Simakobu
Simakobu atau monyet ekor babi | |
---|---|
Berkas:Simias.jpg | |
Klasifikasi ilmiah | |
Kerajaan: | |
Filum: | |
Kelas: | |
Ordo: | Primates
|
Famili: | |
Genus: | Simias
|
Spesies: | S.Concolor[1]
|
Simakobu adalah salah satu fauna asli Indonesia.[2] Fauna ini memiliki nama ilmiah Simias concolor.[2] Hewan ini termasuk dalam kelas Mammalia yaitu hewan yang berkembang biak dengan beranak.[2] Simakobu adalah hewan yang masih satu keluarga dengan kera.[2] Simakobu ditemukan di Indonesia tepatnya di Pulau Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan, serta di Pulau Siberut.[2]
Gambaran
suntingSimakobu jantan memiliki panjang sekitar 490–550 mm sedangkan pada betina memiliki panjang 460–550 mm.[3] Berat rata-rata sekitar simakobu adalah 8,7 kg untuk jantan dan 7,1 kg untuk betina.[4] Panjang ekor simakobu bervariasi antara 14 hingga 15 cm.[4] Ada dua jenis warna pada simakobu yaitu abu-abu gelap dan warna coklat muda, tetapi warna abu-abu gelap lebih umum ditemui.[4] Simakobu memiliki tangan dan kakinya yang sama panjang.[5] Ekor simakobu berukuran agak pendek dibandingkan dengan spesies primata yang lain dalam subfamili Colobinae.[5] Simakobu yang sudah dewasa memiliki warna rambut hitam dan semakin gelap daripada saat masih muda.[5] Keunikan hewan ini adalah ekornya pendek, setra tidak berbulu, bulunya hanya ada pada ujung ekor.[4] Karena bentuk ekornya yang seperti ekor babi tersebut maka simakobu juga sering disebut monyet ekor babi.[5]
Habitat
suntingSimakobu adalah hewan endemik Indonesia, tetapi persebarannya hanya terbatas di Kepulauan Mentawai saja yaitu di di daerah barat pantai Sumatera.[6] Simakobu hidup di daerah hutan rawa dan hutan dataran rendah.[2] Selain di daerah tersebut, simokobu juga ditemukan di hutan primer yang terletak di lereng bukit.[2] Simakobu berkembang biak dengan cara beranak, musim lahir ada pada bulan Juni hingga bulan Juli.[2]
Status konservasi
suntingPopulasi simakobu diperkirakan terus menurun, pada sepuluh tahun terakhir hewan ini mengalami penurunan sebesar 90%.[2] Simakobu kini bestatus hewan langka.[2] Kelangkaan simakobu diakibatkan karena perburuan yang berlebihan serta banyak habitat asli hewan ini yang rusak dan hilang.[2] Hutan primer sebagai habitat simakobu kini terus berkurang karena banyak hutan yang dibuka untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.[2] Simakobu banyak dijual oleh masyarakat setempat sehingga banyak diburu.[3]
Tindakan dalam upaya untuk melestarikan simakobu juga telah dilakukan, pertama melaukan peningkatan perlindungan untuk Taman Nasional Siberut sebagai habitat alami simakobu.[2] 2) Langkah selanjutnya melakukan perlindungan terhadap hutan Peleonan di Siberut Utara yang merupakan rumah bagi populasi primata yang mudah dijangkau.[2] Berikutnya melaukan perlindungan pada kawasan Kepulauan Pagai melalui bekerja sama dengan sebuah perusahaan penebangan yang telah berlatih.[2] Pemerintah juga meningkatkan pendidikan konservasi terutama mengenai berburu.[2] langkah terakhir adalah pengembangan model ekonomi alternatif bagi masyarakat lokal untuk mengurangi kemungkinan menjual tanah mereka kepada perusahaan penebangan yang ingin membuka hutan.[2]
Rujukan
sunting- ^ "Pig tailed langur". Primate Info Net. Diakses tanggal 9 Mei 2014.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q "Simias concolor". ICUN Red List. Diakses tanggal 9 Mei 2014.
- ^ a b "Simakobu" (PDF). Primate SG. Diakses tanggal 9 Mei 2014.
- ^ a b c d "Simias concolor (simakobou)". Animal Diversity Web. Diakses tanggal 9 Mei 2014.
- ^ a b c d "Pig-tailed Langur". The Primata. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-09-25. Diakses tanggal 9 Mei 2014.
- ^ "Pig tailed langur)". Arkive. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-08. Diakses tanggal 9 Mei 2014.