Kampung kota
Kampung kota merupakan suatu bentuk pemukiman yang berada di wilayah perkotaan dan berciri khas Indonesia.[1] Penduduk kampung kota masih memiliki sifat dan perilaku kehidupan pedesaan yang memiliki ikatan kekeluargaan yang erat.[1] Kondisi bangunan dan lingkungan kurang baik serta tidak beraturan.[1] Tingkat kerapatan bangunan dan penduduk juga tinggi serta sarana pelayanan dasar juga kurang.[1]
Abdoumaliq Simone, seorang geografer, memberikan definisi kampung yang berada di wilayah perkotaan sebagai salah satu unit dasar kota, yang secara etimologis terkait dengan camp dan compound yang telah memiliki ambang batas optimal dan sering kali sangat padat, pola perkotaan tingkat rendah yang bercirikan kepemilikan tanah yang sulit untuk dibakukan. Kampung kota sering kali mengandung spektrum keberagaman etnis dan tingkat pendapatan. Juga sering kali memasukkan struktur sosial dari pulau atau tempat lain.[2]
Pengertian istilah kampung kota bersifat elusif. Kampung-kampung tak jarang hadir di pusat perkotaan. Kadang kala kampung perkotaan merupakan suatu daerah kumuh yang ditinggalkan, tetapi lebih sering merupakan wilayah pedesaan yang tercakup oleh perluasan ruang kota. Perkampungan pada mulanya dibangun sebagai ruang yang kemudian melalui proses intensifikasi pembangunan menyerap semakin banyak orang pindah untuk bermukim di kampung-kampung.[3]
Sejarah perkembangan kampung kota
suntingLebih lanjut lagi, dengan menelusur sejarah asal-usul kampung sebagai bagian penting dari citra yang dimilikinya, kampung dipahami sebagai permukiman bersama yang muncul begitu saja, bukan merupakan bagian dari suatu rencana penataan jalan dan penempatan bangunan. Definisi yang mengambil persepsi dari penguasa kota ini memiliki keuntungan bahwa ia mencakup elemen-elemen yang kerap menjadi pemicu tindakan negara, yakni kesemrawutan. Penempatan lahan-lahan biasanya tidak teratur baik dalam bentuk maupun ukurannya, pola-pola antar permukiman cenderung zig-zag, dan rumah-rumah yang dibangun sendiri oleh penduduk. Pada akhir abad ke-19, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menjadi kampung dengan identitas terpisah, bahkan memberikan status administratif yang otonom, tetapi justru cara seperti ini menyingkirkan penduduk kampung dari modernitas.[4]
Sejak abad ke-20, para birokrat selalu melihat kampung dengan kacamata negara, dengan menganggap kampung sebagai ruang yang tercampur baur, melihat sesuatu yang problematis. Respon standarnya ialah dengan melakukan perbaikan kampung, sebuah kebijakan yang diperkenalkan pada tahun 1920-an dan terus dilanjutkan hingga sekarang di kota-kota besar Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Makassar, Kendari dan Solo. Diawali dengan banjir besar tahun 1918, yang melanda sebagian besar kampung di kota Jakarta, Muhammad Husni Thamrin mendesak pemerintah kolonial untuk memperbaiki kampung dengan maksud menanggulangi banjir di permukaan.[5] Program tersebut kemudian terkenal dengan sebutan Kampoeng Verbetering, akhirnya tak hanya berlangsung di Batavia, tetapi juga di Semarang dan Surabaya.[6]
Referensi
sunting- ^ a b c d User. "KAMPUNG KOTA SEBAGAI BAGIAN DARI PERMUKIMAN KOTA STUDI KASUS : TIPOLOGI PERMUKIMAN RW 01 RT 02 KELURAHAN LIMBA B DAN RW 04 RT 04" (PDF). webcache.googleusercontent.com. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-08-09. Diakses tanggal 2017-01-11.
- ^ Abdoumaliq Simone, City Life from Jakarta to Dakar: Movements at the Crossroads, 2010, ISBN 0-415-993220-9, pp. 61
- ^ Lea Jellinek, The wheel of fortune: the history of a poor community in Jakarta, 1991, pp. 1-15
- ^ Johnny A. Khusyairi & La Ode Rabani, Kampung Perkotaan: Kajian Historis-Antropologis atas Kesenjangan Sosial dan Ruang Kota, 2010, ISBN 978-979-185-323-1, pp. xii
- ^ Restu Gunawan, Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa, 2010, ISBN 978-979-7-9-483-6, pp. 128
- ^ Rahil Ismail, Brian J. Shaw & Giok Ling Oi, Southeast Asian Culture and Heritage in a Globalising World: DIverging Identities in a Dynamic Region, ISBN 978-0-7546726-6, pp.90