Konsepsi Presiden Soekarno

Konsepsi Presiden Soekarno adalah konsep atau gagasan pemikiran Soekarno yang lahir di masa Demokrasi Liberal karena kekecewaan Soekarno terhadap permasalahan partai politik di parlemen yang tidak kunjung terselesaikan dan berdampak terhadap terhambatnya pembangunan nasional. Partai politik yang menjadi oposisi atau yang tidak memiliki wakil di parlemen saling menjatuhkan. Konsepsi ini lahir saat Presiden Soekarno menyampaikan pidatonya "Menyelamatkan Republik Indonesia" dan diumumkan pada tanggal 21 Februari 1957. Dalam konsepsi ini, Presiden Soekarno menghendaki dan mendorong penerapan sistem demokrasi yang baru yaitu Demokrasi Terpimpin.Kiden

Latar Belakang

sunting

Pada tanggal 10 November 1956 Presiden Soekarno melantik 514 anggota Konstituante yang bertugas merumuskan undang-undang dasar baru, Namun dalam badan konstituante tersebut, mengalami kemacetan politik, di mana badan konstituante belum berhasil menyelesaikan tugas utamanya mengenai dasar negara dan undang-undang dasar baru.[1] Kegagalan konstituante disebabkan oleh faktor berikut:

  1. Perdebatan yang tak kunjung usai dalam konstituante
  2. Adanya Perselisihan antarpartai politik
  3. Munculnya desakan untuk kembali pada Undang-Undang Dasar 1945.[2]

Selain itu, Konsepsi Presiden Soekarno juga lahir karena Demokrasi Liberal yang pada masa itu digunakan di Indonesia adalah hasil impor dari Barat dan tidak sesuai dengan budaya yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, Demokrasi yang seharusnya ada di Indonesia bukanlah Demokrasi Liberal, tetapi suatu Demokrasi Terpimpin, suatu demokrasi dengan pimpinan, suatu yang dipimpin tetap demokrasi.[1] Atau dengan kata lain, Pemerintahan yang dipimpin dan dijalankan oleh Presiden Soekarno. Karna dimasa Demokrasi Liberal, Presiden hanya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dijalankan oleh seorang Perdana Menteri.

Isi Konsepsi Presiden

sunting
  1. Pembentukan Kabinet Gotong Royong terdiri dari atas semua fraksi yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat untuk mewakili partai- partai politik. Kabinet ini juga dikenal dengan istilah "Kabinet Kaki Empat". Kabinet berkaki empat terdiri dari empat partai besar pemenang Pemilu 1955. Partai pemenang pemilu 1955 adalah Partai Nasional Indonesia (PNI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Nahdatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia.[3] Kabinet ini juga berisi orang-orang yang memang dianggap ahli di bidangnya masing-masing atau dikenal dengan Zaken Kabinet.
  2. Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan-golongan fungsional dalam masyarakat. Fungsi dari adanya Dewan Nasional ini adalah mendampingi, membantu, memberi kewibawaan kabinet, dan menjadi jembatan antara Pemerintah dan masyarakat. Selain itu tugasnya dewan nasional adalah memberi nasehat kepada kabinet, diminta atau tanpa diminta oleh Kabinet.[4]

Pro dan Kontra terhadap Konsepsi Presiden

sunting

Adanya konsepsi Presiden, timbul pro dan kontra terhadap hal tersebut. Beberapa partai politik tidak setuju dengan konsepsi Presiden yang akan melahirkan Demokrasi Terpimpin dan menggantikan Demokrasi Liberal. Partai Politik yang kontra diantaranya Masyumi, Nahdatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Katolik Indonesia, dan beberapa partai politik lainnya menolak konsepsi tersebut. Sebab partai yang kontra, menyatakan bahwa konsepsi itu dapat mengubah sistem dan susunan ketatanegaraan. Karena yang berhak mengubah sistem serta susunan ketatanegaraan Indonesia adalah wewenang badan konstituante.[5] Namun ada juga partai yang pro terhadap konsepsi Presiden Soekarno tanggal 21 Februari 1957. Partai yang mendukung konsepsi tersebut diantaranya Partai Komunis Indonesia, Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), sebagian anggota dari PNI, Partai Rakyat Nasional (PRN), Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia, Partai Rakyat Indonesia (PRI), Badan Permusyawarakat Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI), dan partai-partai nasionalis kecil lainnya.

Selain itu, Mantan Wakil Presiden Republik Indonesia, Mohammad Hatta (yang mengundurkan diri dari jabatannya sebagai wakil Presiden Republik Indonesia pada Desember 1956) juga memberikan kritikannya terhadap konsepsi Presiden tersebut. Hatta menuliskan kritikannya dalam tulisan "Meninjau Konsepsi Presiden Soekarno" pada 21 Februari 1957. Hatta menyatakan bahwa, dalam negara demokrasi memang seharusnya ada partai politik yang beroposisi. Karena tujuan adanya oposisi adalah untuk mengkritik pemerintah agar krtikannya tersebut bersifat membangun dan dapat memperbaiki kemerosotan dalam pemerintahan.[6] Dengan adanya konsepsi tersebut dan melahirkan yang namanya Demokrasi Terpimpin, menurut Mohammad Hatta, hal itu akan melahirkan sistem kediktaktoran dalam pemerintahan.

Referensi

sunting
  1. ^ a b Ahmad, Zaini Muslim (2013). "Sikap Politik Soekarno Terhadap Partai Masyumi 1957-1960". Indonesian Journal of History Education. 2 (2): 3. 
  2. ^ Kusumaningrum, Arin (2019). Masa Demokrasi Parlementer. Singkawang: PT. Maraga Borneo Tarigas. hlm. 20. 
  3. ^ Nailufar, Nibras Nada, ed. (2021-07-01). "Kabinet Berkaki Empat". Kompas.com. Diakses tanggal 2021-10-16. 
  4. ^ Nirmalasari, Destiany. "Spekulasi Soekarno dalam Arus Demokrasi Terpimpin". Kumparan. Diakses tanggal 2021-10-16. 
  5. ^ Aprilia, Anisha. "Isi dan Sejarah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang Ditetapkan oleh Presiden Soekarno - Portal Jember". portaljember.pikiran-rakyat.com. Diakses tanggal 2021-10-16. 
  6. ^ "Meninjau Konsepsi Bung Karno: Kritik Hatta dan Reaksi Aidit". Republika Online. 2020-07-02. Diakses tanggal 2021-10-17.