Jayus
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Oktober 2022. |
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Jayus adalah tokoh yang cukup sentral dalam Peristiwa Talangsari 1989 Peritiwa talangsari 1989. Peritiwa Talangsari 1989 berkaitan dengan peristiwa tanjung priok, boom bali, bahkan dengan ide berdirinya NII (Negara Islam Indonesia).
Dalam kasus talangsari, Jayus memiliki peranan sangat sentral. Hampir dalam setiap referensi baik berupa berita, artikel, buku maupun dokumen Jayus selalu menjadi tokoh sentral dalam peristiwa Talangsari. bahkan beberapa seminar sering kali menjadikan Jayus sebagai pembicara. Lihat saja saat launching buku Fadilasari1, Jayus dijadikan tokoh Kunci.
Tragedi Talangsari yang melibatkan Jayus saat ini muncul kembali, padahal ide untuk Islah sudah pernah disetujui, bahkan oleh Jayus sendiri. Akhir-khirn ini anehnya Jayus menarik niat islah itu dan membuka kembali kasus talangsari. Bahkan ada kesan bahwasaanya niat untuk membuka kembali kasus tersebut hanya bermotif komersial. Ini lah yang menyebabkan banyak penduduk asli Talangsari tidak setuju, hingga berujung bentrok2.
Selama ini Jayus alias Dayat bin Karmo (lahir tahun 1956) dikenal sebagai sosok yang ikhlas berjuang untuk menegakkan negara Islam, dengan menjadikan Cihideung (Talangsari) sebagai basis perjuangan. Namun saya amat terkejut ketika membaca GAMMA edisi 1-7 Agustus 2001 (hal. 32-33), berjudul Buka Tutup Tak Berujung, antara lain memberitakan bahwa Jayus bersama enam orang yang mengaku-ngaku sebagai mantan jamaah Warsidi menghadap LBH Lampung untuk mengungkap kembali kasus Talangsari.
Selain majalah GAMMA sepak terjang Jayus juga diabadikan majalah GATRA no. 39 tahun VII edisi 18 Agustus 2001 (hal. 118), berjudul Menahan Laju Garuda Hitam; harian REPUBLIKA edisi 6 September 2001 (hal. 12), berjudul Korban Kasus Talangsari Tolak Islah; juga harian KOMPAS edisi 21 Desember 2001 (hal. 7), tentang keterlibatan Jayus bersama Kontras dan Smalam untuk mengungkap kembali kasus Talangsari.
Ketika itu saya berpikir, Jayus sudah banyak berubah menjadi petualang politik yang punya motif komersial. Mungkin karena terdesak oleh kebutuhan ekonominya yang meningkat.
Dulu, Hendropriyono pernah memenuhi permintaan Jayus untuk menguasai kembali sebidang tanah miliknya di lokasi bekas kejadian yang pernah dibeli oleh Lurah Amir Puspa Mega, tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun.
Di antara para elite kasus Talangsari, Jayus satu-satunya pelaku yang mendapat putusan paling ringan, hanya ditahan selama satu tahun. Padahal, Jayus adalah orang kedua setelah Almarhum Warsidi. Hal itu bisa terjadi karena Jayus telah “berjasa” (baca: berkhianat) dengan menunjukkan semua jamaah Warsidi yang ketika itu sedang berusaha melarikan diri ke Jakarta melalui Bakauheni.
Perlu ditegaskan, bahwa Jayus bukan representasi dari keluarga korban pada umumnya. Mengenai tujuh orang yang mengaku mantan anggota Jamaah Warsidi yang menghadap LBH Lampung, mereka adalah anggota keluarga Jayus sendiri, yang pada waktu kejadian belum mengerti permasalahan karena masih berusia sangat muda. Misalnya, Purwoko yang berusia 6 tahun ketika kasus Talangsari terjadi.
Dengan demikian, kedatangan mereka ke LBH Lampung tidak mewakili aspirasi dari keluarga korban pada umumnya. Bahkan Jayus ketika kasus Talangsari terjadi, ia melarikan diri dan bersembunyi ke dalam sungai di belakang lokasi kejadian. Dengan demikian Jayus sama sekali tidak mengetahui dengan persis kejadian tersebut. Terbukti, Jayus tidak pernah dijadikan narasumber (informan) penelitian oleh para peneliti dan penulis buku tentang Talangsari (Lampung).
Sungguh sangat ironis, Jayus yang dulu dengan penuh semangat mensosialisasikan konsep ishlah dan memperoleh keuntungan finansial dengan adanya gerakan ishlah, kini justru gencar melakukan upaya pengungkapan kembali kasus Talangsari. Faktanya, kini hanya Jayus seorang yang menolak ishlah, sementara itu hampir seluruh keluarga korban dan pelaku kasus Talangsari sudah menerima ishlah, yaitu mereka yang berada di Jakarta, Solo maupun Lampung. Jayus satu-satunya pelaku kasus Talangsari asal Lampung yang setelah menerima ishlah kemudian menolak kembali karena punya motif komersial.
Sikap mencla-mencle Jayus ternyata juga dikhawatirkan oleh keluarganya seperti Joko alias Sadar, yang sampai saat ini menyesali sikap Jayus yang semula menerima konsep ishlah kemudian mencabut dukungannya terhadap konsep ishlah, sementara anggota keluarga lainnya yang dulu dilibatkan Jayus untuk ishlah sampai kini masih tetap memilih ishlah sebagai solusi. Dengan demikian Jayus telah mengkhianati keluarga korban (dan anggota keluarganya sendiri).
Sebuah buku yang ditulis Abdul Syukur, berjudul Gerakan Usroh Di Indonesia: Peristiwa Lampung 1989, khususnya di halaman 113, menyajikan hasil wawancara penulis buku tersebut dengan Sukardi yang berlangsung pada 11 Januari 2001 di Jakarta, mendeskripsikan sosok Jayus sebagai berikut:
Jayus adalah warga Umbul Cihideung yang menjadi anggota kelompok pengajian Warsidi. Jayus dikenal sebagai penjahat sebelum bergabung dengan kelompok pengajian Warsidi. Kawan Jayus yang bernama Joko dan Badar turut pula menjadi anggota kelompok pengajian Warsidi. Sedangkan Badar, kawannya yang lain sudah tertembak mati oleh penembakan misterius. Jayus menyesali semua perbuatannya pada masa lalu dan ingin mengabdikan sisa hidupnya untuk mencari kebaikan sebagai penebus atas semua dosanya pada masa lalu. Ia kemudian menyerahkan sebagian tanah warisan orangtuanya di Umbul Cihideung kepada Warsidi agar dimanfaatkan untuk keperluan mengembangkan agama Islam di Umbul Cihideung. Tanah pemberian Jayus di Umbul Cihideung itulah yang ditetapkan sebagai lokasi hijrah dalam pertemuan 12 Desember 1988 di Cibinong, Jawa Barat.
Dari berbagai buku tentang kasus Talangsari (Lampung) yang pernah diterbitkan oleh berbagai penerbit, kesemua buku-buku tersebut hanya menyinggung sosok Jayus sekadarnya. Jayus cuma disebut sebagai sosok yang menghibahkan 1,5 hektare tanahnya kepada Warsidi, dari sekitar 5 hektare tanah yang miliknya hasil warisan orangtuanya. Baru pada buku yang ditulis Abdul Syukur deskripsi tentang sosok Jayus ditampilkan sedikit rinci, itu pun melalui pihak ketiga.
Catatan kaki
suntinghttp://www.kapanlagi.com/h/0000169428.html Diarsipkan 2009-01-06 di Wayback Machine.
http://www.kapanlagi.com/h/0000169630_print.html
http://illa-fahri.blogspot.com/2007_06_01_archive.html