Lembaga Studi Sosial dan Agama
Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) merupakan suatu lembaga yang berdiri dengan dasar rasa keprihatinan atas berbagai problem sosial, politik, ekonomi, hukum dan terancamnya sendi-sendi demokrasi di Indonesia. Lembaga ini bertujuan untuk ikut mengawal proses demokratisasi di Indonesia, yaitu dengan menciptakan suasana pluralisme dan kebersamaan sebagai satu bangsa Indonesia. Indonesia merupakan suatu bangsa majemuk yang dihuni oleh beragam etnis, suku, dan agama sehingga rawan terhadap konflik horisontal yang berbasis rasialisme maupun agama. Ruang lingkup kinerja eLSA meliputi pemberdayaan antar umat beragama untuk membangun demokrasi di Indonesia.[1]
Singkatan | eLSA |
---|---|
Tanggal pendirian | 16 Agustus 2005 |
Status | Lembaga nirlaba |
Tipe | NGO |
Tujuan | Ikut aktif dalam proses membangun demokrasi di Indonesia supaya tercipta tatanan sosial, politik, ekonomi, hukum yang adil dan beradab.[1] |
Kantor pusat | Kota Semarang |
Lokasi |
|
Wilayah layanan | Indonesia |
Bahasa resmi | Bahasa Indonesia |
Direktur | Tedi Kholiludin |
Badan utama | Badan Pelaksana |
Organisasi induk | Justisia |
Afiliasi | UIN Walisongo |
Situs web | elsaonline |
Pendirian eLSA adalah untuk menegakkan demokrasi di atas basis pluralitas agama, etnis, ras, dan gender. Lembaga ini berupaya untuk membangun suatu perdamaian universal yang dilandasi nilai-nilai kemanusiaan tanpa dibatasi oleh sekat-sekat primordial agama, etnisitas, ras, dan gender; menciptakan keadilan sosial di masyarakat; menumbuhkan kesadaran berdemokrasi; serta menanamkan pentingnya independensi dan civil society.[1]
Pendirian
suntingeLSA didirikan oleh komunitas Justisia, yaitu suatu Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM), Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, yang mulai terbit semenjak tahun 1993. LPM ini memuat berbagai tema, dari isu multikulturalisme hingga Konsep Ketuhanan, sehingga cukup kontroversial dan pernah menjadi sasaran Pemerintah Orde Baru pada tahun 1996. Selain itu, jurnal ini juga mengangkat tema pembelaan terhadap hak minoritas, yakni kaum homoseksual dan waria pada Edisi 25, dan Wahabisme pada Edisi 28.[2]
Komunitas Justisia berkeinginan memiliki ruang untuk bertukar gagasan mengenai pluralisme, demokratisasi, dan pembelaan hak-hak kelompok minoritas dalam ruang publik yang terbuka, yang hanya bisa didapat melalui satu lembaga independen. Selain itu, komunitas ini berkeinginan untuk membangun iklim keilmuan yang kondusif.[2] Akhirnya, eLSA didirikan dan disahkan oleh akta notaris Pengadilan Negeri Kota Semarang No. 2 tanggal 16 Agustus 2005 dengan Dewan Pendiri yang terdiri atas Dr. Abu Hapsin, M. Arja Imroni, Sumanto Al-Qurtuby, dan Dr. Imam Yahya.[1]
Pada awalnya, eLSA hanya mengelola ruang diskusi dengan tema kajian-kajian keislaman yang terbuka, kritis, dan toleran, yang juga disuarakan melalui media cetak, seminar, dan diskusi terbatas. eLSA juga terus membina hubungan dengan kelompok lintas agama. Pada tahun 2009, eLSA melakukan regenerasi dan berekspansi menjadi lembaga penerbitan, serta menjadi bank data untuk kasus-kasus keberagamaan di Jawa Tengah. Lembaga ini turut berpartisipasi dalam melakukan investigasi dan pemantauan terhadap kehidupan keberagamaan, khususnya pada kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB), serta proses advokasi. Lembaga ini juga memperjuangkan hak-hak kelompok minoritas agama, etnis, dan gender.[2]
Deklarasi desa inklusif
suntingeLSA bersama pemerintah, tokoh lintas agama, dan masyarakat Desa Karangrowo mendeklarasikan Desa Inklusif (20-8-2016) yang bertujuan untuk mengingatkan pemerintah dan masyarakat luas untuk bersama-sama menghargai hak penduduk minoritas, khususnya di bidang agama dan kepercayaan, yang selama ini terpinggirkan.[3] deklarasi ini memuat lima poin, yakni bahwa masing-masing elemen masyarakat, yakni Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Pemuda, dan Pemudi:[4]
- bersepakat untuk meneguhkan NKRI, mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945;
- menjunjung tinggi toleransi beragama dan kepercayaan tanpa diskriminasi;
- mengedepankan nilai-nilai budaya lokal;
- saling menghargai dalam perbedaan dan keragaman agama/kepercayaan;
- berkomitmen untuk saling membantu dalam penyelesaian persoalan di masyarakat.
Lihat pula
suntingReferensi
sunting- ^ a b c d "Lembaga Studi Sosial dan Agama (ELSA) Semarang". Wahid Institute. 30-1-2012. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-02. Diakses tanggal 22-8-2016.
- ^ a b c d "Tentang Kami". eLSA. Diakses tanggal 22-8-2016.
- ^ Arifin, M Zaenal (21-8-2016). "Karangrowo Kudus Deklarasikan Desa Inklusif". Tribunnews.com. Tribun Jawa Tengah. Diakses tanggal 22-8-2016.
- ^ Arifin, M Zaenal (21-8-2016). "Karangrowo Kudus Deklarasikan Desa Inklusif". Tribunnews.com. Tribun Jawa Tengah. Diakses tanggal 22-8-2016.