Kampanye negatif adalah strategi kampanye yang digunakan dengan mengeksploitasi kelemahan, kekurangan, dan kesalahan lawan. Berbeda dengan kampanye hitam yang berbasis pada fitnah, kampanye negatif memiliki dasar argumen, data dan ada bukti empiris yang dapat dipertanggungjawabkan. Strategi kampanye negatif tidak hanya digunakan dalam politik tetapi juga bisa digunakan dalam bidang lain seperti perdagangan dan militer.[1][2][3]

Kampanye denazifikasi yang dilakukan Blok Sekutu selama menduduki Jerman pasca-Perang Dunia II menggunakan data-data kekejaman Rezim Reich Ketiga untuk melemahkan sisa-sisa pengaruh ideologi Nazisme.

Tujuan

sunting

Para pelaku kampanye negatif memiliki tujuan untuk membunuh karakter atau bahkan mengkriminalisasi lawan agar citranya menjadi buruk.[1] Penggunaan data rill yang sahih membuat pelaku kampanye negatif bisa dengan mudah memanipulasi pola pikir massa agar membenci target. Karena kampanye negatif memiliki dasar pada data yang dapat dipertanggungjawabkan membuat pelaku kampanye negatif sangat sulit untuk terjerat pidana. Hal ini bereda dengan kampanye hitam yang pelakunya dapat dipidana.[2]

Penggunaan dalam Politik

sunting
 
Pemilihan Umum Presiden kerap terjadi kampanye negatif yang melibatkan antar pasangan calon.

Dalam sebuah negara yang menganut demokrasi kandidat politik yang bertarung dijamin oleh undang-undang kebebasan berpendapat. Di Indonesia kampanye negatif pada dasarnya masih diperbolehkan oleh negara. Menurut Guru Besar Ilmu hukum Universitas Indonesia Topo Santoso Pasal 280 ayat (1) huruf c dan Pasal 521 dalam Undang-Undang Pemilihan Umum hanya melarang kampanye hitam, bukan kampanye negatif. Menurut Topo, kampanye negatif yang berdasar pada argumen kerap digunakan untuk mendelegitimasi lawan, misalkan soal hutang luar negeri, penegakkan hukum, pengelolaan pendidikan dan kesehatan, dan sebagainya yang memang datanya bisa diperoleh secara sah.[3]

Namun kampanye negatif bukan tanpa resiko. Para target kampanye negatif bisa saja menyerang balik pelaku kampanye negatif, sehingga yang terjadi kemudian bukan diskursus gagasan untuk masa depan, melainkan mengungkit-ungkit kesalahan lawan politik dan mengeksploitasinya. Contohnya dalam Pemilihan umum Presiden Indonesia 2024 lalu kampanye negatif yang umum antara lain:

Namun kampanye negatif memiliki sisi positif yang dapat dimanfaatkan dalam iklim demokratis. Kampanye negatif bisa membantu konstituen untuk memilih pasangan calon mana yang sekiranya "lebih baik" atau calon mana yang harus dihindari karena "lebih buruh", meskipun ini menjadi apa yang disebut sebagai politik lesser evil.[7][8]

Referensi

sunting
  1. ^ a b Media, Kompas Cyber (2022-05-16). "Mengenal Perbedaan Kampanye Negatif dan Kampanye Hitam". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2024-12-15. 
  2. ^ a b Akbar, Muhammad Rizqi. "Perbedaan Kampanye Negatif dan Kampanye Hitam dalam Pemilu, Apa Saja?". detikjogja. Diakses tanggal 2024-12-15. 
  3. ^ a b FHUI, ByHumas. "Perihal Kampanye Negatif dan Kampanye Hitam, Apa Bedanya? – Fakultas Hukum Universitas Indonesia" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-15. 
  4. ^ "3 Masalah Utama Anies Baswedan Selama Pimpin Jakarta Versi LSI". www.cnnindonesia.com. 2022-10-22. Diakses tanggal 2024-12-15. 
  5. ^ "Sejarah Tim Mawar dan Kaitannya Dengan Prabowo, Digoreng Lagi Jelang Pilpres 2024". suara.com. Diakses tanggal 2024-12-15. 
  6. ^ Times, I. D. N.; Puspitoningrum, Anggun. "7 Kontroversi Ganjar Pranowo, Gubernur Jateng yang Ditunjuk Jadi Capres PDIP". IDN Times Jateng (dalam bahasa In). Diakses tanggal 2024-12-15. 
  7. ^ "Kebangkitan Kembali Gagasan 'The Lesser Evil'". Tempo. 22 Januari 2024 | 00.00 WIB. Diakses tanggal 2024-12-15. 
  8. ^ RAHAYU, WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN, KURNIA YUNITA (2023-11-13). "Dua Sisi Kampanye Negatif yang Kian Intens "Menyerang" Capres-Cawapres". kompas.id. Diakses tanggal 2024-12-15.