Tata negara Republik Romawi

Tata negara Republik Romawi diatur oleh sekumpulan norma dan adat tak tertulis serta undang-undang tertulis.[1] Tata negara ini mengatur pemerintahan Republik Romawi (509–27 SM). Tata negara Republik Romawi merupakan kelanjutan dari tata negara Kerajaan Romawi, berevolusi selama kurang lebih lima abad berlakunya sistem republik di Roma, dan berganti menjadi tata negara Kekaisaran Romawi ketika sistem republik berakhir pada tahun 27 SM.[2]

Bagan (berbahasa Inggris) yang menggambarkan lembaga-lembaga negara Republik Romawi dan hubungan diantara lembaga-lembaga tersebut.
Patung Lucius Junius Brutus (wafat 509 BC), konsul pertama Republik Romawi menurut tradisi. Konsul adalah jabatan terpilih tertinggi di Republik Romawi.

Lembaga negara Republik Romawi bisa dibagi menjadi tiga kelompok:

  • Berbagai Majelis yang beranggotakan rakyat biasa, yang memiliki kekuasaan tertinggi dan kewenangan memilih pejabat negara (magistratus), menetapkan atau menolak undang-undang, menyelenggarakan sistem peradilan, dan menyatakan perang maupun perdamaian;[3]
  • Senat yang bertugas sebagai penasehat Majelis dan negara.[4] Senat tidak memiliki kewenangan hukum secara langsung, tapi praktiknya memiliki pengaruh tidak langsung yang besar di dalam pemerintahan.
  • Magistratus atau pejabat-pejabat negara, dipilih oleh rakyat untuk menjalankan pemerintahan atas nama rakyat. Pejabat-pejabat ini memiliki kekuasaan di bidang agama, militer, dan kehakiman, serta dapat mengajukan dan memimpin sidang Majelis. Terdapat dua macam magistratus, yaitu magistratus biasa dan luar biasa.[5]
    • Jabatan magistratus biasa yang tertinggi adalah konsul, yang dipegang oleh dua orang dengan masa jabatan satu tahun.[6] Jabatan biasa lainnya diantaranya praetor,[7] sensor,[8] dan tribunus.[9]
    • Jabatan luar biasa yaitu jabatan diktator dan magister equitum.[10] Diktator ditunjuk oleh para konsul dalam keadaan krisis yang membahayakan negara, menjabat selama enam bulan dan setelah itu biasanya mengundurkan diri.[11] Seorang diktator memiliki kekuasaan penuh untuk memerintah.[12] Magister equitum adalah wakil yang ia tunjuk.[13]

Terdapat sistem pengawasan dan pembagian kekuasaan diantara lembaga-lembaga ini untuk mencegah terpusatnya kekuasaan di satu lembaga. Misalnya, walaupun kekuasaan tertinggi ada di tangan Majelis, sidang dimulai dan dipimpin oleh para magistratus yang dapat mengendalikan diskusi.[14] Untuk mencegah magistratus bertindak sewenang-wenang, keputusan seorang magistratus dapat diveto oleh koleganya maupun oleh tribunus.[15]

Selama berdirinya republik, tata negara ini berubah perlahan-lahan. Awalnya, kelas bangsawan yang disebut patricius cenderung mendominasi, namun konflik antara kelas patricius dan kelas rakyat biasa yang disebut plebs. Kelas plebs diberikan hak yang sama dengan bangsawan, jabatan tribunus dibuat untuk mengimbangi kekuasaan para patricius dan Dewan Plebs didirikan dan diberi kekuasaan legislatif. [16]

Akhir zaman republik ditandai dengan meningkatnya pemusatan kekuasaan di tangan gubernur-gubernur yang memerintah provinsi diluar ibu kota Roma, [17] dan penggunaan kekuatan militer untuk memaksakan perubahan politik (contohnya masa kediktatoran Sulla).[18] Selain itu Majelis dapat disuap atau diancam untuk memberikan kekuasaan yang besar bagi pemimpin militer tertentu.[19] Perkembangan ini menyebabkan pemusatan kekuasaan ke hanya sejumlah kecil tokoh. Pemusatan ini, beserta jatuhnya kepercayaan terhadap institusi republik,[19] memicu terjadinya perang saudara dan berakhir dengan jatuhnya sistem republik dan dimulainya sistem kekaisaran.

Referensi sunting

  1. ^ Lintott, Andrew (2003). The Constitution of the Roman Republic. Oxford: Oxford University Press. hlm. 2. ISBN 0-19-926108-3. 
  2. ^ Abbott, Frank Frost (1963). A History and Descriptions of Roman Political Institutions (edisi ke-3). New York: Noble Offset Printers Inc. hlm. 270. 
  3. ^ Lintott 2003, hlm. 40.
  4. ^ Lintott 2003, hlm. 66.
  5. ^ Abbott 1963, hlm. 157-165.
  6. ^ Abbott 1963, hlm. 156.
  7. ^ Abbott 1963, hlm. 187.
  8. ^ Lintott 2003, hlm. 115.
  9. ^ Abbott 1963, hlm. 196-197.
  10. ^ Lintott 2003, hlm. 110.
  11. ^ Abbott 1963, hlm. 182–183.
  12. ^ Abbott 1963, hlm. 182.
  13. ^ Lintott 2003, hlm. 112.
  14. ^ Lintott 2003, hlm. 202.
  15. ^ Abbott 1963, hlm. 155.
  16. ^ Lintott 2003, hlm. 121-122.
  17. ^ Abbott 1963, hlm. 44.
  18. ^ Lintott 2003, hlm. 212.
  19. ^ a b Lintott 2003, hlm. 213.