Kerusuhan Surosowan (1750)
Kerusuhan Surosowan bisa disebut juga sebagai Pemberontakan Ki Tapa. Kerusuhan/Pemberontakan ini terjadi karena kelicikan Ratu Syarifah Fatima yang ingin menguasai Banten.
Kerusuhan Surosowan | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
Kesultanan Banten |
Pro-Ratu Syarifah Fatima Belanda | ||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
Ki Tapa Ki Bagus Buang |
Ratu Syarifah Fatima Sultan Syarifuddin Ratu Wakil Jacob Mossel | ||||||
Kekuatan | |||||||
7,000 pasukan | 1,460 pasukan |
Latar belakang
suntingPada masa pemerintahan Sultan Zainul Arifin ini sering terjadi pemberontakan rakyat yang tidak senang dengan perlakuan VOC yang sudah di luar batas kemanusiaan. Memang pada awal abad ke-18 terjadi perubahan politik VOC dalam pengelolaan daerah yang dikuasainya. Monopoli rempah-rempah dianggapnya sudah tidak menguntungkan lagi karena Inggris sudah berhasil menanam cengkeh di India sehingga harga cengkeh di Eropa pun turun. Oleh karena itu, VOC mengalihkan usahanya dengan menanam tebu dan kopi di samping rempah-rempah yang kemudian hasilnya harus dijual kepada VOC dengan harga yang telah ditetapkan secara sepihak oleh VOC yang merugikan masyarakat.
Sementara itu, di keraton pun terjadi keributan dan kekacauan pemerintahan. Sultan Zainul Arifin tidak mampu melepaskan diri dari pengaruh Ratu Syarifah Fatimah, seorang janda seorang letnan Melayu di Batavia yang dinikahi dan dijadikan permaisurinya. Ketidak berdayaan itu terlihat dari keputusan Sultan Zainul Arifin yang membatalkan penunjukan Pangeran Gusti sebagai putra mahkota. Atas pengaruh Ratu Syarifah Fatimah dan persetujuan VOC, Sultan Zainul Arifin mengangkat Pangeran Syarif Abdullah, menantu Ratu Fatimah dari suaminya yang terdahulu, menjadi putra mahkota. Setelah dibatalkan sebagai putra mahkota, atas suruhan Ratu Syarifah Fatimah, Pangeran Gusti disuruh pergi ke Batavia dan di tengah perjalanan ditangkap tentara VOC dan diasingkan ke Ceylon pada tahun 1747. Tidak lama setelah menantunya diangkat menjadi putra mahkota, Ratu Syarifah Fatimah memfitnah suaminya gila sehingga sultan ditangkap oleh VOC dan diasingkan ke Ambon sampai meninggal. Sebagai gantinya Pangeran Syarif Abdullah dinobatkan sebagai Sultan Banten pada tahun 1750 dengan gelar Sultan Syarifuddin Ratu Wakil. Meskipun demikian, Ratu Fatimah-lah yang memegang kuasa atas pemerintahan di Kesultanan Banten.
Dalam beberapa penulisan sejarah Kesultanan Banten Sultan Syarifuddin Ratu Wakil biasa ditulis sebagai Sultan Banten ke 11, sedangkan bagi Keluarga Besar Kesultanan Banten tidak mengakui beliau Sebagai Sultan Banten yang sah, sehingga hal ini menimbulkan perbedaan dalam penulisan pengurutan para Sultan Banten. Sehingga untuk membedakan antara Sultan Banten Penuh dan Sultan Wakil dalam tulisan ini digunakan pula tulisan Sultan Penuh.
Kecurangan yang dilakukan Ratu Fatimah ini bagi rakyat dan sebagian pembesar negeri merupakan suatu penghinaan besar dan penghianatan yang sudah tidak bisa diampuni lagi sehingga terjadi perlawanan bersenjata
Akhir pemberontakan
suntingKarena Belanda tidak ingin kekalahan di antara Banten dan Mataram. Belanda menyuruh Jacob Mossel untuk menangkap Ratu Fatima dan Sultan Syarifuddin karena sebagai biang dari pemberontakan ini. setelah itu. Belanda pergi ke Ceylon untuk mengembalikan Pangeran Gusti ke Banten sebagai putra mahkota.
"Setelah itu, Banten secara resmi menjadi suatu wilayah jajahan VOC. Banten kembali damai, tetapi perdamaian tercapai bersama-sama dengan tunduknya kepada kekuasaan VOC"
tulis Ricklefs.