Jambul dalam heraldik adalah benda di atas ketopong yang merupakan salah satu komponen dari tampilan lambang kebesaran. Cikal bakal jambul adalah patung-patung hiasan ketopong yang dikenakan para kesatria dalam turnamen, dan adakalanya juga dalam pertempuran. Jambul hanya ditampilkan dalam bentuk gambar selepas abad ke-16, yakni pada kurun waktu yang disebut sebagai "zaman heraldik kertas" oleh para ahli heraldik.

Seorang kesatria dengan ketopong berjambul rajawali dalam Laga Ganjur Sarasen di Arezzo, Toskana

Kelengkapan heraldik terdiri atas perisai, ketopong di atas perisai, dan jambul di atas ketopong dengan ikat kepala pada pangkalnya. Pemakaian gambar jambul bersama ikat kepala secara terpisah dari kelengkapan heraldik selebihnya, yang lumrah dilakukan pada zaman heraldik kertas di Inggris, adalah penyebab munculnya pemakaian istilah "jambul" (bahasa Inggris: crest) secara keliru sebagai sebutan bagi tanda-tanda pengenal yang tergambar pada perisai maupun sebagai sebutan bagi keseluruhan lambang kebesaran.

Asal usul

sunting
 
Jambul kipas bergambar lambang kebesaran Sir Geoffrey Luttrell, terpasang pada ketopong dan pada tameng kepala kudanya, gambar dalam Buku Mazmur Luttrell, ca. 1330

Berbagai macam bentuk jambul sudah digunakan sedari dahulu kala. Para perwira Romawi mengenakan ketopong dengan kipas dari bulu unggas atau bulu kuda, yang dipasang melintang atau membujur, tergantung pada pangkat pemakai ketopong,[1] sementara ketopong-ketopong Viking sering kali dipasangi sayap dan kepala binatang.[2] Jambul pertama kali muncul dalam konteks heraldik dalam bentuk kipas logam pada ketopong para kesatria abad ke-12 dan ke-13. Fungsi utamanya adalah sebagai hiasan, tetapi juga berguna untuk meredam atau menangkis hantaman senjata lawan, dan mungkin karena kegunaan inilah kipas logam dibuat bergerigi.[3] Pada umumnya kipas-kipas logam ini diwarnai dengan satu macam warna saja, namun lama-kelamaan dilukisi sebagian atau keseluruhan tanda-tanda pengenal yang terpampang pada perisai.

Bentuk jambul kipas logam terus dikembangkan dengan cara memotong keluar tanda-tanda pengenal sehingga membentuk semacam garis bingkai dari logam. Bentuknya berkembang lagi menjadi patung trimatra pada akhir abad ke-3 dan awal abad ke-14.[4] Patung-patung ini biasanya terbuat dari rangka kayu atau kawat yang dilapisi kain, kulit samakan, atau kertas,[5] dan lazimnya berbentuk satwa. Bentuk-bentuk lain yang juga populer adalah sepasang sayap, sepasang tanduk, sosok manusia, dan gerombol bulu unggas. Ketopong-ketopong dengan jambul-jambul semacam ini mungkin sekali hanya dikenakan dalam turnamen, bukan dalam pertempuran. Bukan saja karena akan menambah bobot ketopong yang memang sudah berat, melainkan juga karena mudah direnggut lawan.[6]

Tali, sabuk, atau paku keling digunakan untuk memasang jambul pada ketopong.[7] Bekas sambungannya ditutupi dengan lingkaran dari pelintiran kain yang disebut ikat kepala, atau dengan sebentuk mahkota ningrat jika pemilik ketopong adalah seorang bangsawan berpangkat tinggi.[8] Gambar ikat kepala pada pangkal jambul baru lazim digunakan di Inggris pada abad ke-15,[9] bahkan belum lazim di Eropa daratan, yang kala itu lebih sering menampilkan gambar jambul yang memanjang menjadi mantel.[10] Kadang-kadang jambul juga dipasang pada sejenis topi dari kulit bulu yang disebut cepiau, sebagaimana yang tampak pada lambang kebesaran kerajaan Inggris.

Perkembangan lebih lanjut

sunting

Pada abad ke-16, zaman penyelenggaraan turnamen-turnamen kesatria telah berakhir, dan kebanyakan jambul sungguhan sudah menghilang, sehingga hanya ditampilkan dalam bentuk gambar. Banyak dari jambul-jambul kertas ini mustahil diwujudnyatakan dan dipasang pada ketopong, misalnya jambul yang dianugerahkan kepada Sir Francis Drake pada tahun 1581, yakni gambar sebelah tangan yang terjulur keluar dari gumpalan awan dan tampak sedang menuntun sebuah kapal mengitari bola bumi, lambang tuntunan ilahi.[11] Pada abad ini pula diciptakan kaidah menggambar ketopong menghadap ke arah tertentu sebagai tanda pengenal golongan. Ketopong para penguasa dan kesatria digambar menghadap ke depan-heraldik (menghadap ke arah orang yang melihat gambar), sementara ketopong para bangsawan dan orang-orang terkemuka selain bangsawan, digambar menghadap ke kanan-heraldik (ke kiri menurut sudut pandang orang yang melihat gambar).[12]

Heraldik secara umum mengalami semacam kebangkitan kembali pada penghujung abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. Banyak hal-hal yang tidak logis dari abad-abad lampau ditinggalkan, sehingga sekarang ini tidak ada lagi anugerah jambul yang mustahil diwujudnyatakan dan dipasang pada ketopong sungguhan,[13] dan kaidah-kaidah menggambar ketopong dalam posisi tertentu tidak lagi diikuti secara kaku.

Penggunaan

sunting
 
Lambang kebesaran Markgraf Brandenburg-Ansbach, dengan lima belas ketopong berjambul

Penggunaan jambul dulu hanya dibenarkan bagi orang-orang dari kalangan yang pantas ikut turnamen, yakni golongan kesatria ke atas,[7] tetapi hampir semua lambang kebesaran pribadi pada Zaman Modern dihiasi dengan jambul.[13] Pada umumnya jambul tidak ditampilkan pada lambang kebesaran kaum perempuan (kecuali para ratu) dan kaum rohaniwan, karena mereka tidak ikut berperang maupun bertanding dalam turnamen, sehingga tidak punya ketopong sendiri. Sejumlah ahli heraldik juga berpendapat bahwa, sebagai barang milik perorangan, jambul tidak cocok ditampilkan pada lambang-lambang kebesaran korporat, tetapi pandangan ini tidak diikuti secara luas.[13]

Jambul jauh lebih dihargai di Eropa daratan, khususnya di Jerman, daripada di Inggris. Sudah menjadi kelaziman bagi orang Eropa daratan untuk menampilkan lebih dari satu macam jambul pada lambang kebesarannya, bahkan ada bangsawan-bangsawan tinggi tertentu yang memiliki sampai tujuh belas macam jambul, sehingga berhak menampilkan semuanya pada lambang kebesarannya.[14] Kebiasaan ini baru muncul di Inggris pada Zaman Modern, tetapi lambang-lambang kebesaran yang menampilkan lebih dari satu macam jambul tetap saja jarang dijumpai di Inggris. Berbeda dari kebiasaan Eropa daratan, tempat jambul tidak pernah dipisahkan dari ketopong, orang Inggris yang menyandang lebih dari satu jambul boleh memilih salah satu di antaranya untuk dirangkaikan dengan gambar ketopong, sementara jambul-jambul selebihnya cukup digambar mengambang di dekat ketopong.[15] Meskipun jambul-jambul tambahan ini biasanya didapatkan melalui perkawinan dengan perempuan yang mewarisinya, ada juga jambul-jambul tambahan yang diperoleh sebagai anugerah tanda kehormatan tambahan. Setelah berhasil mengalahkan orang-orang Amerika dalam Pertempuran Bladensburg, Robert Ross dianugerahi jambul, sebagai tanda kehormatan tambahan, berupa gambar sebelah lengan menggenggam tiang berbendera Amerika Serikat yang patah pangkalnya.[16]

 
Lencana jambul Clann Douglas

Selepas abad ke-16, muncul kebiasaan di kalangan armiger (penyandang lambang kebesaran) untuk menggunakan gambar jambul dan ikat kepala secara terpisah dari ketopong sebagai gambar lencana, yang ditampilkan pada barang-barang pecah belah, daun-daun pintu kereta, perlengkapan tulis-menulis, dan lain-lain. Di Inggris, tindakan semacam ini menimbulkan kebiasaan menggunakan istilah "jambul" (bahasa Inggris: crest) secara keliru sebagai kata yang bermakna "lambang kebesaran" (bahasa Inggris: coat of arms). Berbeda dari lencana biasa, yang boleh digunakan oleh kaum kerabat maupun kawula, lencana jambul hanya boleh digunakan oleh si armiger, sehingga penggunaannya oleh orang lain dianggap sebagai tindakan penyerobotan. Meskipun demikian, seluruh anggota marga atau perkauman (bahasa Gaelik Skotlandia: clann) di Skotlandia berhak untuk mengenakan "lencana jambul". Lencana jambul perkauman Skotlandia ini adalah gambar jambul berikut ikat kepala dari lambang kebesaran pemimpin kaum, yang dilingkari gambar sabuk bergesper, dan ditambahi slogan pemimpin kaum pada gambar sabuk.[17]

Tanda-tanda pembeda pada lambang-lambang kebesaran yang tampak seragam, yakni lambang-lambang kebesaran yang disandang oleh orang-orang dari satu keluarga yang sama, pada umumnya tidak dirangkaikan dengan jambul, kendati tidak salah jika dilakukan. Kaidah ini masih dilestarikan oleh keluarga kerajaan Inggris.[18] Meskipun demikian, kaidah yang diikuti secara luas di Inggris melarang penggunaan satu bentuk jambul yang sama oleh dua keluarga yang berbeda. Kaidah ini tidak diikuti di Skotlandia, tempat jambul tidak begitu dipentingkan, sehingga sejumlah besar orang yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dapat saja menggunakan satu bentuk jambul yang sama. Karena tidak begitu perlu dibedakan, jambul-jambul Skotlandia cenderung kurang ornamental dibanding jambul-jambul Inggris.[19]

Gambar ikat kepala di sekeliling pangkal jambul sering diganti dengan gambar mahkota ningrat, yang dikenal dengan sebutan "mahkota ningrat jambul". Bentuk standarnya adalah gambar mahkota ningrat untuk adipati yang disederhanakan menjadi gambar tiga helai daun mahkota pada satu lingkaran emas. Meskipun demikian, mahkota ningrat jambul bukanlah tanda pengenal golongan, dan umumnya sekarang ini tidak dianugerahkan tanpa alasan yang istimewa.[20]

Tarekat kesatria

sunting
 
Gerai kehormatan di Kapel Waga-Waga. Kiri ke kanan: Gerai Lord Hope dari Craighead, gerai Lady Marion Fraser, gerai Sir Eric Anderson, gerai Earl Elgin, dan gerai Lord Mackay dari Clashfern.

Tempat-tempat yang masih memajang jambul-jambul trimatra adalah kapel-kapel tarekat kesatria Inggris, yakni Kapel St George milik Tarekat Kesatria Sabuk Mojah, Kapel Waga-Waga milik Tarekat Kesatria Waga-Waga, dan Kapel Henry VII milik Tarekat Kesatria Permandian. Di dalam kapel-kapel ini terdapat sederet gerai (tempat duduk bertiang dan beratap mirip pelaminan) bagi para kesatria. Puncak atap gerai dipasangi pedang dan ketopong berjambul pemilik gerai, hasil pahatan kayu pohon saru yang dicat dan disepuh emas oleh Ian Brennan, pematung resmi Rumah Tangga Istana Kerajaan Inggris.[21]

Rujukan

sunting

Kutipan

sunting
  1. ^ Dickson, Iain. "Legionary Helmets of the Roman Period". Illustrated History of the Roman Empire. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-14. Diakses tanggal 2018-12-27. 
  2. ^ Barron 1911, hlm. 314
  3. ^ Fox-Davies 1909, hlm. 327
  4. ^ Scott-Giles 1954, hlm. 150–1
  5. ^ Eve 1907, hlm. 126
  6. ^ Eve 1907, hlm. 120
  7. ^ a b Fox-Davies 1909, hlm. 336
  8. ^ Scott-Giles 1954, hlm. 154
  9. ^ Barron 1911, hlm. 315
  10. ^ Fox-Davies 1909, hlm. 385
  11. ^ Drake, Charles. "The Arms of Sir Francis Drake". A Genealogical and Heraldic Memorial of the Ancient Gentle Family of Drake of Drakenage. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-05-19. 
  12. ^ Fox-Davies 1909, hlm. 321
  13. ^ a b c Scott-Giles 1954, hlm. 161
  14. ^ Fox-Davies 1909, hlm. 343
  15. ^ Fox-Davies 1909, hlm. 322–3
  16. ^ "Battle of Bladensburg". The Man Who Captured Washington: Major General Robert Ross. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-11. Diakses tanggal 2018-12-27. 
  17. ^ "Crests". Court of the Lord Lyon. 
  18. ^ Scott-Giles 1954, hlm. 160
  19. ^ Fox-Davies 1909, hlm. 419
  20. ^ Scott-Giles 1954, hlm. 154–5
  21. ^ Brennan, Ian. "Creating a crest/arms". Contemporary Sculptor. 

Sumber

sunting

Pranala luar

sunting