Kemerdekaan London
Kemerdekaan London, kadang-kadang disingkat Londependence dalam bahasa Inggris,[1] adalah gerakan yang menginginkan otonomi atau pemisahan urban London Raya. Tujuannya adalah untuk memperoleh otonomi yang lebih besar sebagai negara anggota yang terpisah dari Inggris atau negara kota yang sepenuhnya merdeka dari Britania Raya.
Status London di Britania Raya telah diperdebatkan selama bertahun-tahun dan banyak yang menginginkan otonomi yang lebih besar.[2][3] Para pendukung gerakan ini sering kali menekankan bahwa London memiliki jumlah penduduk yang melebihi 8 juta jiwa, ekonomi yang besar, peran global yang penting, komposisi penduduk yang beragam dan masalah-masalah yang unik bila dibandingkan dengan wilayah Inggris lainnya. Gagasan London sebagai negara kota telah diperbincangkan semenjak tahun 1990-an dan muncul kembali selama referendum kemerdekaan Skotlandia 2014.[3]
Gerakan yang menginginkan otonomi atau kemerdekaan menguat setelah referendum keanggotaan Britania Raya di Uni Eropa 2016. Berdasarkan referendum tersebut, Britania Raya memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa walaupun sebagian besar orang London memilih untuk tetap menjadi anggota. Akibatnya, muncul petisi daring yang meminta kemerdekaan London dari Britania Raya agar tetap dapat menjadi bagian dari Uni Eropa. Para pendukungnya menekankan status London sebagai "kota dunia" dan perbedaan demografi dan ekonominya dengan wilayah Britania Raya lainnya. Menurut mereka, London sebaiknya menjadi negara kota seperti Singapura dan tetap menjadi anggota Uni Eropa.[4][5][6][7][8][9][10]
Spencer Livermore menyatkaan bahwa kemerdekaan London "sebaiknya menjadi tujuan" dan menyatakan bahwa negara kota London akan memiliki PDB yang dua kali lebih tinggi dari Singapura.[11] Tony Travers berargumen bahwa wali kota London Sadiq Khan "berhak untuk memberitahu pemerintah bahwa London tidak menginginkan Brexit dan Balai Kota kini menganggap pemerintah sebagai pemerintahan yang disfungsional." Analis Kevin Doran menyatakan bahwa kemerdekaan London tidak hanya mungkin, tetapi tidak dapat terhindarkan "dalam 20 hingga 30 tahun."[12]
Opini publik
suntingDate(s) conducted |
Polling organisation/client | Jumlah sampel | Status Quo (Majelis London) | Parlemen London | Bubarkan Majelis | Kemerdekaan London | Belum memutuskan | |||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1–6 Juli 2016 | YouGov/Evening Standard | 1,061 | 32% | 23% | 7% | 11% | 28% | |||
24 Juni 2016 | David Cameron mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri Britania Raya | |||||||||
23 Juni 2016 | Referendum keanggotaan Britania Raya di Uni Eropa 2016. | |||||||||
5 Mei 2016 | Pemilihan wali kota London 2016. | |||||||||
5 Mei 2015 | Pemilihan umum Britania Raya 2015. | |||||||||
8–13 Okt 2014 | YouGov/Evening Standard | 30% | 30% | 6% | 5% | 29% |
Referensi
sunting- ^ "'Londependence' May Be a Dream, but More Autonomy for the City Is Not". The New York Times. 28 June 2016.
- ^ "The UK needs a devolved government for London". 30 January 2016.
- ^ a b Smith, Richard G. "London after Brexit: independence a non-starter but special status could protect global position".
- ^ "Second Scotland Referendum 'Highly Likely'".
- ^ Hedges-Stocks, Zoah. "Londoners call for independence from UK". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-06-25. Diakses tanggal 2016-12-14.
- ^ "It's time for London to leave the UK". 24 June 2016.
- ^ "Thousands call on Sadiq Khan to declare London's independence". 24 June 2016.
- ^ "'Londependence' petition calls for London to join the EU on its own". 24 June 2016.
- ^ "Londoners want their own independence after Brexit result".
- ^ Metro.co.uk, Nicole Morley for (24 June 2016). "70,000 sign petition for London to become independent and rejoin the EU".
- ^ "London Independence Goes Beyond A Twitter Joke With Politicians Seriously Discussing It". 24 June 2016.
- ^ "London independence: Could the capital break away from the UK?".