Karun di desa Atakore yang terkenal sebagai dapur alam di selatan pulau Lembata memiliki legenda dan ritual budaya yang dipelihara serta berlangsung turun-temurun. Suku Wawin dan suku Puhun mempunyai otoritas memelihara serta memimpin upacara di Karun.

Karun, kawasan panas bumi yang terletak di luar kampung Watuwawer, desa Atakore, kecamatan Atadei, kabupaten Lembata - NTT.[1] Kawah gunung berapi itu difungsikan oleh penduduk seperti dapur untuk memasak makanan, sehingga disebut juga dapur alam. Nama karun berasal dari nama isteri kepala kampung Mudagedo yang bernama Kara, nama itu diabadikan untuk nama kawasan panas bumi yang ada di tempat itu. Kara nama orang bergeser menjadi kegiatan memasak makanan dalam perut bumi dengan proses ditaruh di dalam lubang lalu ditutup menggunakan rumput dan dedaunan. Proses itu disebut 'tarung' proses dari perbuatan menaruh di dalam lubang, Sedangkan bahan makanan yang telah matang dinamakan narung. Misalnya singkong yang sudah dimasak di karun, disebut hure narungei. Begitu juga untuk bahan makanan yang lain, nama bahan disebutkan lalu disusul kata 'narung' sebagai prose yang menjadikannya matang,[2]

Legenda Mudagedo

sunting

Nama isteri kepala kampung yang lalu diabadikan menjadi nama kawah gunung berapi, berawal dari kisah terjadinya bencana yang menghancurkan dan memusnahkan kampung Mudagedo serta sebagian besar penduduk. Kampung Mudagedo bertetangga dengan Lewopuho, kampung paling dekat di sebelah timur, dan kampung Waiwejak yang letaknya agak jauh ke barat. Ketiga kampung yang berdampingan itu penduduknya hidup rukun.[1]

Pada suatu waktu terjadi kesepakatan untuk mengadakan tandak atau hamang bersama-sama pada malam hari. Kampung Mudagedo yang berada di tengah antara ketiga kampung itu, menjadi tempat penyelenggaraan hiburan itu. Karena kesenian tandak atau hamang merupakan kesenian yang istimewa dan sesewaktu baru diadakan, maka diharapkan semua peserta yang turut dalam pertunjukan wajib mengenakan pakaian adat serta aksesoris perhiasan, seperti gelang, kalung, rame, dan giwang atau anting-anting bagi wanita. Sedangkan laki-laki mengenakan topi berupa kain selempang yang diikat di kepala atau perhiasan kepada dari daun kelapa muda yang dihiasi dengan bulu ayam.[1]

Pada malam itu sebagian orang dari Waiwejak dan Lewopuho sudah berdatangan bergabung dengan sebagian wara Mudagedo di lapangan kampung. Suasana lembah yang sejuk di kaki bukit itu menjadi ramai oleh nyanyian tandak/hamang diiringi hentakan kaki berirama dan bunyi gendang serta giring-giring. Ibu Kara, isteri bapak Nuba kepala kampung juga menghias diri untuk tejun dalam kemeriahan malam itu dengan penerangan damir.[3]

Damir yaitu biji jarak yang ditumbuk campur dengan kapas sampai menjadi adonan kental lalu dililitkan pada sebatang lidi dan digunakan sebagai lampu penerangan. Damir yang berbentuk lidi gemuk itu disampirkan pada dinding dengan posisi miring, agar api tidak merambat ke dinding dan membakar seisi rumah. Ibu Kara membasuh muka dan membasahi rambutnya dengan air pada sebuah kelau yang diletakan di tanah dekat damir yang sedang menyala itu.[3]

Ketika nyala damir semakin panjang, ujungnya menjadi arang, ibu Kara secara reflek mematahkan ujung arang (dami kepun) itu ke tanah, tetapi jatuh persis di dalam kelau berisi air. Arang damir yang masih berapi berpadu dengan santan kelapa dalam kelau itu meledak hebat, menimbulkan kegaduhan serta kepanikan.[3]

Bumi berguncang hebat, tanah bergetar puluhan warga yang ada di tengah lapangan tenggelam terkubur dalam lumpur panas, tetapi ada sebagian yang luput dan melarikan diri, menyingkir dari bencana itu. Penduduk Lewopuho lari ke timur dan menetap di kampung Lewokoba yang terletak di atas bukit. Bapa Nuba dan ibu Kara serta sebagian penduduk Mudagedo lari ke selatan dan menetap di bukit. Bukit itu kemudian dinamakan Nubawoloi, yang artinya Bukit Nuba. Tetapi kemudian mereka masih merasa terancam dan pindah lagi ke selatan dan menetap di tempat yang juga juga sebuah bukit kemudian dinamakan Nuba. Para pengikut bapa Nuba menetap di dataran yang dinamakan Kore.[2]

Penduduk yang selamat mengenang peristiwa bencana Mudagedo, dengan korban di dalam lumpur panas yang tampak seperti babi dan batu lalu nama Watuwawer dipakai menjadi nama kampung. Nama itu berasal dari dua kata yaitu batu dan babi, dan wawin mereka jadikan sebagai nama suku mereka. Ketika ada peraturan pembentukan desa gaya baru untuk kampung maka nama Atakore ditentukan menjadi nama desa untuk kampung Watuwawer.[2]

Kedua bukit, Nuba woloi dan Nuba yang ada dalam kampung Watuwawer berkaitan dengan peristiwa bencana Mudagedo yaitu Karun, dan berabad-abad kedua tampat itu dibiarkan sebagai hutan keramat bersejarah. Namun pada era reformasi Nuba Woloi dibabat dan dijadikan ladang oleh penduduk.[2]

Ritual Budaya di Karun

sunting

Di dapur alam Karun ada ritual tahunan, yaitu "Taru kwar" - ritual pembukaan memasak jagung muda di dapur alam pada awal masa panen jagung yang dipimpin kepala Suku Wawin dari Watuwawer. Dan kepala suku Puhun (Lewopuho) dari Lewokoba. Ritual itu sudah didahului melalui beberapa pantangan tindakan yang bila dilanggar akan terjadi angin badai yang menghancurkan ladang jagung.[2]

  1. ^ a b c "tenun.ikat.lamaholot.yang.bernilai.adat". Tenun Ikat Lamaholot yang Bernilai Adat. Lifestyle.Kompas.com. 26/04/2011. Diakses tanggal 30/03/2019. 
  2. ^ a b c d e "Energi Panas Bumi di Lembata". Energi Panas Bumi. AKSI. 02/10/2017. Diakses tanggal 12/3/2019.  [pranala nonaktif permanen]
  3. ^ a b c R. Megumi, Sarah (21 April 2017). "Tanaman Jarak". tanaman-jarak-biofuel-gagal-berkembang. Greeners.co. Diakses tanggal 12/3/2019.