Lokomotif C20
Lokomotif C20 adalah lokomotif uap buatan pabrik Hartmann, Jerman. Lokomotif ini memiliki susunan gandar 0-6-2T dan berat 33,5 ton. Lokomotif ini dapat menggunakan dua bahan bakar: kayu jati.
Lokomotif C20 | |||||||||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
| |||||||||||||||||||||
| |||||||||||||||||||||
|
Sejarah
suntingLokomotif uap C20 didatangkan oleh perusahaan kereta api swasta Nederlandsch-Indische Spoorweg maatschappij (NIS) dari pabrik Hartmann (Jerman) pada tahun 1903 dan 1912 sebanyak 10 lokomotif. Lokomotif ini digunakan untuk melayani angkutan penumpang dan barang pada jalur kereta api milik NIS yaitu rute Gundih–Gambringan–Cepu–Surabaya (selesai dibangun pada tahun 1903) dan Solo–Wonogiri–Baturetno (selesai dibangun pada tahun 1923). 1 buah lokomotif C20 juga dioperasionalkan pada rute Jakarta–Bogor (selesai dibangun oleh NIS pada tahun 1873).[1]
Lokomotif C20 menggunakan bahan bakar batubara atau kayu jati. Namun dengan meningkatnya konsumsi batu bara sehingga batu bara sulit diperoleh, maka kayu jati menjadi bahan bakar utama untuk lokomotif ini. Kayu jati mudah didapat disepanjang jalur kereta api rute Gundih–Surabaya, terutama di daerah Bojonegoro yang masih banyak terdapat hutan jati.
Sementara itu, pembangunan jalur kereta api rute Solo-Wonogiri-Baturetno merupakan wujud kepentingan ekonomi pemerintah Hindia Belanda karena terdapat pabrik gula milik Mangkunegaran di Wonogiri. Pembangunan jalur kereta api ini bagi perkembangan kota Solo sangat penting karena mengubah moda transportasi tradisional ke modern. Saat itu transportasi kereta api di kota Solo dan sekitarnya menjadi satu-satunya angkutan penumpang dan barang jarak dekat yang dikelola NIS. Tidak dimungkiri, adanya jalur kereta api di dalam kota Solo ikut memengaruhi ada perubahan sosial dam kesibukan kota menjadi meningkat.
Secara teknis, posisi tangki lokomotif C20 berada di sisi roda dan memiliki kapasitas air sebanyak 3 m3. Kapasitas tangki yang terbatas ini menjadi salah satu kelemahan dari lokomotif C20. Hal ini cukup merepotkan, karena lokomotif C20 menjadi cepat kehabisan air sehingga lokomotif C20 harus sering berhenti di stasiun untuk mengisi air ke tangki. Untuk mengatasi kendala ini, terutama jika memasuki musim kemarau, maka di setiap stasiun dibangun tower air atau waduk.
Lokomotif C20 memiliki panjang 9420 mm dan berat 33,5 ton. Lokomotif ini memiliki susunan roda 0-6-2T dan dapat melaju hingga kecepatan 60 km/jam.
Dari 10 lokomotif C20, saat ini hanya tersisa 1 lokomotif C20, yaitu C20 01. C20 01 (mulai operasional tahun 1903) dipajang di museum Ambarawa (Jawa Tengah).
Referensi
sunting- ^ Bagus Prayogo, Yoga; Yohanes Sapto, Prabowo; Radityo, Diaz (2017). Kereta Api di Indonesia. Sejarah Lokomotif di Indonesia. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher. hlm. 70. ISBN 978-602-0818-55-9.