Kampung adat sejarah adalah salah satu kampung adat yang berlokasi di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat.[1] Dahulu kala, Masyarakat di Kampung Pulo menganut agama Hindu. Namun setelah Embah Dalem Arif Muhammad singgah di wilayah ini beralih ke dalam Agama Islam. Hal ini terjadi karena Pasukan Embah Dalem Arif Muhammad terpaksa dipukul mundur sewaktu melawan penjajah Belanda. Karena merasa kecewa dan malu oleh Sultan Agung, maka Embah Dalem Arif Muhammad tidak kembali lagi ke Mataram. Mulai waktu itu, beliau menyebarkan Agama Islam kepada masyarakat di wilayah Kampung Pulo. Sampai dengan wafat dan dimakamkan di Kampung Pulo. Embah Dalem Arif Muhammad meninggalkan enam orang anak, lima perempuan dan satu pria. Berkaitan dengan hal tersebut, di Kampung Pulo didirikan enam buah rumah adat saja yang saling berhadapan masing-masing tiga buah rumah di sebalah kiri dan di sebelah kanan ditambah dengan sebuah mesjid untuk tempat beibadah.[1] Sekarang, Kampung Pulo terdiri dari enam kepala keluarga dengan jumlah penduduk 23 orang, dan jumlah penduduknya tidak boleh lebih dari 26 orang. Sistem pewarisannya adalah rumah adat diberikan kepada anak perempuan tertua. Maka dari itu, sistem kekeluargaan di Kampung Pulo harus mengikuti garis Ibu. Apabila ada anak laki-laki yang sudah menikah dan pernikahannya sudah menginjak waktu dua minggu, maka anak laki-laki itu harus ke luar dari Kampung Pulo.[2]

Geografis

sunting

Tepatnya berada di antara Kota Bandung dan Kabupaten Garut yang berjarak 2 kilometer dari kecamatan Leles, 17 kilometer dari Kabupaten Garut, dan 46 km dari Kota Bandung. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Neglasari, Kecamatan Kadungora, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sukarame dan Desa Margaluyu, Kecamatan Leles. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Tambak Sari dan Desa Karang Anyar, Kecamatan Leuwigoong dan sebelah barat dengan Desa Leles, Kecamatan Leles dan Desa Talagasari, Kecamatan Kadungora. Kampung adat ini berada di pulau danau Bagendit satu tempat dengan Candi Cangkuang, makam keramat, serta museum situs.[2]

Pemukiman

sunting

Rumah di Kampung Pulo bentuknya persegi panjang dengan jenis rumah panggung. Bagian atap memakai bentuk suhunan julang ngapak yang dengan empat bidang atap. Dua bidang atap saling bertemu pada garis suhunan yang letaknya miring. Dua bidang atap yang lain adalah bidang lanjutan yang membentuk sudut tumpul, di antara garis pertemuan keduanya. Bidang atap tambahan yang melandai terkenal dengan sebutan leang-leang. Bagian pangkal kedua belah atap, dibentuk seperti tanduk lurus yang sering disebut cagak gunting (persilangan gunting) atau capit hurang (bentuk tangan capit udang) dengan lilitan tali ijuk agar lebih kuat.[3]

  • Atap, bagian penutup atap di ruang tamu memakai bambu yang dipasang bentuk berjajar (talahab). Penutup atap bagian lainnya terbuat dari alang-alang, rumbia dan ijuk yang diikat kuat dengan tali dari bahan bambu ke bagian atas dari rangka atap dan diperkuat dengan paku agar lebih awet.
  • Plafon atau langit-langit, terbuat dari bilik bambu dengan anyaman kepang. Pemasangan bilik disimpan di bagian atas dan di bagian bawah diletakkan bambu bulat yang sejajar denga jarak yang sama antar bilah-bilah bambu.
  • Tiang, terbuat dari kayu untuk menopang rangka atap, lantai dan sebagai bagian dari rangka bangunan rumah utama yang harus berjumlah 16 buah tiang. Untuk pondasi tiang rumah menggunakan batu alam yang berbentuk persegi panjang.
  • Dinding, terbuat dari bilik yang menggunakan pola anyaman kepang. Selain digunakan sebagai pengunci kayu, paku juga digunakan untuk memperkuat bagian kontruksi bangunan. Dinding rumah diwarnai kapur yang berwarna putih.
  • Pintu, terbuat dari bilik sasag dan kayu yang berbentuk persegi panjang. Pintu rumah umumnya memiliki ukuran, bahan, dan bentuk yang sama, ukuran pintu kira-kira 1,75 meter x 1 meter.
  • Jendela, pada jendela biasanya dipasang kayu secara vertikal dengan jarak tertentu yang sering disebut jalosi, serta daun jendela kayu dijadikan sebagai penutupnya.
  • Lantai, dibuat dari bilik atau anyaman bambu yang bentuknya sama dengan anyaman dinding rumah dengan motif kepang. Lantai bilik yang sudah jadi digelar di atas bambu bulat yang utuh.
  • Golodog, terbuat dari kayu yang diletakkan di bawah lantai menuju ke ruang tamu dan pintu dapur bagian bawah.[4]

Upacara Adat

sunting

Upacara Adat yang masih dilaksanakan di Kampung pulo adalah upacara yang berkaitan dengan daur kehidupan manusia seperti perkawinan, kehamilan, kelahiran bayi, kematian, bidang pertanian, ketika mendirikan rumah, serta memandikan (ngaibakan) Benda Pusaka.

Kegiatan Upacara Memandikan Benda Pusaka di Kampung Adat Pulo harus dilakukan pada tanggal 14 Maulud. Kegiatan ini dilaksanakan pukul 24.00 WIB sampai dengan pukul 13.30 WIB, dihadiri oleh enam anggota keluarga yang tinggal di Kampung Pulo dan seluruh keluarga yang sudah tidak tinggal di wilayah Kamung Pulo. Selain itu, ada juga masyarakat yang berasal dari luar Kampung Pulo yang datang menyaksikan ritual memandikan beberapa benda pusaka peninggalan Embah Dalem Arip Muhammad dan para leluhur lainnya. Upacara ini dipimpin Ketua Adat atau seseorang yang diberi tugas oleh Ketua Adat untuk memimpinnya. Adapun urutan kegiatan upacara memandikan benda pusaka dijelaskan sebagai berikut.

  • Kegiatan Upacara dilaksanakan di rumah siapa saja yang ditunjuk Ketua Adat .
  • Sebelum pukul 24.00 WIB, keluarga dan para tamu harus sudah hadir untuk menyaksikan Ritual pembukaan.
  • Sebelum Ritual adat dilaksanakan, Ketua Adat menyiapkan perlengkapan upacara di antaranya empat buah wadah yang berisi air dengan taburan kembang tujuh rupa, kain putih (boeh larang), sesaji (2 buah kelapa hijau muda, rujak, surutu, kopi pait dan kopi manis, makanan ringan, terlur ayam, parupuyan, kemenyan, nasi tumpeng, minyak wangi, ikan bakar khusus yang diambil dari danau cangkuang.
  • Pusaka yang dimandikan disimpan di atas Kain putih (Boeh larang). Berbagai pusaka itu di antaranya ada beberapa macam keris, golok, meriam bundar yang disimpan pada penampan, beberapa macam kujang, berbagai macam batu, tongkat dari kayu, dan pusaka-pusaka lainnya.
  • Tepat pada pukul 24.00 WIB, parupuyan mulai dinyalakan, kemenyan pun ikut dibakar, asap kemeyan semerbak memenuhi ruangan rumah.
  • Ketua Adat mulai membuka acara dengan menyampaikan tujuan pelaksanaan upacara tersebut.
  • Selanjutnya melakukan Tawasulan (hadiah) kepada Nabi Besar Muhammad Saw., dengan melantunkan Sholawat Nabi dan do’a lainnya.
  • Ritual diawali dengan membasuh berbagai keris yang dicelupkan ke dalam air taburan kembang (bunga-bunga) tujuh rupa dengan diiringi lantunan Sholawat Nabi oleh seluruh masyarakat yang hadir.
  • Selanjutnya seluruh benda pusaka dimandikan oleh ketua adat. Setelah dimandikan kemudian disemprot dengan minyak wangi dan disimpan kembali pada tempatnya
  • Setelah memandikan barang pusaka selesai, ketua adat menutup upacara ini dengan do’a. Selanjutnya masyarakat dipersilahkan untuk mencicipi nasi tumpeng yang telah disediakan. Setelah itu, rangkaian upacara telah selesai.[2]

Pantangan

sunting
  • Di Kampung Pulo terdapat sebuah pantangan Berupa "Tidak boleh bertambahnya seorang Penduduk"
  • Larangan menambah dan mengurangi jumlah rumah. Seperti saat ini, rumah berjumlah enam dan satu mushola, yang merupakan gambaran dari jumlah anak perempuan Eyang Embah Dalem Arif Muhammad. Penerus yang menempati rumah adat haruslah keturunan dan anak perempuan tertua masing-masing keluarga berupa keluarga batih, yakni satuan kekerabatan atau satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya.
  • Larangan memelihara hewan peliharaan berkaki empat kecuali kucing. Hal ini bertujuan untuk menjaga kesucian dan kebersihan desa adat Kampung Pulo dari gangguan dan kotoran hewan peliharaan berkaki empat selain kucing. Pengecualian terhadap kucing berkaitan dengan kepercayaan bahwa hewan tersebut merupakan peliharaan kesayangan Nabi Muhammad Saw.
  • Larangan membangun rumah dengan atap berbentuk prisma. Hal ini berkaitan dengan kejadian tragis yang menimpa satu-satunya anak lelaki Embah Dalem Arief Muhammad, sebagaimana dikisahkan secara turun temurun oleh pemangku adat. Tatkala anak lelaki semata wayang Embah Dalem Arief Muhammad cukup umur untuk dikhitan, maka dilaksanakanlah upacara khitanan dengan mengarak “raden nganten” dalam sebuah tandu berbentuk prisma. Pada saat diarak, tiba-tiba datang angin kencang yang membuat arak-arakan kocar-kacir dan mencelakakan “raden nganten” hingga meninggal dunia. Untuk memperingati kejadian tersebut, maka Desa Adat Kampung Pulo pamali (larangan) membuat atap berbentuk prisma.
  • Larangan memukul gong besar. Ini masih berkenaan dengan kejadian Raden Nganten celaka, dalam kejadian itu gong besar merupakan alat musik dalam gamelan pengiring. Jadi untuk memperingati kejadian itu, desa adat Kampung Pulo pamali membunyikan gong besar.[5]

Referensi

sunting
  1. ^ a b "Kampung Pulo-Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat". www.disparbud.jabarprov.go.id. Diakses tanggal 2020-05-13. [pranala nonaktif permanen]
  2. ^ a b c "SIPAKU - SIM Pariwisata dan Kebudayaan". sipaku.disparbud.garutkab.go.id. Diakses tanggal 2020-05-14. 
  3. ^ "Data Kampung Adat di Jawa Barat" (PDF). webcache.googleusercontent.com. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-08-10. Diakses tanggal 2020-05-14. 
  4. ^ P., Suwardi (1 Maret 2011). "Arsitektur Tradisional Rumah Kampung Pulo". Patanjala: Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya. 3: 101. doi:10.30959/patanjala.v3i1.273. 
  5. ^ Ratih, Dewi. "Komunitas Kampung Pulo di Cangkuang Kabupaten Garut: Perkembangan Adat Istiadat Setelah Masuknya Islam 1". webcache.googleusercontent.com. Diakses tanggal 2020-05-14.