Kapitan Telukabessy

pemimpin pasukan perlawanan rakyat Maluku

Ahmad Leikawa, lebih dikenal sebagai Kapitan Telukabessy, adalah pemimpin pasukan perlawanan rakyat Maluku yang menentang Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) pada pertengahan abad ke-17, tepatnya antara tahun 1636–1646.

Kehidupan pribadi

sunting
 
Topi berbahan dasar besi yang dipercayai merupakan milik Kapitan Telukabessy dan disimpan oleh fam Leikawa.

Telukabessy merupakan seorang kapitan yang berpengaruh di Kerajaan Tanah Hitu. Menurut cerita rakyat, ia mendapatkan gelar kehormatan karena pernah melubangi sebuah kapal Portugis yang mendarat di pelabuhan Hitu hingga tenggelam dengan menyelam ke bawah kapal, serta membawa pahat dan palu. Kejadian itu diperkirakan terjadi pada tahun 1614.

Perlawanan terhadap VOC

sunting

Perang Hitu II (Perang Wawane) yang dikobarkan oleh Kapitan Kakiali di Jazirah Leihitu untuk menentang monopoli dan pelayaran Hongi oleh VOC yang berlangsung selama 9 tahun dan berakhir setelah jatuhnya Benteng Kapahaha pada 27 Juli 1646. Setelah perlawanannya, Kapitan Kakiali ditangkap dan diasingkan ke Batavia. Kemudian perang dilanjutkan oleh Kapitan Telukabessy yang dibantu oleh Kesultanan Gowa dengan mengirim Tallu Tubarani ('tiga orang pemberani'), yakni Karaeng Tulisi, Karaeng Mangappa, dan Karaeng Jipang untuk membantu memerangi armada VOC di sekitar perairan Kerajaan Tanah Hitu.

Walaupun Benteng Kapahaha berhasil direbut oleh VOC, tetapi hal itu tidak berhasil membuat Kapitan Telukabessy tertangkap. Menyusul hal tersebut, pasukan rakyat Maluku yang ditawan oleh VOC dijadikan sebagai sandera. Setelah Kapitan Telukabessy berhasil ditangkap oleh VOC, ia kemudian dijatuhi hukuman mati, akan tetapi pasukannya diberikan amnesti oleh VOC.[1] Untuk melepaskan semua dendam akibat peperangan tersebut, maka diadakan upacara baku pukul manyapu. Pasukan rakyat Maluku yang tidak ingin kembali ke negerinya kemudian diserap kedalam pasukan VOC untuk menaklukkan wilayah lainnya di Nusantara, diantaranya yang paling terkenal adalah Kapitan Jonker yang berasal dari Pulau Manipa.

Kematian

sunting

Setelah penangkapannya, ia kemudian dijatuhi hukuman mati melalui tiang gantungan di Amboina pada 3 September 1646. Sebelum wafat, ia menitipkan sebuah pesan yang berbunyi "Atumu Tapulu Himabuku Peia Maahunia Lisa Kapahaha Linia" (Ku Kirimkan Sanjungan Hormat Untuk Kampung Halamanku Serta Pejuang-Pejuang Kapahaha Yang Tercinta) "Pamasun Ina Luhu Runa Yana Walia" (Ibuku Ina Luhu dan Semua Keluargaku Kupersembahkan Keresahanmu) "Nusai Kakiela Kapa Lima Kapa Yai" (Tetap Pertahankan Kemerdekaan Bangsa Dan Tanah Air Serta Setia Kepada Rakyat) "Meu Rula Molo Sahi Yana Walia" (Biar korban jiwa dan dilenyapkan, akan tumbuh generasi penerus)".

Referensi

sunting
  1. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama voi