Kerajaan Konawe adalah kerajaan yang pernah berdiri di Kabupaten Konawe. Penduduknya adalah Suku Tolaki.[1] Raja-rajanya bergelar Mokole. Masa kejayaannya dicapai pada masa pemerintahan Mokole Tebawo.[2] Pusat pemerintahan Kerajaan Konawe adalah di Kecamatan Unaaha, Kabupaten Konawe.[3] Kerajaan ini menggunakan sistem pemerintahan yang disebut Siwole Mbatohu dan Pitu Dula Batu.[4] Masyarakat Kerajaan Konawe bekerja sebagai petani padi dan cempedak, peternak kerbau, dan pencari ikan.[5] Kepercayaan awal masyarakat Kerajaan Konawe adalah animisme dan dinamisme, tetapi kemudian beralih beragama Islam.[6] Kerajaan Konawe runtuh setelah rajanya yang bernama Larambe wafat pada tahun 1916 dan wilayahnya dijadikan wilayah Kerajaan Laiwoi.[7]

Bendera Kerajaan Konawe

Pemerintahan sunting

Kerajaan Konawe merupakan kerajaan yang didirikan oleh Suku Tolaki. Pendirinya ialah Wekoila. Pada awalnya, pusat kerajaannya terletak di Desa Olo-oloho pada tepi Sungai Konoweha. Pusat pemerintahannya kemudian dipindahkan ke Unaaha.[3] Pada masa pemerintahan Mokole Tebawo, wilayah kekuasaan Kerajaan Konawe mencakup wilayah Kabupaten Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, dan Kota Kendari.[8]

Pada masa pemerintahan Mokole Tebawo dibentuk sistem pemerintahan yang disebut Siwole Mbatohu dan Pitu Dula Batu. Siwole Mbatohu adalah pembagian wilayah Kerajaan Konawe menjadi empat bagian, yaitu bagian barat, timur, utara, dan selatan. Bagian barat kerajaan konawe disebut Tambo i Tepuli dengan pemimpin bergelar Sabandara dan pusat pemerintahannya di Latoma. Bagian timur Kerajaan konawe disebut Tambo i Losoano Oleo dengan pemimpin bergelar Sapati dan pusat pemerintahannya di Ranomeeto. Bagian utara Kerajaan Konawe disebut Bharata i Hanano Wuta Konawe dengan pemimpin bergelar Ponggawa dan pusat pemerintahannya di Tonganua. Sedangkan bagian selatan Kerajaan Konawe disebut Bharata i Moerino Wuta Konawe dengan pemimpin bergelar Inowa dan pusat pemerintahannya di Asaki.[4] Tujuan pembentukan Siwole Mbatohu adalah untuk memperlancar urusan pemerintahan Kerajaan Konawe yang memiliki wilayah yang luas. Penempatan seorang penguasa juga ditujukan untuk mencegah perselisihan dalam kerajaan dan menjaga wilayah perbatasan dari serangan kerajaan lain.[9]

Berbeda dengan Siwole Mbatohu, Pitu Dula Batu adalah kabinet kerajaan yang bekerja langsung dengan Mokole Tebawo. Kabinet ini terdiri dari Sulemandara, Kotubitara, Anakia Mombonahuako, Tusawuta, Tutuwi Motaha, Kapita Anamolepo, dan Kapitalau. Sulemandra bertugas sebagai perdana menteri dan pengatur urusan luar negeri. Urusan hukum peradilan kerajaan diserahkan kepada Kotubitara. Anakia Mombonahuako mengurus urusan rumah tangga istana kerajaan. Urusan pertanian diserahkan kepada Tusawuta. Tutuwi Motaha, Kapita Anamolepo, dan Kapitalau bertugas dalam bidang keamanan kerajaan, tetapi dengan jenis wilayah yang berbeda. Tutuwi Motaha khusus bertugas mengamankan istana kerajaan. Kapita Anamolepo mengamankan wilayah darat kerajaan, sedangkan Kapitalau mengamankan wilayah laut kerajaan.[10]

Kerajaan Konawe membagi pemerintahan hingga ke tingkat kecamatan yang disebut Pu'tobu. Para keturunan bangsawan diberikan tanggung jawab untuk mengelola Pu'tobu yang seluruhnya berjumlah 30. Para penguasa Pu'tobu meyampaikan urusan pemerintahan kepada Siwole Mbatohu di Latoma, Ranomeeto, Tonganua, dan Asaki. Sedangkan urusan adat dilaporkan kepada Kotubitara di Wonggeduku.[11] Kerajaan konawe juga menetapkan 3 daerah Pu'tobu di Abuki sebagai daerah istimewa, yaitu Asolu, Lasada dan Walay. Ketiga wilayah ini bertanggung jawab kepada putra mahkota untuk urusan adat dan bertanggung jawab kepada raja untuk urusan pemerintahan.[12]

Kehidupan Masyarakat sunting

Kegiatan utama dari masyarakat Kerajaan Konawe adalah bertani padi, mencari ikan, memelihara kerbau, dan berkebun cempedak. Pemanfaatan lahan sepenuhnya diatur oleh raja dengan membaginya untuk keperluan bertani, memelihara kerbau dan memelihara ikan. Seluruh tanah di Kerajaan Konawe menjadi milik raja dan dikelola oleh bangsawan, tetapi pembagiannya sama rata untuk masyarakat biasa.[5]

Keagamaan sunting

Pada awalnya, masyarakat Kerajaan Konawe menganut animisme dan dinamisme. Ajaran Islam mulai dikenal di kerajaan Konawe pada masa pemerintahan Mokole Tebawo pada abad ke-16. Utusan Kesultanan Buton yang bernama La Embo juga pernah mengajak Mokole Melamba menerima Islam, tetapi belum diterima. La Embo kemudian mendakwahkan Islam di Pulau Wawonii dengan mengajar cara menulis huruf Arab dan menciptakan aksara Laembo. Akhirnya Islam berkembang dan lembaga Islam didirikan. Anak dari Mokole Melamba yaitu Lakidende akhirnya diutus untuk belajar agama Islam di Pulau Wawonii sebelum menjadi raja. Toli-toli, Wanggudu dan Pelabuhan Tinanggea menjadi pusat dakwah Islam. Penyebarannya dilakukan oleh pedagang dari Kesultanan Bone, Kesultanan Soppeng, dan Kesultanan Gowa. Masyarakat juga mulai menerima Islam setelah kehadiran para pedagang muslim yang menuju ke perairan Maluku pada abad ke-18. Para pedagang muslim datang ke daerah Wawonii, Lasolo, Toli-Toli dan Tinanggea. Para pedagang ini berasal dari Kesultanan Buton, Kesultanan Ternate, dan Kesultanan Bone.[6]

Setelah Lakidende menjadi raja dari Kerajaan Konawe, ia menerima Islam sebagai agamanya. Lakidende kemudian mengundang La Ode Teke dari Kesultanan Buton untuk mengajarakan Islam kepada masyarakatnya.[13] Kemudian pada masa pemerintahan Lakidende II, Islam menjadi agama resmi dari Kerajaan Konawe.[14] Kerajaan Konawe kemudian menerapkan syariat Islam dalam kehidupan masyarakatnya dan melarang hal-hal yang bertentangan dengannya.[15] Pembangunan dolmen dihentikan dan digantikan dengan pembangunan masjid. Selain itu, masyarakat juga mulai membuat makam yang sesuai dengan ajaran Islam.[16]

Keruntuhan sunting

Perselisihan di antara para bangsawan Kerajaan Konawe telah berlangsung sejak abad ke-19 M. Pada tahun 1906, seorang bangsawan dari Laiwoi bekerja sama dengan Hindia Belanda dan menandatangani sebuah perjanjian. Isi perjanjian tersebut adalah mengganti Kerajaan Konawe menjadi Kerajaan Laiwoi dan menjadi bawahan dari Hindia Belanda. Larambe sebagai raja Kerajaan Konawe bersama dengan para bangsawan diundang oleh Laiwoi dan Hindia Belanda. Dalam pertemuan itu, Laiwoi menyatakan keberpihakannya kepada Hindia Belanda. Larambe tidak menyetujuinya dan kembali ke Sambandete untuk mempersiapkan perang dengan Hindia Belanda. Bersama pasukannya, ia mendirikan benteng dan tugu di tepi Sungai Lalindu pada wilayah Linomoiyo. Namun pada tahun 1916, ia wafat sehingga perang dimenangkan oleh Belanda. Wilayah Kerajaan Konawe akhirnya dikuasai dan dijadikan wilayah Kerajaan Laiwoi.[7]

Referensi sunting

  1. ^ Handrawan 2016, hlm. 205–206.
  2. ^ Aswati 2014, hlm. 43.
  3. ^ a b Handrawan 2016, hlm. 205.
  4. ^ a b Idaman 2019, hlm. 147.
  5. ^ a b Gustian, Dedi et al 2014, hlm. 91.
  6. ^ a b Aswati 2011, hlm. 96.
  7. ^ a b Gustian, Dedi et al 2014, hlm. 91–92.
  8. ^ Aswati 2014, hlm. 52.
  9. ^ Aswati 2014, hlm. 45.
  10. ^ Idaman 2019, hlm. 148.
  11. ^ Aswati 2014, hlm. 47.
  12. ^ Aswati 2014, hlm. 48.
  13. ^ Aswati 2011, hlm. 100.
  14. ^ Aswati 2011, hlm. 98.
  15. ^ Melamba 2012, hlm. 275.
  16. ^ Melamba 2012, hlm. 286.

Daftar Pustaka sunting

Buku sunting

Jurnal sunting