Kapribaden Upasana

Cabang Aliran Kepercayaan Kejawen
(Dialihkan dari Kapribaden upasana)


Kapribaden Upasana adalah Organisasi yang didirikan oleh Ramanda Semang Soma Dihardja, di Jember, Jawa Timur, pada tanggal 13 Oktober 1950. Organisasi tersebut awal mulanya bernama Kelompok Upasana yang mempunyai beberapa Tujuan, Lambang dan Struktur Organisasi. Kapribaden berarti insan yang mawas diri, penuh tenggang rasa, dan sadar bahwa dirinya sebagai pelaku hidup dan mau bertindak meresapi karunia.

Tujuan Organisasi

sunting
  1. Untuk pembinaan moral dalam rangka penyempurnaan hati nurani yang murni ke arah kesadaran atau keluhuran budi dengan melaksanakan bakti diiringi dengan mawas diri, mulat sariro, dan membendung prakarsa yang bersifat merugikan orang lain;
  2. Melakukan bimbingan terhadap keluarga untuk menciptakan suatu stabilitas hubungan antara sesama dengan saling menghormati dan saling pengertian;
  3. Memberikan bantuan kejiwaan bagi yang mengalami keresahan dan kejiwaan.[1]

Lambang Organisasi

sunting
  1. Gambar merak ngigel yang mengandung makna pancaran cahaya Budaya Spiritual;
  2. Gambar insan duduk bersila menghadap, mengibaratkan keheningan dengan didepannya tersimpuh kuncup bunga;. Hal ini berarti bahwa pernyataan keheningan dalam menembah senantiasa harus menyadari adanya kendali hidup;
  3. Landasan prasasti yang bertuliskan Sastra Darya Jaya Dwipa, mengandung makna dasar penghayatan;
  4. Sastra sandi, yang pertama mengandung pengertian purwa madya wasana Sangkan paraning Dumadi.[2] Makna dari sastra sandi yang pertama ini adalah bahwa keberadaan, kehadiran, dan kepergian pengendali hidup itu manunggal pada diri pribadi.[3]

Struktur Organisasi

sunting

Pinisepuh : Ibu Darmo Setiawan

Ketua : Buchori Kamarudin

Aktivitas

sunting

Dalam melakukan perilaku spiritual, warga Kapribaden Upasana dapat melaksanakannya dengan duduk di kursi maupun di atas tanah yang diberi alas. Jika duduk di atas kursi, sikap tubuhnya biasa tangan kiri di sebelahkiri tangan kanan di sebelah tubuh sebelah kanan-leher tidak tegang dan tubuh bersandar. Jika duduk di tanah, tanah harus diberi alas yang bersih, posisi tubuh bersandar dengan kaki bersila tetapi tidak saling bersilangan.

Rujukan

sunting
  1. ^ "Indonesia and the Malay World". Taylor & Francis (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-10-12. 
  2. ^ Himpunan pitutur luhur. Indonesia. Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. (edisi ke-Cet. 2). Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 2007. ISBN 9789791607179. OCLC 455426750. 
  3. ^ Ensiklopedi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Indonesia. Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. [Jakarta]: Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 2006. ISBN 9789791607117. OCLC 424338489.