Katu, Lore Tengah, Poso
Katu adalah sebuah desa di kecamatan Lore Tengah, Poso, Sulawesi Tengah, Indonesia. Katu bermakna sebagai tempat akhir bagi sebagian komunitas Behoa yang menjadi korban kolonialisme Belanda di dataran tinggi Poso pada 1908. Pada tahun 2023 penduduk desa Katu telah mencapai 537 jiwa atau 126 Kepala Keluarga.
Desa Katu | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Sulawesi Tengah | ||||
Kabupaten | Poso | ||||
Kecamatan | Lore Tengah | ||||
Kode pos | 94656 | ||||
Kode Kemendagri | 72.02.08.2006 | ||||
Kode BPS | 7204041008 | ||||
Luas | 5.461,3 hektar | ||||
Jumlah penduduk | 537 jiwa | ||||
Jumlah RT | 6 | ||||
Jumlah KK | 126 | ||||
Situs web | - | ||||
|
Sejarah Singkat
suntingMasyarakat Katu atau yang dikenal dengan masyarakat adat Katu memiliki sejarah pelik terkait keberadaan mereka. Pemerintah kolonial Belanda beberapa kali memindahkan mereka secara paksa. Ketika perang dunia ke-II meledak Tentara Jepang mempekerjakan mereka secara paksa hingga awal pemerintahan Orde Lama.
Masyarakat adat Katu merupakan salah satu suku di Sulawesi Tengah yang mendiami sebagian kecil kawasan hutan Taman Nasional Lore Kalamanta (saat ini berubah nama menjadi Taman Nasional Lore Lindu). Mereka dikenal sebagai etnis Behoa. Etnolog Swedia Walter Kaudern, mengklasifikasikan mereka sebagai subsuku Koro-Toraja. A.C. Kruyt dan Nicolaus Adriani menyatakan, bahwa Behoa merupakan subsuku Poso-Toraja. Kruyt meyakini bahwa suku ini berasal dari Napu, arah utara dari wilayah yang mereka tempati saat ini, meskipun teori ini tidak dijelaskannya secara komprehensif.
Pada tahun 1910-1918 masyarakat adat Katu tinggal di lereng-lereng gunung tempat mereka berladang. Kala itu mereka hidup berpindah-pindah sesuai dengan siklus ladang di sekitar Mapohi dan Parabu. Masyarakat adat Katu tidak membentuk perkampungan yang menetap mereka tinggal berdasarkan rotasi pertanian ladang (Manu 16, -20-21). Kehadiran pemerintah Belanda pada 1918 di lereng-lereng gunung tempat mereka berladang menjadi awal terbentuknya perkampungan baru. Pemerintah Belanda memaksa mereka pindah dari bukit-bukit dengan cara membakar ladang dan membawa mereka turun ke lembah Behoa (Manu 16, 1-2) Pemerintah Belanda membawa mereka untuk membentuk perkampungan baru di sekitar Bariri dan Hanggira. Tujuannya agar Belanda dapat menarik pajak dan memperkenalkan mereka dengan pertanian lahan basah (sawah). Selama di perkampungan baru pemerintah Belanda tidak memperkenankan pembukaan hutan untuk berladang karena dianggap tidak efektif dan cenderung merusak hutan (Manu 16, 20-21).
Selama tinggal di perkampungan baru, orang Katu kesulitan karena tidak terbiasa dengan pertanian lahan basah. Sehingga pada tahun 1925 kepala suku orang Katu menemui Raja Kabo di Desa Wanga selaku perpanjangan tangan Belanda untuk memohon agar mereka dapat kembali ke bukit dengan alasan agar mereka mudah membayar pajak (blasting) kepada pemerintah Belanda (D'Andrea 2023, 4). Seperti diketahui, wilayah Napu telah ditaklukkan oleh Belanda pada tahun 1905 oleh Letnan Voskuil (lihat Kruyt, 1975:184). Agar raja Kabo mengabulkan permohonan mereka, kepala suku orang Katu berjanji kepada raja Kabo bahwa mereka akan menaman Kopi dan mengumpulkan getah damar untuk diberikan kepada Belanda.
Raja Kabo akhirnya memenuhi permintaan orang Katu untuk kembali pindah di lereng gunung. Pada akhirnya mereka membentuk perkampungan baru di sekitar sungai Piri. Pada 1928, raja Kabo bersama J.W. Wesseldijk meresmikan pemukiman baru orang Katu dan mendirikan sekolah misionaris Protestan dan kepala kampung pertama bernama Marato (D'Andrea 2003, 3-4). Tidak lama setelah Katu resmi menjadi perkampungan, penduduk dari Behoa Ngamba berdatangan bahkan dengan jumlah yang besar untuk tinggal bersama orang Katu.
Pada awal tahun 1949, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) memindahkan penduduk yang tinggal diperbukitan termasuk kampung Katu. Kampung Katu menjadi salah satu tempat yang diluluhlantakkan TKR melawan pasukan Letkol. Kahar Muzakar. Selama perang penduduk Katu ditempatkan bersama penduduk lain di tempat pengungsian. Selama periode ini penduduk Katu mengalami kelaparan, musibah ini membuat mereka kembali dipindahkan ketempat baru yakni Bangkeluho. Selama mereka tinggal di Bangkeluho orang Katu justru mengalami penderitaan yang lebih rumit terutama sulitnya menemukan kayu untuk membangun rumah dan peralatan rumah tangga lainnya. Mereka juga sering berkonflik dengan orang Bariri yang lebih dulu menempati wilayah itu. Meski demikian, orang Katu sempat tinggal beberapa tahun di Bangkeluho. Kondisi yang rumit ini, membuat mereka tidak bertahan lama sehingga pada akhir tahun 1959 orang Katu kembali ke perkampungan lama dipimpin oleh Humpui Torae. Namun perpindahan ini tidak mendapat restu dari Kepala Distrik bernama M. Bago dengan alasan bahwa saat itu Permesta menguasai dataran tinggi membuat Humpui Torae dilaporkan kepada Mayor Garungan. Atas laporan tersebut, Humpui Torae menemui Mayor Garungan dan menjelaskan kesulitan-kesulitan yang dihadapi orang Katu selama tinggal di perkampungan Bangkeluho. Pada akhirnya orang Katu mendapat restu dari Mayor Garungan untuk kembali dan tinggal di perkampungan Katu (Manu 2016, 22).
Raja Gembu dan Kepala Distrik M. Bago datang ke Katu membuat upacara resmi orang Katu tetap tinggal di Katu. Upacara tersebut ditandai dengan penanaman pohon beringin dan sumpah (totowi) agar orang Katu tetap berada di sana. Sejak itu, orang Katu tetap tinggal di sana hingga saat ini.
Ketika pindah ke Katu Humpui Torae juga mengajak para pengungsi dari suku Rampi di Sulawesi Selatan yang terpaksa bermukim di Behoa Ngamba karena peristiwa DI/TII. Orang-orang ini kemudian membangun desa di sebelah desa Katu dengan nama Desa Dodolo.
Pada tahun 1985 proyek Konservasi Lore Lindu bermaksud memindahkan masyarakat Katu yang ketiga kalinya, tapi masyarakat sudah sepakat dan kembali mengeluarkan sumpah “Iheana Tauna Toi Katu To Barani Mopelahi Wanua Katu, Ina Nadampangi Daana Nunu Dee.'' (Barang siapa orang Katu yang berani meninggalkan desanya akan ditindis dahan-dahan beringin yang sedang rimbun dan mendapatkan Bala dalam kehidupannya). Pada tahun 1989, orang Dodolo berhasil dipindahkan ke antara Desa Wanga dan Desa Kaduwaa.
Katu dan Agenda Konservasi Dunia
suntingPada 1970-an, Katu menarik perhatian komunitas konservasi internasional karena ekologinya yang unik. Para konservasionis menyatakan terdapat 98 persen mamalia dan 27 persen unggas terdapat di Katu. (Daws dan Fujita 1999:87).[1] Flora dan fauna unik yang ditemukan di Sulawesi, atau Celebes, pertama kali dicatat oleh Alfred Russell Wallace pada tahun 1950-an. Sejak saat itu penduduk Katu mulai berurusan dengan Suaka Alam. Tahun 1982, pada Kongres Taman Nasional Dunia, diusulkan perluasan Taman Nasional ke arah utara mencakup seluruh daerah aliran sungai besar di wilayah Sulawesi Tengah. Katu adalah satu di antara ratusan desa lainnya yang masuk dalam kawasan tersebut. Sepanjang tahun 1980-an, pemerintah Indonesia mulai mengusulkan pemindahan penduduk Katu, karena dianggap berada di dalam kawasan Taman Nasional yang baru ditetapkan. Tahun 1989, tetangga orang Katu, pengungsi Rampi dari Dodolo, berhasil dipindahkan di dekat lembah, tetapi Katu menolak. Tahun 1993, ketika wilayah tersebut diresmikan sebagai Taman Nasional, Katu dipindahkan tujuh kilometer di lingkar dalam bagian tenggara Taman Nasional yang baru, tetapi Katu tetap menolak. Proyek ini mendapat pendanaan khusus dari Asian Development Bank (ADB), pada saat itu petani Katu berjumlah 67 rumah tangga dan berjumlah 210 jiwa. Perjuangan panjang orang Katu akhirnya berhasil, pada 1999, Yulianto Laban Banjar, Kepala Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL) mengeluarkan surat keputusan yang secara formal mengakui klaim adat Katu di dalam Taman Nasional. Keputusan ini mendapat banyak dukungan dari Direktorat Jenderal Pelestarian Hutan dan Perlindungan Alam, Departemen Kehutanan dan juga para aktivis lingkungan dan Hak Asasi Manusia.[2]
Keadaan Geografi
suntingLetak Geografi
Desa Katu terletak pada koordinat 01°35'19,00 (LS) dan 120°25'26,8 (Bujur Timur). Berada pada ketinggian 1.100 M di atas permukaan laut (dpl) dan dikelilingi hutan.
Orbitrasi
Jarak orbitrasi atau pusat pemerintahan dari Desa Katu adalah sebagai berikut:
- Jarak dari pusat pemerintahan Kecamatan (Lore Tengah): 26 Km.
- Jarak dari pusat pemerintah Kabupaten (Poso): 351 km
- Jarak dari pusat pemerintahan Provinsi (Kota Palu): 140 Km
Batas wilayah
Batas wilayah administrasi Desa Katu sebagai berikut:
- Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Lindu
- Sebelah selatan berbatasan dengan Ngamba Behoa
- Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Kulawi
- Sebelah timur berbatasan dengan Desa Rompo
Luas Wilayah
Luas wilayah pemanfaatan Desa Katu yakni seluas 1.178 hektare.
Keadaan Demografi
suntingJumlah Penduduk
Jumlah Penduduk 2015 | ||||
---|---|---|---|---|
Lingkungan | Laki-laki | Perempuan | Jumlah | Jumlah KK |
Desa Katu | 244 | 259 | 503 | 121 |
Sumber: Kantor Desa Katu 2015 |
Keadaan Sosial Ekonomi
suntingMata Pencaharian
Penduduk Desa Katu mempunyai mata pencaharian utama sebagai petani dan tergantung pada hasil hutan dengan menanam padi sawah, padi ladang, palawija, seperti: sayur-sayuran, jagung, kacang-kacangan, ubi-ubian, rica, tomat dan lain-lain, yang ditanam untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan dijual ke pasar lokal. Selain itu, masyarakat mengusahakan kebun tanaman tahunan, seperti: kakao, kopi, kemiri, pisang, vanili dan buah-buahan (alpukat, nangka dan durian). Kebun tanaman tahunan kakao, vanili, durian dan kemiri masih baru ditanam sekitar tahun 2000.
Mata Pencaharian Penduduk Desa Katu 2015 | |
---|---|
Mata Pencaharian | Jumlah (Jiwa) |
PNS | 4 |
TNI | - |
POLRI | - |
Wiraswasta | - |
Petani | 489 |
Pedagang | 5 |
Pertukangan | 5 |
Pengelolaan Pertanian dan Perkebunan
- Kegiatan perladangan (mohinoe) sudah dilakukan turun temurun dengan berbagai jenis tanaman padi ladang. Setiap Orang Katu mempunyai pengetahuan dan tehnik mohinoe, yang dilakukan secara turun temurun dan diwariskan, hasilnya hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga dan tidak dijual. Luas lahan hinoe tidak mengalami pertambahan, bahkan Orang Katu tidak melakukan kegiatan mohinoe secara berkala sejak tahun 2010 dikarenakan perubahan iklim yang terjadi sepanjang tahun dan pengalihan kegiatan masyarakat pada kegiatan mengolah sawah (mobonde), pertanian palawija dan tanaman tahunan. Lahan-lahan ladang padi yang sudah ditumbuhi semak belukar (holu) dan menjadi hutan muda (lopolehe) biasanya dialihkan dan dimanfaatkan untuk lahan pertanian palawija dan tanaman tahunan.
- Kegiatan pengolahan tanah untuk sawah (mobonde) mengalami peningkatan berarti dari segi luas lahan. Setiap kepala keluarga dan pemuda (utamanya laki-laki) di Desa Katu diharuskan untuk memiliki lahan persawahan. Diperkirakan luas lahan pertanian sawah di Katu yang secara intensif terus menerus dikelola sekitar 86 Hektar. Sistem pengelolaan masih campuran dengan menggunakan mesin traktor pengolah tanah dan tenaga manusia sejak pengolahan tanah hingga panen, terkadang menggunakan tenaga kerja sewa dan juga sistem ‘palus’ atau yang bisanya juga disebut "moparatei" gotong royong yang dikelola satu sampai dua kali dalam satu tahun. Hasil padi sawah digunakan untuk sumber pangan keluarga dan dijual. Harga lokal padi sawah sebesar Rp. 11.000 per kg.
- Kegiatan perkebunan tanaman tahunan di Katu mengalami peningkatan berarti. Setiap warga pemuda dan kepala keluarga diharuskan untuk memiliki lahan perkebunan dan tanaman tahunan. Lahan tanaman tahunan diperoleh dan bersumber dari lahan bekas ladang (holu) dan hutan bekas ladang. Diperkirakan luas lahan perkebunan tanaman tahunan sebanyak 150 hektar. Sistem pengelolaannya masih sederhana berdasarkan pengetahuan dan pengalaman masyarakat, mulai dari pembukaan dan pemilihan lahan, penanaman, perawatan hingga pemanenan. Tanaman tahunan yang diprioritaskan adalah tanaman jangka panjang yang mempunyai nilai ekonomi, utamanya tanaman Cokelat atau Kakao. Tanaman jangka panjang yang sudah sejak lama ditanami masyarakat adalah tanaman Kopi. Tanaman jangka panjang lainnya adalah buah-buahan, seperti: rambutan, durian, jeruk, kelapa, nira dan lain-lain, serta tanaman pohon kemiri yang baru ditanam disekitar kebun. Hasil biji cokelat merupakan sumber pendapatan masyarakat saat ini. Pengolahan biji cokelat masih dilakukan dengan cara sederhana, mulai dari panen dan penjemuran dengan sinar matahari dan disimpan dalam karung plastik. Pemasaran biji cokelat hanya dilakukan pada pengumpul dan pembeli di dalam kampung.
- Kebun tanaman palawija dan campuran tumpang sari lainnya; kegiatan pada kebun palawija dimulai sejak pengolahan lahan ladang padi (mohinoe) dan jagung (go’a, bahasa lokal Katu). Lahan disekitar hinoe ditanami berbagai jenis tanaman sayur-sayuran, ubi-ubian, kacang-kacangan, cabai, tomat, daun bawang, pohon pisang, buah nanas, dan sebagainya. Luas lahan kebun palawija dan tanaman campuran lainnya tergantung pada luasnya hinoe dan intensitas pengelolahan lahan kebun palawija. Hasil kebun palawija dan tanaman campuran untuk pemenuhan kebutuhan makanan warga dan dijual. Tanaman palawija yang dijual dan menjadi perhatian masyarakat pada saat ini adalah jagung. Bahkan hasil tanaman jagung dapat mendongkrak pendapatan ekonomi keluarga di Katu sejak 2021.
Pengelolaan Hasil Hutan
Hasil Hutan Kayu; pengelolaan hasil hutan kayu hanya diperuntukkan untuk tujuan pemenuhan bahan untuk pembuatan rumah dan bangunan umum lainnya, peralatan rumah tangga, pembangunan jembatan dan pagar kebun, serta kayu bakar dari kayu kering yang telah roboh. Penduduk Katu memiliki komitmen, antara lain:
- Hasil hutan kayu tidak boleh diperjual belikan.
- Penebangan dan pengambilan kayu untuk bahan bangunan tidak boleh dilakukan sembarang tempat dan pinggiran daerah aliran sungai.
- Penduduk dari luar Katu tidak boleh mengambil dan menebang kayu di wilayah Katu.
Hasil Hutan Bukan Kayu; pengelolaan hasil hutan bukan kayu bertujuan untuk dijual dan pemenuhan bahan keperluan rumah tangga dan kegiatan sehari-hari. Kegiatan masyarakat dalam pengelolaan hasil hutan bukan kayu, antara lain: pengambilan hasil rotan (uwe), bambu, damar, gaharu dan ramuan obat-obatan tradisional.
- Pengelolaan dan pengambilan hasil hutan rotan sudah dilakukan sejak lama dalam bentuk rotan basah dengan ukuran tertentu yang dijual kepada pengumpul dan pembeli di kampung Katu dan di Desa Rompo. Rotan diperoleh dari kawasan hutan disekitar kampung (Lopolehe, Lopontua dan Pandulu). Pengambilan rotan pada tempat tertentu dilakukan secara teratur berpindah tempat dari tahun ke tahun, tidak terpusat pada sebuah kawasan tertentu. Pada tahun 2005, Pemerintah Desa Katu pernah merencanakan melakukan pemungutan uang untuk usaha hasil hutan rotan kepada setiap petani pengolah dan pengambil rotan sebagai penghasilan desa, dengan mempertimbangkan skala hasil dan waktu kegiatan mengambil rotan, berjumlah sebesar Rp. 10.000 per ton. Pungutan ini tidak pernah dilaksanakan dikarenakan kurangnya kegiatan masyarakat dalam pengambilan rotan.
- Pengambilan gaharu dan damar untuk tujuan dijual pernah dilakukan oleh warga Katu dan melibatkan orang luar untuk pencaharian gaharu, akan tetapi kegiatan ini sudah terhenti. Orang Katu tidak punya ketrampilan dalam mencari dan mengolah gaharu. Sedangkan pengambilan getah damar berkurang tidak diminati karena rendahnya harga dan pasar yang terbatas.
- Kesepakatan masyarakat Katu dalam pengelolaan hasil hutan kayu dan bukan kayu, antara lain:
- Pengelolaan gaharu tidak boleh lagi dilakukan karena hanya menguntungkan orang luar.
- Pengelolaan rotan mendapat pengawasan dari Lembaga Adat dan Pemerintah Desa Katu
- Tidak adanya kegiatan monitoring kesehatan dan kelestarian hutan sehingga tidak ada penilaian terhadap aktifitas masyarakat dan perubahan dan dampak lingkungan di wilayah Katu. Kegiatan ini pernah dilakukan dan kemudian tidak pernah dilakukan lagi. Karenanya diperlukan monitoring kembali dan evaluasi yang dilakukan enam bulan sekali dan setahun sekali, yang melibatkan masyarakat, taman nasional dan Lembaga Swadaya Masyarakat.
- Menjalin koordinasi dan kerjasama dengan pihak taman nasional dan pihak luar lainnya dalam pengelolaan hutan.
- Ada komitmen masyarakat dan pemerintah desa untuk penegakan aturan dan sangsi, serta kewajiban dalam membayar dana untuk pendapatan desa.
- Ada wadah di desa yang berperan di dalam dan luar masyarakat untuk mengawasi pengelolaan hasil hutan dan penegakkan hukum. Masyarakat menolak keberadaan Lembaga Konservasi Desa (LKD) seperti yang ada di desa lainnya, yang dianggap tidak berpihak dan tidak memperjuangkan kepentingan masyarakat.
- Pengambilan dan penebangan umbut rotan dan umbut enau (mobaru dungka) tidak diperbolehkan selama masa tertentu.
- Harus ada aturan yang jelas dalam pengelolaan hasil hutan dan ketegasan dalam pelaksanaan sangsi dan denda bagi warga Katu. Lembaga adat dan pemerintah desa.
Tingkat Kemiskinan
Meski penduduk Desa Katu mayoritas memiliki pekerjaan namun penduduknya tergolong miskin atau dibawah garis kemiskinan. Hal ini terlihat dari pendapatan dan pengeluaran rata-rata rumah tangga penduduknya yang hanya berkisar Rp.300.000 hingga Rp.500.000 per bulan. Selain pendapatan, tingkat pendidikan di desa Katu juga terbilang masih rendah. Pada tahun 2023 penduduk usia 17-19 tahun di Desa Katu yang melanjutkan sekolah menengah atas (SMA) hanya berjumlah 10 orang. Demikian pula penduduk usia 19-24 tahun yang melanjutkan jenjang perguruan tinggi hanya berjumlah 8 orang. Faktor utama penyebab minimnya tingkat pendidikan di Desa Katu disebabkan oleh faktor ekonomi dan pernikahan dini.
Kondisi Bangunan Rumah
Rata-rata penduduk Desa Katu telah memiliki rumah pribadi yang didominasi oleh bangunan rumah semi permanen. Sebagian diantaranya merupakan bantuan perumahan dari pemerintah yang diberikan kepada warga yang kurang mampu atau memiliki rumah tidak layak huni. Meski demikian masih banyak bangunan rumah yang belum memiliki jamban. Penduduk setempat biasanya menggunakan jamban di luar rumah yang bersifat sementara atau darurat.
Kepemilikan Kendaraan
Kepemilikan kendaraan roda dua di Desa Katu termasuk cukup tinggi. Pada 2023, penduduk yang memiliki kendaraan roda dua di Desa Katu berjumlah 56 orang. Selain kendaraan roda dua, terdapat 5 orang penduduk memiliki kendaraan roda empat. Hal ini kontras dengan tingkat pendapatan mayoritas penduduk Desa Katu yang hanya berkisar Rp.300.000 hingga Rp.500.000 per bulan.
Aksebilitas
Desa Katu hanya memiliki satu jalan utama berjarak 7 Km dari Desa Rompo. Jalan ini merupakan jalan satu-satunya untuk keluar atau masuk desa Katu. Pada tahun 1980-an hingga 2000-an awal jalan menuju desa Katu masih setapak. Penduduk setempat yang hendak berpergian keluar desa Katu menempuhnya dengan berjalan kaki atau menunggangi kuda (bahasa orang Behoa "mopateke"). Antara tahun 2004, 2005 jalan ke desa Katu mulai dibuka agar penduduk dapat melakukan kegiatan keluar Katu menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat. Namun pembukaan jalan tersebut hanya sampai pada pembentukan badan jalan. Sehingga untuk melaluinya masih cukup sulit karena jalannya yang berliku-liku, curam, berpasir dan berkerikil. Saat musim hujan beberapa titik jalan sering mengalami longsor dan berlumpur sehingga penduduk setempat sering menghidari perjalanan saat musim penghujan.
Salah satu hambatan pembukaan jalan ke desa Katu karena wilayah Katu berada dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu, selain karena anggaran yang dibutuhkan cukup besar.
Pemerintah Desa
suntingDaftar Kepala Desa Katu
No | Nama | Awal Menjabat | Akhir
Menjabat |
Keterangan |
---|---|---|---|---|
1. | Bilotu Toniri (Umana Timboka) | 1918 | 1923 | Kepala Kampung |
2. | Marato Manu (Umana Lampi) | 1923 | 1925 | Kepala Kampung |
3. | Makada Tandei (Umana Kalumba) | 1924 | 1927 | Kepala Kampung |
4. | Galo Ngkaro (Umana Kari) | 1927 | 1928 | Kepala Kampung |
5. | Ntumu Manu (Umana Rudo) | 1928 | 1929 | Kepala Kampung |
6. | Umbala Mentara(Umana Pihika) | 1929 | 1930 | Kepala Kampung |
7. | Rambai Mentara (Umana Kalanda) | 1930 | 1932 | Kepala Kampung |
8. | Ntembe Baona (Umana Luse) | 1932 | 1934 | Kepala Kampung |
9. | Makulu Pantoli (Umana Lajuku) | 1934 | 1960 | Kepala Kampung |
10. | Borosa Kapipi (Umana Salu) | 1960 | 1962 | Kepala Desa Defenitif |
11. | Humpui Torae (Umana Dema) | 1962 | 1969 | Kepala Kampung |
12. | Gane Bago (Umana Seri) | 1969 | 1977 | Kepala Desa Defenitif |
13. | Lison Rore (Umana Santi) | 1977 | 1983 | Kepala Desa Defenitif |
14. | Situ Pantoli (Umana Bentunu) | 1983 | 2002 | Kepala Desa Defenitif |
15. | Joni Pantoli (Umana Epi) | 2002 | 2007 | Kepala Desa Defenitif |
16. | Ali Pantoli (Umana Minu) | 2007 | 2013 | Kepala Desa Defenitif |
17. | Ferdinan Lumeno (Umana Linda) | 2014 | 2019 | Kepala Desa Defenitif |
18. | Kristiawan Winono (Umana Ekris) | 2019 | 2021 | Plt Kepala Desa |
19. | Henok Cugeno (Umana Enjel) | 2021 | Sedang menjabat | Kepala Desa Defenitif,
Pemenang Pilkades Desa Katu 2020 |
Daftar Sekretaris Desa Katu
No | Nama | Awal Menjabat | Akhir Menjabat | Keterangan | Referensi |
---|---|---|---|---|---|
1. | Joni Pantoli | 1986 | 2002 | ||
2. | Onesimus Lumeno | 2003 | Sedang menjabat |
Daftar Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
No. | Nama | Jabatan | Awal Menjabat | Akhir Menjabat | Keterangan |
---|---|---|---|---|---|
1. | Joni Pantoli | Katua | 2014 | Sedang menjabat | Defenitif |
2. | Demas Torae | Sekretaris | 2014 | Sedang menjabat | Defenitif |
3. | Imran Deta | Anggota | 2014 | Sedang menjabat | Defenitif |
4. | Arwin Marumpu | Anggota | 2014 | Sedang menjabat | Defenitif |
5. | Almafera Torae | Anggota | 2014 | Sedang menjabat | Defenitif |
Lembaga Adat
suntingDaftar Pengurus Lembaga Adat
No. | Nama | Jabatan | Keterangan |
---|---|---|---|
1. | Ali Pantoli | Ketua | |
2. | Wiranto Patimang | Sekretaris | |
3. | Hosea Manu | Anggota |
Referensi
sunting- ^ BeritaSatu.com. "Masyarakat Katu Tolak Pemancangan Tapal Batas TNLL". beritasatu.com. Diakses tanggal 2023-08-23.
- ^ "Masyarakat Katu Poso Minta Lepaskan Tanah Leluhur Seluas 8.565 Hektare dari Kawasan TNLL". Tribunpalu.com. Diakses tanggal 2023-08-23.