Konstantin Pavlovich dari Rusia
Konstantin Pavlovich (bahasa Rusia: Константи́н Па́влович; 8 Mei 1779 – 27 Juni 1831) adalah seorang adipati agung dari Kekaisaran Rusia dan merupakan putra kedua dari Kaisar Pavel I dan Sophie Dorothea dari Württemberg.
Konstantin Pavlovich | |
---|---|
Kelahiran | Tsarskoye Selo, Saint Petersburg, Kekaisaran Rusia | 27 April 1779
Kematian | 15 Juni 1831 Vitebsk, Kekaisaran Rusia | (umur 52)
Pemakaman | |
Pasangan | |
Keturunan | 3 anak dengan simpanan (Pavel, Konstantin, Konstasia) |
Wangsa | Holstein-Gottorp-Romanov |
Ayah | Pavel I dari Rusia |
Ibu | Sophie Dorothea dari Württemberg |
Konstantin adalah ahli waris sementara selama sebagian besar pemerintahan kakak laki-lakinya Alexandr I, tetapi secara diam-diam melepaskan klaimnya atas takhta pada tahun 1823. Selama 25 hari setelah kematian Alexander I, ia dikenal sebagai Yang Mulia Kaisar Konstantin I, Kaisar dan Penguasa Rusia, meskipun dia tidak pernah memerintah dan tidak pernah naik takhta. Adiknya Nicholas menjadi tsar pada tahun 1825. Kontroversi suksesi menjadi dalih terjadinya pemberontakan Decembrist.
Konstantin dikenal menghindari etika istana dan sering mengambil sikap menentang keinginan saudaranya Alexander I, yang membuatnya dikenang dengan penuh kasih di Rusia, tetapi dalam kapasitasnya sebagai gubernur Polandia, ia dikenang sebagai penguasa yang dibenci.[1]
Masa Kecil
suntingKonstantin lahir di Tsarskoye Selo pada 27 April 1779, sebagai putra kedua dari Tsesarevich Pavel Petrovich (kelak menjadi Pavel I dari Rusia) dan istrinya, Maria Fyodorovna, yang merupakan putri dari Friedrich II Eugen, Adipati Württemberg. Dari semua anak Paul, Konstantin adalah yang paling mirip dengan ayahnya, baik secara fisik maupun sifat..[2]
Nenek dari pihak ayahnya, Yekaterina yang Agung, memberinya nama Konstantin sebagai penghormatan kepada Konstantinus Agung, pendiri Kekaisaran Romawi Timur. Untuk memperingati kelahirannya, dibuat medali dengan gambar bergaya antik yang bertuliskan "Kembali ke Bizantium," mengacu pada rencana Yekaterina yang dikenal sebagai Rencana Yunani.[3]
Menurut duta besar Inggris saat itu, James Harris :
Pangeran Potemkin sangat terobsesi dengan ide menciptakan kekaisaran di Timur. Ia berhasil memengaruhi Yekaterina, yang akhirnya menamai cucunya Konstantin, menunjuk seorang perawat Yunani bernama Helen untuk merawatnya, dan bahkan mendiskusikan rencana menempatkan Konstantin di takhta Kekaisaran Timur dalam lingkaran pribadinya. Yekaterina bahkan mulai membangun kota baru di Tsarskoye Selo yang diberi nama Konstantingorod.
Pendidikan dan Pernikahan
suntingPendidikan Konstantin sepenuhnya berada di bawah kendali neneknya, Yekaterina. Seperti pada cucu pertamanya, Alexander I, Catherine mengatur semua detail mengenai pendidikan fisik dan mental Konstantin. Namun, pelaksanaan rencana itu diserahkan kepada orang-orang kepercayaannya. Count Nikolai Saltykov secara resmi menjadi tutor Konstantin, tetapi dia menyerahkan tugas itu pada orang lain dan hanya turun tangan dalam situasi tertentu.
Pengaruh paling besar datang dari César La Harpe, yang menjadi tutor utama mulai 1783 hingga Mei 1795. La Harpe bertanggung jawab atas pendidikan Konstantin dan Alexander.
Catherine juga mengatur pernikahan Konstantin, seperti halnya dia mengatur pernikahan Alexander. Pada 26 Februari 1796, Konstantin yang berusia 16 tahun menikahi Putri Juliane dari Saxe-Coburg-Saalfeld, yang baru berusia 14 tahun. Namun, pernikahan ini jauh dari bahagia. Dalam memoarnya, Caroline Bauer mencatat bahwa "Konstantin yang brutal memperlakukan istrinya seperti budak. Ia bahkan berani melakukan hal-hal yang tidak pantas di depan para perwira kasarnya."
Akibat perlakuan kasar Konstantin dan masalah kesehatan yang dialami Juliane, pasangan ini berpisah pada tahun 1799. Juliane kemudian menetap di Swiss. Upaya Konstantin pada tahun 1814 untuk membujuknya kembali pun gagal karena penolakan tegas Juliane.
Sifat Kekerasan Konstantin
suntingKekerasan Konstantin tidak berhenti di situ. Pada tahun 1802, dia meminta sahabatnya, Jenderal Karl Baur, untuk menyerahkan selingkuhannya, Madame Araujo, yang merupakan istri seorang pengusaha Portugis. Baur setuju, tetapi Madame Araujo menolak tidur dengannya.
Sebagai balasan, Konstantin menculiknya dan membawanya ke Marble Palace. Di sana, dia dan para ajudannya memperlakukan wanita itu dengan kejam. Araujo dianiaya secara brutal, dimulai dari para jenderal, lalu perwira, hingga pelayan dan penjaga. Akibatnya, lengan dan kakinya patah, dan dia meninggal tak lama setelahnya.
Kaisar Alexander I mencoba menutupi kejahatan itu. Ketika Jenderal Kutuzov mendesak agar diadakan penyelidikan, Alexander malah mengumumkan pembentukan komisi khusus yang secara tidak masuk akal menyatakan bahwa Madame Araujo meninggal karena stroke. Meski begitu, Konstantin tetap menjadi pewaris kekaisaran.
Perang Napoleon
suntingSelama periode ini, Konstantin memulai kampanye militernya yang pertama di bawah pimpinan Aleksandr Suvorov. Dalam Pertempuran Bassignana, Konstantin melakukan kesalahan fatal yang membuat Rusia kalah. Namun, di Pertempuran Novi, dia berhasil menonjolkan keberaniannya di medan perang. Karena itu, Kaisar Paul memberinya gelar tsesarevich. Gelar ini seharusnya hanya untuk pewaris takhta, sesuai hukum dasar konstitusi. Meskipun tidak ada bukti bahwa tindakan ini menunjukkan rencana besar dari sang tsar, hal ini mengindikasikan bahwa Paul mulai meragukan adipati Alexander.[2]
Namun, Konstantin sama sekali tidak pernah mencoba merebut takhta. Setelah kematian ayahnya pada 1801, dia menjalani kehidupan bujangan yang cukup berantakan. Ia menjauh dari politik dan lebih memilih fokus pada militer. Namun, kecintaannya pada militer lebih kepada hal-hal permukaan, seperti seragam dan parade, daripada strategi yang mendalam.[2]
Saat memimpin Imperial Guards dalam kampanye tahun 1805, Konstantin ikut bertanggung jawab atas kekalahan Rusia di Pertempuran Austerlitz. Meski begitu, dia berhasil merebut Imperial Eagle pertama dari Prancis dalam sejarah koalisi. Sayangnya, pada 1807, kemampuan dan keberuntungannya di medan perang tidak juga membaik.[2]
Setelah Perjanjian Tilsit, Konstantin berubah menjadi pengagum berat Napoleon Bonaparte dan mendukung aliansi Rusia-Prancis. Hal ini membuatnya kehilangan kepercayaan dari kakaknya, Alexander. Bagi Alexander, aliansi dengan Prancis hanyalah strategi sementara, tapi Konstantin melihatnya sebagai sesuatu yang permanen. Bahkan pada tahun 1812, setelah jatuhnya Moskow, Konstantin mendesak agar perdamaian segera dibuat dengan Napoleon. Sama seperti Field Marshal Mikhail Kutuzov, dia menentang kebijakan yang membawa perang melintasi perbatasan Rusia hingga akhirnya berhasil mengalahkan Prancis di tanah mereka sendiri.[4]
Namun, perilaku Konstantin terhadap pasukannya sendiri dan para tahanan Prancis sering kali eksentrik dan kejam. Dalam kampanye tersebut, Barclay de Tolly sampai dua kali harus mengirimnya kembali dari medan perang karena kelakuannya yang tidak teratur.
Di Jerman dan Prancis, kontribusi Konstantin dalam pertempuran sangat minim. Dalam Pertempuran Dresden pada 26 Agustus, pengetahuan militernya gagal di momen paling penting. Namun, di Pertempuran La Fère-Champenoise, dia kembali menunjukkan keberaniannya secara pribadi.[2]
Saat berada di Paris, tingkah laku Konstantin malah menjadi bahan tertawaan. Dia lebih sibuk dengan hal-hal kecil tentang militer, seperti inspeksi kandang kuda, daripada hal-hal strategis. Bahkan, ada rumor bahwa dia sering melakukan latihan baris-berbaris di kamar pribadinya.
Gubernur di Polandia
suntingPentingnya Konstantin dalam sejarah politik dimulai ketika kakaknya, Tsar Alexander, menempatkannya di Ketsaran Polandia sebagai wakil penguasa de facto. Meski begitu, dia sebenarnya bukan namestnik resmi atau gubernur kerajaan tersebut. Tugas utamanya adalah melakukan militerisasi dan mendisiplinkan Polandia. Di sana, Konstantin ditunjuk sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata kerajaan. Pada tahun 1819, jabatannya diperluas hingga mencakup komando pasukan Lithuania dan wilayah-wilayah Rusia yang sebelumnya bagian dari Persemakmuran Polandia-Lithuania (disebut juga Western Krai). Selama masa kekuasaannya, Konstantin bertanggung jawab atas pengangkatan semua pemimpin militer, termasuk di Polandia. Dia memastikan setiap orang yang dia pilih harus sejalan dengan visinya untuk menjadikan tentara Polandia mirip dengan kekuatan militer tertinggi Rusia.
Kebijakan Alexander sendiri sebenarnya cukup liberal untuk ukuran Eropa setelah Restorasi. Para pendukung liberalisme klasik menikmati kebebasan dalam pendidikan, ilmu pengetahuan, dan perkembangan ekonomi yang diperkenalkan. Namun, kelemahan besar dalam otonomi Polandia—seperti kurangnya kontrol atas anggaran, militer, dan perdagangan—membuat banyak pihak merasa masih ada yang kurang.[5]
Di sinilah muncul oposisi Kalisz yang dipimpin oleh kakak-beradik Bonawentura dan Wincenty Niemojowski. Mereka mendesak adanya reformasi, termasuk lebih banyak independensi untuk sistem peradilan. Tapi Alexander, yang menganggap tindakan mereka sebagai “penyalahgunaan” kebebasan, memutuskan untuk menangguhkan parlemen Polandia (Sejm) selama lima tahun. Dia juga memberi wewenang penuh kepada Konstantin untuk menjaga ketertiban di kerajaan itu—dengan cara apa pun yang dianggap perlu.[6]
Konstantin berusaha menjalankan mandat kakaknya untuk membungkam perbedaan pendapat, Konstantin memperkuat polisi rahasia (Ochrana) dan menekan gerakan patriotik Polandia, yang justru makin memicu ketidakpuasan rakyat. Ia juga mengganggu oposisi liberal, menggantikan orang Polandia dengan orang Rusia di posisi penting dalam pemerintahan lokal dan militer, serta sering menghina dan menyerang bawahannya. Sikapnya ini menciptakan konflik di kalangan korps perwira.
Parlemen Polandia (Sejm), yang sebelumnya didominasi pendukung persatuan personal dengan Rusia, mulai memandang tindakan Konstantin sebagai pelanggaran terhadap konstitusi—sesuatu yang sebenarnya ia banggakan. Keadaan makin buruk karena banyak pihak yang mulai mengejeknya. Bukannya meredam situasi, ia malah mengirim ajudan-ajudannya untuk mengancam orang-orang yang dianggap “bersalah”, termasuk Wirydianna Fiszerowa.
Namun, di balik semua itu, Konstantin ternyata adalah pendukung setia musisi-musisi Polandia seperti Maria Szymanowska dan Frédéric Chopin.[7]
Setelah terpisah selama 19 tahun, pernikahan Konstantin dan Juliane akhirnya secara resmi dibatalkan pada 20 Maret 1820. Dua bulan kemudian, pada 27 Mei, Konstantin menikahi seorang bangsawan Polandia, Countess Joanna Grudzińska, yang diberi gelar Yang Mulia Putri Łowicz. Pernikahan ini membuat Konstantin melepaskan klaim apa pun atas tahta Rusia, yang secara resmi diselesaikan pada tahun 1822.
Setelah pernikahan itu, Konstantin semakin merasa terhubung dengan rumah barunya di Polandia.
Pemberontakan Desember
suntingKetika Alexander I meninggal pada 1 Desember 1825, Adipati Agung Nikolai segera memproklamasikan Konstantin sebagai kaisar di Saint Petersburg. Tapi di Warsawa, Konstantin malah memilih untuk turun tahta. Begitu kabar ini tersebar, kelompok Northern Society mengadakan rapat-rapat rahasia untuk membujuk para pemimpin resimen agar tidak bersumpah setia kepada Nikolai. Ketegangan ini akhirnya memuncak dalam pemberontakan Decembrist.
Di bawah pemerintahan Nikolai I, Konstantin tetap mempertahankan posisinya di Polandia. Namun, perbedaan pendapat mulai muncul antara dia dan adiknya, terutama karena keterlibatan orang-orang Polandia dalam konspirasi Desembris. Konstantin justru menghalangi terungkapnya rencana-rencana rahasia untuk kemerdekaan Polandia, yang sebenarnya sudah berlangsung bertahun-tahun. Ia keras kepala percaya bahwa tentara dan birokrasi Polandia tetap setia pada Kekaisaran Rusia.
Kebijakan Timur Tsar Nicholas dan Perang Turki pada tahun 1828–1829 semakin memperuncing perpecahan di antara mereka. Konstantin, yang menentang kebijakan kakaknya, memutuskan bahwa tentara Polandia tidak akan ikut campur dalam perang itu.[8]
Konspirasi dan Pemberontakan
suntingSebuah upaya pembunuhan terhadap Adipati Agung Konstantin menjadi pemicu pecahnya pemberontakan besar di Warsawa pada November 1830, yang dikenal sebagai Pemberontakan November. Setelah percobaan pembunuhan itu, pengadilan rahasia segera dibentuk untuk menangkap dan menghukum mereka yang bertanggung jawab. "Diketahui bahwa Nikolai telah memerintahkan Adipati Agung Konstantin untuk segera memulai penyelidikan serius dan mengadili para pelaku di pengadilan militer... pada 27 November, komite akhirnya memutuskan bahwa revolusi akan dimulai malam itu, tepat pukul 6 sore."[9]
Namun, rencana para pemberontak tidak berjalan mulus. Perekrutan pasukan gagal, hanya dua unit tentara yang bergabung, dan pemberontakan nyaris tidak bertahan jika bukan karena keberhasilan mereka merebut gudang senjata dan mempersenjatai rakyat.[10]
Konstantin melihat pemberontakan ini sebagai masalah internal Polandia. Meski ia bisa saja menggunakan pasukan Rusia untuk menghentikan kerusuhan, ia tahu langkah itu hanya akan memperburuk situasi secara politik. Ia khawatir tindakan itu dianggap sebagai pelanggaran terhadap otonomi Polandia, bahkan mungkin sebagai tindakan perang. Karena itu, Konstantin memutuskan untuk hanya mengandalkan sumber daya yang ada di sekitarnya.[11]
Konstantin menegaskan, "Orang Polandia yang memulai kekacauan ini, jadi orang Polandia juga yang harus menyelesaikannya." Ia menyerahkan urusan pemberontakan kepada pemerintah Polandia, menolak memobilisasi pasukan Rusia yang sebenarnya bisa diandalkan.
Pangeran Polandia Ksawery Lubecki, yang menyadari bahwa para pemberontak tidak membentuk pemerintahan hingga tengah malam, memutuskan bertindak sendiri. Ia mengumpulkan beberapa anggota dewan dan tokoh penting lainnya, lalu mengirim delegasi ke Konstantin. Tapi Konstantin tetap bersikeras untuk tidak terlibat, membuat para pemimpin Polandia memutuskan untuk mengambil alih kendali situasi.[10]
Konstantin menunjukkan sikap yang tidak biasa—ia menahan diri untuk tidak menggunakan pasukan Rusia. Bahkan, ia memberikan jaminan kepada pemerintah Polandia bahwa ia tidak akan menyerang Warsawa tanpa memberikan peringatan 48 jam sebelumnya. Ia juga berjanji akan menjadi penengah antara Kaisar Rusia dan Kerajaan Polandia, serta tidak akan memerintahkan pasukan Lituania masuk ke wilayah Polandia. Tindakannya ini menciptakan kesan di antara orang-orang Rusia bahwa Konstantin lebih peduli pada kemandirian Polandia daripada dominasi Rusia. Bagi pemerintah Polandia, netralitas Konstantin memberi rasa aman bahwa Rusia tidak akan menyerang dalam waktu dekat, sekaligus memberikan mereka kesempatan untuk memadamkan pemberontakan secara mandiri.
Setelah memastikan netralitas Rusia, Konstantin memutuskan untuk mundur ke garis belakang pasukan Rusia. Langkah ini justru semakin membingungkan pemerintah Polandia yang awalnya mengira Rusia akan membantu memadamkan pemberontakan, sesuai janji sebelumnya. Namun, bagi kaum patriot Polandia, ini adalah kabar baik. Konstantin, pada 3 Desember, akhirnya benar-benar mundur menuju Rusia. Setelah pemberontakan itu gagal, Konstantin malah mengungkapkan kekagumannya terhadap keberanian para pemberontak Polandia. Kebijakan netralitas yang ia pegang teguh membuatnya dipandang dengan dua cara dalam sejarah. Di satu sisi, keluarga kerajaan Rusia melihatnya sebagai pemimpin yang lemah dan terlalu bersimpati pada Polandia. Di sisi lain, ada yang memandangnya sebagai awal dari gagasan Polandia yang merdeka. Namun, pada kenyataannya, Konstantin hanya mencoba menghindari perang yang lebih besar. Ia tidak berniat memprovokasi atau memperumit situasi, hanya ingin mempertahankan status quo sebaik mungkin tanpa menumpahkan lebih banyak darah.
Akhir hayat
suntingKonstantin meninggal karena kolera di Vitebsk (sekarang di Belarus) pada 27 Juni 1831, sebelum sempat menyaksikan revolusi itu benar-benar ditekan habis. Di Rusia, sikapnya yang sering bertentangan dengan keinginan Keluarga Kekaisaran dianggap berani, bahkan penuh kehormatan.<
Namun, di Polandia, Konstantin punya reputasi yang jauh berbeda. Ia dianggap sebagai tiran, dibenci baik oleh militer maupun masyarakat sipil. Dalam sastra Polandia, Konstantin sering digambarkan sebagai seorang penguasa kejam yang penuh dengan sifat despotik. Dua pandangan yang bertolak belakang ini menjadi warisan yang ia tinggalkan, mencerminkan bagaimana tindakannya selama hidup dipandang dari sudut yang berbeda.[12]
Referensi
sunting- ^ Maya Kucherskaya, Higher School of Economics, Moscow. "Deviant behavior of Grand Duke Constantine Pavlovich as the trigger of his success and failure (on materials of Russian and Polish literatures)". American Association of Teachers of Slavic and Eastern European Languages.
- ^ a b c d e Seccombe 1911, hlm. 1.
- ^ Schulz-Forberg, Hagen (2005). Unravelling Civilisation: European Travel And Travel Writing. Peter Lang. hlm. 229. ISBN 90-5201-235-0.
- ^ Zamoyski, Adam (2005). 1812 – Napoleon's Fatal March on Moscow. Harper Perennial. hlm. 121 and 403. ISBN 0-00-712374-4.
- ^ Dunn, John (2003). "'The November evening': The Warsaw uprising of November 1830". The Journal of Slavic Military Studies. 16 (3): 126–135. doi:10.1080/13518040308430571. Diakses tanggal 2024-05-06.
- ^ Jerzy Lukowski, Hubert Zawadzki (2001). A concise history of Poland. Cambridge University Press. hlm. 124–132. ISBN 978-0-521-55917-1.
- ^ Fiszerowa, Wirydianna (1998). Dzieje moje własne. Warsaw: Świat Książki. ISBN 83-7129-273-2.
- ^ Seccombe 1911, hlm. 2.
- ^ Norman Davies (2005). God's Playground: 1795 to the present . Columbia University Press. hlm. 234. ISBN 978-0-231-12819-3.
- ^ a b The Cambridge History of Poland; From Augustus II to Pilsudski. Cambridge University Press. 1941. hlm. 293.
- ^ Leslie, R. (1969). Polish Politics and the Revolution of November 1830. Greenwood Press. hlm. 123.
- ^ "KONSTANTY PAWŁOWICZ". Nowa encyklopedia powszechna PWN (dalam bahasa Polski).
Daftar pustaka
sunting- Karnovich, E.P. T︠S︡esarevich Konstantin Pavlovich. St Petersburg: A.S. Suvorin, 1899. 2 vols.
- Pienkos, Angela T. (1987). The Imperfect Autocrat. Grand Duke Constantine Pavlovich and the Polish Congress Kingdom. New York. ISBN 0-88033-113-5.