Kekejaman terhadap hewan
Kekejaman terhadap hewan (sering juga disebut sebagai kekerasan terhadap hewan dan penganiayaan terhadap hewan) adalah setiap tindakan manusia yang menyebabkan hewan nonmanusia menderita atau berada dalam keadaan bahaya. Tindakan ini identik dengan kesewenang-wenangan yang dilakukan manusia atas hewan. Ada beragam pandangan tentang batasan perilaku yang dianggap sebagai "kejam", baik menurut pandangan moral maupun menurut definisi dalam peraturan di berbagai negara.
Kekejaman terhadap hewan dapat terjadi dalam berbagai bentuk, baik perlakuan secara aktif seperti penganiayaan fisik, maupun perlakuan pasif seperti penelantaran dan pengabaian hewan. Perilaku kejam ini dapat membuat hewan menjadi sakit, cedera, cacat permanen, atau bahkan mati. Kekejaman terhadap hewan sering kali terjadi karena manusia tidak memahami konsekuensi dari tindakan mereka atau mereka mempertahankan praktik tersebut karena mendapatkan keuntungan finansial atau karena alasan budaya atau tradisi.
Pandangan
suntingAda berbagai pandangan tentang kekejaman dan perilaku abusif terhadap hewan. Para pendukung hak asasi hewan, misalnya, menganggap bahwa setiap hewan nonmanusia berhak untuk hidup sebagaimana keinginan hewan tersebut, tanpa tunduk pada keinginan manusia. Oleh karena itu, mereka menentang ekspoitasi apa pun terhadap hewan, misalnya menjadikan hewan sebagai sumber pangan dan objek penelitian.[1]
Meskipun istilah abusif dan kejam terkadang dianggap sama, tetapi beberapa pihak, misalnya Catherine Tiplady, seorang dokter hewan dan peneliti perilaku abusif, dalam bukunya Animal Abuse: Helping Animals and People menyatakan bahwa perilaku abusif merupakan "perlakuan yang salah atau buruk", sedangkan perilaku kejam digambarkan sebagai "ketidakpedulian atau kesenangan atas penderitaan pihak lain".[2][3] Sebuah penelitian pada 2018 mendefinisikan kekejaman terhadap hewan sebagai setiap perilaku yang disengaja dan berulang yang menyebabkan tekanan fisik atau psikologis pada hewan, termasuk, tetapi tidak terbatas pada, menyebabkan rasa nyeri, penderitaan, kesusahan, atau kematian hewan yang tidak perlu.[4]
Klasifikasi
suntingBerdasarkan dampaknya, kekejaman atau kekerasan terhadap hewan dibagi menjadi kekerasan fisik dan kekerasan mental; sedangkan berdasarkan jenis aktivitasnya, kekerasan terhadap hewan dibagi menjadi perlakuan aktif dan perlakuan pasif.
Jenis | Kekerasan fisik | Kekerasan mental |
---|---|---|
Perlakuan aktif | melukai, mencederai, dan menyiksa hewan, termasuk melakukan aktivitas seksual dengan hewan, mengadu antarhewan, dan membatasi pergerakan hewan | menanamkan rasa takut, kesedihan, dan kecemasan kepada hewan, misalnya melalui intimidasi |
Perlakuan pasif | mengabaikan atau menelantarkan hewan tanpa menyediakan kebutuhan hewan, misalnya tidak memberikan akses untuk makan dan minum | tidak memberikan atau menyediakan interaksi sosial yang cukup untuk hewan sehingga hewan tidak menerima afeksi atau kekurangan stimulus rekreasional |
Di sisi lain, Koalisi Kekejaman Satwa di Media Sosial (SMACC) membuat empat tipe konten kekejaman terhadap satwa dalam sebuah laporan yang mereka rilis pada tahun 2021. Empat tipe konten tersebut dan beberapa contohnya ditampilkan dalam tabel berikut.[6]
Tipe | Kekejaman yang disengaja | Kekejaman yang tidak disengaja |
---|---|---|
Kekejaman yang jelas | menguburkan bayi monyet hidup-hidup, mengadu anjing dengan anak kucing, dan membakar atau melukai hewan | menggelitik kukang hingga ia mengangkat tangannya sebagai perilaku bertahan, membuat monyet tersenyum yang mungkin merupakan ekspresi ketakutan atau stres |
Kekejaman yang ambigu | mengganggu monyet yang dikurung, menampilkan hewan atau satwa liar sebagai hiburan, melakukan penyelamatan satwa yang direkayasa | melakukan swafoto dengan satwa liar, memelihara bayi monyet di rumah, mendandani satwa dengan pakaian manusia |
Motif
suntingPelaku kekerasan terhadap hewan memiliki motif yang bervariasi, kompleks, dan dipengaruhi oleh beragam faktor. Anak-anak dan remaja mungkin melakukan kekejaman terhadap hewan karena rasa ingin tahu, terpaksa, tekanan dari teman sebaya, memperbaiki suasana hati, meniru perilaku orang lain, atau sebagai sarana untuk memanipulasi atau menakut-nakuti orang lain.[7] Beberapa studi juga menghubungkan kekerasan terhadap hewan dengan kecenderungan untuk berbuat kejam kepada orang lain. Beberapa motif yang mungkin mendasari kekejaman terhadap hewan di antaranya:[8][9]
- untuk mengendalikan hewan — membentuk karakter yang diinginkan atau menghilangkan sifat yang tidak diinginkan
- untuk balas dendam kepada hewan — memberi hukuman kepada hewan
- untuk memvalidasi prasangka terhadap spesies atau galur hewan tertentu — mungkin berhubungan dengan nilai budaya tertentu
- untuk mengekspresikan agresi melalui hewan — menanamkan sifat agresif dalam diri hewan
- untuk meningkatkan agresivitas diri — meningkatkan sifat agresif dalam diri pelaku dan menciptakan kesan diri yang agresif
- untuk mengejutkan atau menghibur orang lain dalam rangka bersenang-senang
- untuk membalas dendam kepada orang lain — contoh: kepada pemilik hewan
- untuk memindahkan kebencian dari orang lain (yang lebih superior) ke hewan (yang dipandang lebih inferior)
- sadisme nonspesifik — tidak ada alasan atau provokasi yang spesifik.
Beberapa penelitian lain juga mengasosiasikan kekejaman terhadap hewan dengan gangguan jiwa, seperti gangguan kepribadian antisosial dan penyalahgunaan obat. Selain itu, mereka juga memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk melakukan tindakan kriminal.[4][10]
Referensi
sunting- ^ "Animal Rights: Definition, Issues, and Examples". The Humane League. 17 Desember 2020. Diakses tanggal 10 April 2023.
- ^ Lin, Doris (6 April 2021). "Key Facts About Animal Abuse: How is animal abuse different from animal cruelty?". Tree Hugger. Diakses tanggal 10 April 2023.
- ^ Tiplady, Catherine (2013). Animal Abuse: Helping Animals and People. C.A.B. International. Wallingford, Oxfordshire: CABI. ISBN 978-1-84593-983-0. OCLC 808418081.
- ^ a b Johnson, Scott A (20 November 2018). "Animal cruelty, pet abuse & violence: the missed dangerous connection". Foresic Research & Criminology International Journal. 6 (5). doi:10.15406/frcij.2018.06.00236.
- ^ Vermeulen, Hannelie; Odendaal, Johannes S.J. (1993). "Proposed Typology of Companion Animal Abuse". Anthrozoös. 6 (4): 248–257. doi:10.2752/089279393787002178. ISSN 0892-7936.
- ^ Social Media Animal Cruelty Coalition (2021). Monetisasi Penderitaan Satwa: Bagaimana penyelenggara media sosial terbesar mengambil keuntungan dari kekejaman satwa. Asia for Animals Coalition: Social Media Animal Cruelty Coalition.
- ^ Johnston, J.E. (27 April 2011). "Children Who Are Cruel to Animals: When to Worry". Psychology Today. Diakses tanggal 10 April 2023.
- ^ Kellert, Stephen R.; Felthous, Alan R. (Desember 1985). "Childhood Cruelty toward Animals among Criminals and Noncriminals". Human Relations. 38 (12): 1113–1129. doi:10.1177/001872678503801202. ISSN 0018-7267.
- ^ Lockwood, R.; Arkow, P. (September 2016). "Animal Abuse and Interpersonal Violence: The Cruelty Connection and Its Implications for Veterinary Pathology". Veterinary Pathology. 53 (5): 910–918. doi:10.1177/0300985815626575. ISSN 0300-9858.
- ^ Gleyzer, Roman; Felthous, Alan R.; Holzer, Charles E. (2002). "Animal cruelty and psychiatric disorders". The Journal of the American Academy of Psychiatry and the Law. 30 (2): 257–265. ISSN 1093-6793. PMID 12108563.