Konsepsi politik hak asasi manusia

Konsepsi politik hak asasi manusia (Inggris: political conceptions of human rights) adalah gagasan yang berupaya menjelaskan hak asasi manusia dengan mendeskripsikan peran dan fungsinya dalam politik modern.[1][2][3] Terdapat dua filsuf yang dikenal sebagai penggagas konsepsi politik HAM, yaitu John Rawls dan Charles Beitz.[2]

John Rawls sunting

 
John Rawls

John Rawls menggagas konsepsi politik HAM dalam bukunya yang berjudul The Law of Peoples. Menurut Rawls, HAM beserta justifikasinya dapat dipahami dengan mengidentifikasi peranan yang dimainkan oleh HAM di dunia politik, utamanya dalam hubungan internasional tetapi juga dalam politik nasional. Rawls berpendapat bahwa hak asasi manusia adalah "kelompok khusus dari hak-hak yang genting" (a special class of urgent rights). Ia juga menyatakan bahwa hak asasi manusia bersifat plural dan universal. Namun, Rawls meyakini bahwa hak asasi manusia internasional juga didefinisikan oleh perannya dalam membentuk struktur normatif sistem global. HAM internasional diyakini memberikan konten terhadap konsep-konsep normatif seperti legitimasi, kedaulatan, intervensi yang diperbolehkan, dan keanggotaan yang bermartabat dalam masyarakat internasional.[2]

Rawls mendeskripsikan proses penjustifikasian hak asasi manusia sebagai berikut. Pembaca diajak untuk mencari ketentuan kerja sama yang akan disepakati oleh bangsa atau negara yang merdeka dan setara kedudukannya dalam kondisi yang adil. Rawls membayangkan bahwa perwakilan negara-negara dapat bertemu untuk memilih asas-asas normatif yang menjadi landasan struktur internasional. Para perwakilan tersebut dibayangkan sebagai orang-orang yang menganggap negara yang mereka wakili sebagai negara yang sungguh merdeka dan setara dengan yang lain. Para perwakilan ini juga dibayangkan dapat memilih secara rasional demi kepentingan negara mereka, masuk akal dalam mencari dan menghormati ketentuan kerja sama yang adil, serta imparsial karena berada di balik "tirai ketidaktahuan"; dalam kata lain, mereka tidak memiliki informasi mengenai kekayaan atau kekuatan negara yang mereka wakili. Menurut Rawls, dalam kondisi seperti ini, para perwakilan tersebut secara bulat akan memilih asas-asas yang juga akan mencakup hak asasi manusia dasar.[2]

Rawls sendiri menganjurkan daftar hak asasi manusia yang terbatas jumlahnya dan tidak mencakup berbagai kebebasan-kebebasan dasar, hak partisipasi politik, dan hak kesetaraan. Sebabnya adalah karena ia menginginkan daftar yang dapat diterima oleh semua negara yang wajar (reasonable countries) dan bukan hanya demokrasi liberal saja. Selain itu, ia menganggap pelanggaran serius hak asasi manusia sebagai hal yang dapat memicu intervensi oleh negara lain, dan menurutnya hanya hak-hak yang paling penting yang dapat mencapai status seperti ini. Dengan tidak memasukkan perlindungan kesetaraan dan demokrasi dalam daftar hak asasi manusia, Rawls dapat menjustifikasi intervensi internasional terhadap pelanggaran serius HAM.[2]

Charles Beitz sunting

Charles Beitz juga menjabarkan konsepsi politik HAM dalam bukunya, The Idea of Human Rights. Seperti halnya Rawls, HAM yang berupaya ia jelaskan adalah praktik HAM internasional modern. Menurut Beitz, HAM dapat dipahami dengan memperhatikan kesimpulan-kesimpulan yang dibuat oleh "partisipan-partisipan yang kompeten" (competent participants) perihal klaim hak asasi manusia. Dengan ini, upaya untuk memahami HAM tidak dilakukan secara filosofis, tetapi dengan melihat bagaimana HAM mengarahkan tindakan-tindakan dalam suatu praktik diskursif yang baru muncul dan masih terus berkembang. Norma-norma dari praktik tersebut memandu penafsiran dan penerapan HAM, ketepatan dari kritik yang dirumuskan dari sudut pandang HAM, penyelesaian sengketa di pengadilan HAM, serta tanggapan terhadap pelanggaran HAM serius. Beitz menyatakan bahwa HAM dapat menjadi pemicu tindakan protektif dan pemulihan di tingkat internasional, tetapi ia tidak sepakat dengan pandangan Rawls bahwa untuk memenuhi peran tersebut daftar HAM yang ada harus sesingkat mungkin. Dalam kata lain, ia menolak gagasan bahwa HAM bersifat minimal.[2]

Beitz berpendapat bahwa manusia yang wajar (reasonable person) dapat menerima dan menggunakan gagasan HAM tanpa harus menerima landasan normatif HAM tertentu. Ia juga menyatakan bahwa justifikasi HAM yang baik sebaiknya menghindari asumsi-asumsi kontroversial mengenai agama, metafisika, ideologi, atau nilai-nilai intrinsik. Ia lebih menekankan maslahat hak asasi manusia secara praktis alih-alih landasan moralnya. Dengan ini, gagasan HAM dapat lebih diterima oleh berbagai masyarakat di seluruh dunia terlepas dari latar belakang agama dan budaya mereka. Justifikasi HAM menurut Beitz adalah bagaimana HAM melindungi "kepentingan-kepentingan individu yang genting dari bahaya-bahaya yang dapat diprediksi ("ancaman standar") dan kepentingan-kepentingan ini rentan terhadap bahaya-bahaya tersebut dalam situasi kehidupan yang umum dalam tatanan dunia modern yang terdiri dari negara-negara merdeka."[2]

Referensi sunting

  1. ^ Liao, S. Matthew; Etinson, Adam (2012). "Political and Naturalistic Conceptions of Human Rights: A False Polemic?". Journal of Moral Philosophy. 9 (3): 327–352. doi:10.1163/17455243-00903008. ISSN 1740-4681. 
  2. ^ a b c d e f g Nickel, James (2019). Zalta, Edward N., ed. The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Metaphysics Research Lab, Stanford University. 
  3. ^ Schaber, Peter (2011-11-15). Human rights without foundations? (dalam bahasa Inggris). De Gruyter. doi:10.1515/9783110263886.61. ISBN 978-3-11-026388-6.