Jurnalisme konstruktif
Jurnalisme konstruktif adalah jurnalisme yang fokus terhadap solusi atas permasalahan sosial serta berita yang dapat dipercaya dalam konteks yang relevan, serta memperhatikan dampak psikologis khalayak umum setelah membaca atau mendengar sebuah berita sehingga tidak menimbulkan kepanikan,[1] tetapi bukan berarti bahwa jurnalisme konstruktif cenderung menghindari pemberitaan atas penceritaan yang mencekam.[2]
Gagasan
suntingGagasan tentang jurnalisme konstruktif diperkenalkan oleh seorang jurnalis asal Denmark yang bernama Ulrik Haagerup yang meyakini bahwa di dalam berita mesti ada solusi. Dalam sebuah bukunya yang berjudul Constructive New, ia memaparkan bahwa para jurnalis harus mampu memberdayakan masyarakat melalui inspirasi, dan bukan cuma memperlihatkan keburukan dunia pada masyarakat. Terkadang media mengatur masyarakat mengenai agenda setting di mana media menjelaskan soal apa yang sangat penting dan harus diperhatikan oleh masyarakat, dengan kehadiran jurnalisme konstruktif, masyarakat diajak untuk tetap tenang dan mencari jalan keluar atas permasalahan yang ada.[3]
Tujuan
suntingJurnalisme konstruktif bertujuan untuk menurunkan ketegangan di masyarakat ketika permasalahan sedang genting; mencegah adanya polarisasi di masyarakat; membangun ikatan dengan audiens, mengajak masyarakat untuk terlibat dalam mengatasi permasalahan.[4]
Ada tiga level yang akan dilewati saat menerapkan prinsip jurnalisme konstruktif. Pertama adalah level mikro di mana para audiens berita merasa lebih positif, dan bukan hanya terbebani oleh masalah. Kedua adalah level mennegah di mana perusahaan media telah memperoleh retensi dan jangkauan audiens. Level terakhir yaitu level makro di mana solusi yang masuk akal atas permasalahan sosial membawa kemajuan dalam masyarakat.[5]
Elemen
suntingAda enam elemen jurnalisme konstruktif yaitu (1) Solusi, yakni dengan membuat framing yang berfokus pada solusi saat meliput masalah, (2) Orientasi ke masa depan, dengan memadukan unsur saat ini serta memikirkan potensi masa depan, (3) Inklusivitas dan diversivitas, melawan adanya polarisasi di masyarakat dengan mengakomodasi banyak suara dan sudut pandang, (4) Pemberdayaan, dengan cara melibatkan sudut pandang yang membahas sumber daya yang punya potensi, solusi, kerjasama, (5) Konteks serta penjelasan, dengan cara memvisualkan dan menyajikan data dalam berita, (6) Kreasi bersama, dengan melibatkan publik dalam membuat konten berita yang konstruktif.[6]
Karena berfokus pada masa depan, jurnalisme konstruktif berbeda dengan jurnalisme investigasi yang mengulas kejadian dan peristiwa yang sudah terjadi, dan berbeda pula dengan jurnalisme kilat yang biasanya tersaji dalam sebuah breaking news yang berfokus pada kejadian hari ini.[2]
Konsep
suntingPara jurnalis yang konstruktif berprinsip pada pengoptimalan pertanyaan 5W+1H saat mewawancarai beberapa narasumber serta melakukan riset yang ketat. Pemaparan berita disajikan dengan cara yang tidak menimbulkan ketakutan di masyarakat.[6]
Referensi
sunting- ^ M.Si, Kencana Ariestyani S. (2023-12-13). Buku Ajar Penulisan Jurnalistik. PT Rekacipta Proxy Media. hlm. 69–70. ISBN 978-623-09-6930-0.
- ^ a b Yudhistira (2023-05-08). "Jurnalisme Positif, Jurnalisme yang Konstruktif". Narabahasa. Diakses tanggal 2024-12-20.
- ^ "Jurnalisme Konstruktif". Rmol.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-20.
- ^ M.Si, Kencana Ariestyani S. (2023-12-13). Buku Ajar Penulisan Jurnalistik. PT Rekacipta Proxy Media. hlm. 80. ISBN 978-623-09-6930-0.
- ^ Hooffacker, Gabriele (2022-01-02). Journalistic Practice: Constructive Journalism: How Media can Implement the Topic of Migration for Young People (dalam bahasa Inggris). Springer Nature. hlm. 7–8. ISBN 978-3-658-33843-5.
- ^ a b Pratiwi, Ellya; Paridah, Paridah (2023-02-09). "Implementasi Jurnalisme Konstruktif Pada Berita Vaksinasi Covid-19 Di Media Online Lokal". Jurnal Adijaya Multidisplin. 1 (01): 190–200. ISSN 2964-7606.