https://muhammadiyah.or.id/buya-haji-ahmad-rasyid-sutan-mansur-ketua-1956-1959/]
Perkembangan Muhammadiyah sampai tahun 1927 cukup pesat dengan semakin bertambahnya jumlah Cabang dan Gerombolan (Ranting) di berbagai pelosok Hindia Belanda. Hingga tahun 1927 telah terbentuk resmi 47 Cabang, 10 calon Cabang, dan 98 Gerombolan Muhammadiyah di berbagai daerah di tanah air.
Di antaranya yang berada di luar Yogyakarta di luar daftar dalam tabel di atas ialah Cabang Lumajang, Ponorogo, Ngawi, Madiun, Pasuruan, Sumenep, Sampang, Bangil, Situbondo, Batur, Jember, Bondowoso, Malang, Blitar, dan Bangkalan, semuanya di Jawa Timur. Di Jawa Tengah antara lain Cabang Cilacap, Bumiayu, Kudus, Banjarnegara, Kutoarjo, Temanggung, Tegal, Semarang, Boyolali, Banyumas, Majenang, Slawi, Ajibarang, dan Sragen.
Terbentuk juga Cabang Kalianget, Bobotsari, Simabur, dan Kraksaan. Di luar Jawa terbentuk Cabang Gantoeng di Belitung, Makassar di Sulawesi Selatan, serta Padang Panjang dan Maninjau di Sumatra Barat. Cabang yang diproses pada periode tahun 1927 antara lain Sigli, Kutaraja, Lhok Seumawe, Fort de Kock, Sekayu, Tebingtinggi, Medan, Kuala Kapuas, Peta, dan Bengkulen. <ref>Berita Tahoenan 1927: 32-33</ref>
'''Pada tahun 1929,''' Muhammadiyah berhasil mendirikan Cabang-cabang Muhammadiyah di [[Kota Banjarmasin|Banjarmasin]], [[Kuala Kapuas (kota)|Kuala Kapuas]], [[Mendawai, Katingan|Mendawai]], dan [[Amuntai (kota)|Amuntai]].
|