Kassian Cephas

pelopor fotografi Indonesia

Kassian Cephas (15 Januari 1845 – 16 November 1912) merupakan fotografer pribumi Jawa yang berasal dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Ia merupakan fotografer profesional pertama dari Indonesia dan magang di bawah bimbingan Hamengkubuwana VI (bertakhta 1855–1877). Setelah menjadi fotografer Kesultanan pada awal 1871, ia memulai bekerja sebagai fotografer potret keluarga Kesultanan, dan didokumentasikan oleh Persatuan Arkeologi Hindia Belanda (Archaeologische Vereeniging). Cephas turut berkontribusi melestarikan budaya Jawa melalui keanggotaannya di KITLV dan mendapat penghargaan medali emas kehormatan dari Orde van Oranje-Nassau. Cephas dan istrinya Dina Rakijah memiliki empat anak. Putra pertamanya, Sem Cephas, meneruskan bisnis fotografi ayahnya hingga meninggal tahun 1918.

Kassian Cephas
Kassian Cephas.
LahirKassian
(1845-01-15)15 Januari 1845
Hindia Belanda Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Hindia Belanda
Meninggal16 November 1912(1912-11-16) (umur 67)
Hindia Belanda Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Hindia Belanda
Dikenal atasFotografi

Kehidupan awal sunting

Kassian Cephas lahir di Yogyakarta dari pasangan Kartodrono dan Minah.[1] Semasa muda, Cephas menjadi murid dari seorang misionaris Protestan Christina Petronella Philips-Steven dan ikut dengannya ke Bagelen, Purworejo. Ia dibaptis di Bagelen tanggal 27 Desember 1860 pada umur 15 tahun dan menggunakan nama Cephas, nama dalam bahasa Aram dari Santo Petrus, sebagai nama baptisnya. Ia menggunakan nama Cephas sebagai nama keluarganya setelah dibaptis.[2]

Karier fotografi sunting

 
Foto Taman Sari Yogyakarta karya Cephas.

Setelah kembali ke Yogyakarta pada awal 1860-an, Cephas mulai menjalani magang di bawah Simon Willem Camerik, anggota Schutterij dan fotografer Kraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Magang Cephas dilaksanakan di bawah bimbingan Sultan Hamengkubuwana VI, yang juga menghargai bakat fotografinya. Ia terpilih menjadi pelukis dan fotografer Kraton pada tahun 1871.[3]

Studio foto Cephas bertempat di lantai 2 bangunan rumah tempat ia dan istrinya tinggal di Lodji Ketjil Wetan, sekarang Jalan Mayor Suryotomo. Bisnis fotografinya bukan satu-satunya yang didirikan di kawasan tersebut pada masa itu.[4] Selain potret, Cephas juga memotret bangunan dan struktur yang berdiri saat itu, termasuk Taman Sari (1884) untuk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.[5]

Karier profesional sunting

Karyanya dipamerkan kepada masyarakat tahun 1888 pada publikasi In den Kedaton te Jogjåkartå oleh Isaäc Groneman. Buku ini memasukkan 16 karya cetak datar collotype yang memuat tarian Hindu Jawa. Groneman berharap untuk membangkitkan minat budaya Jawa kepada Belanda dan meminta izin dari Hamengkubuwana VII kepada Cephas untuk memotret adegan tarian. Aslinya publikasi ini disediakan oleh KITLV, tetapi mahalnya biaya cetak collotype memaksa lembaga tersebut untuk meninggalkannya. Seiring kemajuan teknologi fotografi, Cephas membeli kamera baru tahun 1886 yang memungkinkannya memotret 1/400 kali dalam satu detik. Diharapkan subjek foto dapat segera dipotret daripada menunggu lama.[6] Terkadang foto-foto tersebut dipamerkan sebagai tanda perpisahan kepada kalangan elite European ketika meninggalkan Yogyakarta untuk kembali ke Eropa dan kepada pegawai Belanda.[7]

Pada tahun 1889, Archaeologische Vereeniging mulai berupaya untuk mempelajari dan melestarikan monumen dan bangunan bersejarah pada masa Hindu-Buddha Central Java. Salah satu lokasi yang paling diutamakan adalah Candi Prambanan, sebuah kompleks percandian yang kerap dihubungkan dengan legenda Rara Jonggrang. Cephas ditunjuk sebagai fotografer pemotret situs bersejarah itu, ketika anaknya Sem Cephas menggambar penampang bangunan dan denah tata letak kompleks. Groneman menyerahkan foto dan deskripsi yang dibuat oleh Cephas ke KITLV tahun 1891, tetapi tidak dipublikasikan hingga 1893 karena mahalnya biaya cetak ulang. Publikasi terakhir memuat 62 karya cetak collotype Candi Prambanan dan sekitarnya.[7]

 
Cephas mempelajari stupa perwara Borobudur, 1890.

Cephas juga dipercaya dengan karya potretnya di kompleks Candi Borobudur setelah bagian Relief Karmawibhangga yang tersembunyi ditemukan tahun 1885 oleh ketua persatuan tersebut. Dibuka tahun 1890 untuk dipotret, kemudian ditutup lagi tahun 1891. Karena Cephas hanya menerima sepertiga subsidi pemerintah, ia tidak dapat menyelesaikan target jumlah foto Karmawibhangga tersebut, yakni hingga 300 foto. Tiap plat film membutuhkan 30 menit untuk mengembang dengan gelatin kering, sehingga totalnya menjadi 150 jam. Secara keseluruhan, hanya 160 panil relief telah dipotret, dan empat foto tambahannya dibuat untuk menjelaskan gambaran umum situs tersebut. Foto-foto tersebut dipublikasikan 30 tahun kemudian oleh KITLV sebagai koleksi cetak collotype.[7]

Penghargaan internasional sunting

 
Foto udara Benteng Vredeburg.

Setelah menyelesaikan proyek Karmawibhangga Borobudur, Cephas ditunjuk sebagai anggota luar biasa Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen atas hasil pekerjaannya sebagai "fotografer dan praktisi arkeologi Hindia".[8] Beberapa tahun kemudian, ia dicalonkan sebagai anggota KITLV sebagai penghargaan dari hasil kerjanya dengan Archaeologische Vereeniging. Cephas menerima pencalonan itu dalam sebuah surat tertanggal 15 Juni 1896. Tahun berikutnya, ia memotret kunjungan Raja Thailand Chulalongkorn ke Yogyakarta.[9] Sebagai ungkapan terima kasih, raja Thailand menghadiahkannya sebuah kotak berisi tiga kancing dari batu permata.[10]

Groneman dan Cephas terakhir bekerja bersama-sama pada 1899 untuk mendokumentasikan peringatan pengangkatan Hamengkunegara III sebagai Putra Mahkota Kesultanan. Persiapan acara dilangsungkan selama satu setengah tahun, dan pertunjukan selama empat hari menyedot perhatian dari 23.000 hingga 36.000 orang. Sebuah buku beludru biru bersampul emas dan berlian berisi foto-foto pertunjukan itu dihadiahkan pada saat pernikahan Ratu Wilhelmina dan Pangeran Hendrik dari Belanda pada tahun 1901. Pada saat ulang tahun Ratu Wilhelmina ke-21, setahun sesudahnya, Cephas berhasil mendapatkan medali emas kehormatan dari Ordo van Oranje-Nassau atas jasa-jasanya dalam memotret dan melestarikan budaya Jawa.[10]

Kematian sunting

Cephas pensiun dari fotografi pada usia sekitar 60 tahun. Hampir setahun setelah istrinya wafat pada tanggal 16 September 1911, ia wafat pada usia 67 tahun karena sakit. Perusahaan fotografi keluarganya akhirnya tutup beberapa tahun kemudian ketika Sem Cephas meninggal pada tanggal 20 Maret 1918 karena kecelakaan berkuda. Mereka semua dimakamkan di Yogyakarta di antara Pasar Beringharjo dan Lodji Ketjil.[11] Makamnya kemudian dipindah ke makam Sasanalaya blok JJ no 47 dan sekarang menjadi blok H, timur Jalan Brigjend Katamso pada tahun 1964 atau tepat nya berada di Jl. Ireda, karena akan dibangun bangunan baru.[12] Walaupun Cephas dan anaknya ditetapkan sebagai fotografer kraton, Cephas adalah yang terpenting dan yang orang Jawa pertama (dan fotografer pribumi pertama) yang menjadi fotografer profesional.[13]

Kehidupan pribadi sunting

Cephas menikah dengan Dina Rakijah (lahir tahun 1846), seorang wanita Kristen Jawa dan anak Soerobangso dan Rad Rakemah, di sebuah gereja di Yogyakarta pada tanggl 22 Januari 1866.[2] Anak-anaknya: Naomi (lahir 28 Juni 1866), Sem (lahir 15 Maret 1870), Fares (lahir 30 Januari 1872), dan Jozef (lahir 4 Juli 1881). Keduanya juga memiliki anak bernama Jacob yang lahir tahun 1868, tetapi kemudian meninggal pada tahun yang sama. Naomi menikah dengan Christiaan Beem tahun 1882, dan memiliki 13 anak, delapan di antaranya tumbuh hingga dewasa. Putra pertamanya Sem Cephas menjadi fotografer dan pelukis di studio ayahnya.[4]

Galeri sunting

Lihat pula sunting

 
Céphas di dalam Candi Mendut.

Catatan kaki sunting

  1. ^ (Guillot 1981, hlm. 61) menulis bahwa tanggal 15 Februari 1844 sebagai tanggal kelahiran Cephas, dengan mengutip akta pembaptisan. (Knaap 1999, hlm. 5) membantah bahwa tanggal tersebut salah, sebagaimana pada batu nisannya tertulis 15 Januari 1845. Iklan duka kematiannya tahun 1912 menampilkan bahwa Chepas wafat pada umur 67 tahun.
  2. ^ a b Knaap 1999, hlm. 6
  3. ^ Knaap 1999, hlm. 7
  4. ^ a b Knaap 1999, hlm. 8
  5. ^ Knaap 1999, hlm. 10
  6. ^ Knaap 1999, hlm. 15
  7. ^ a b c Knaap 1999, hlm. 16
  8. ^ Knaap 1999, hlm. 17
  9. ^ Knaap 1999, hlm. 18
  10. ^ a b Knaap 1999, hlm. 20
  11. ^ Knaap 1999, hlm. 21–22
  12. ^ Knaap 1999, hlm. 23
  13. ^ Knaap 1999, hlm. 1

Referensi sunting

Pranala luar sunting