Long March Siliwangi

PASUKAN SILIWANGI HIJRAH dan LONGMARCH

Sejarah Perang Kemerdekaan Indonesia sunting

A. Pembentukan dan Perkembangan Awal Kodam III Divisi Siliwangi sunting

Divisi adalah satuan tempur militer terbesar dengan kekuatan penuh secara operasional memiliki kesatuan-kesatuan tempur, berikut unsur pendukungnya yaitu bantuan tempur dan bantuan administrasi, yang berada dalam garis komando divisi tersebut, sehingga tidak perlu mendatangkan dari komando lain di lua divisi.

Divisi Siliwangi adalah kesatuan tempur TNI yang membawahi wilayah KODAM III Jawa Barat yang terdiri dari 5 Brigade dan masing masing Brigade memiliki satuan Resimen, namun dalam perkembangannya menjadi Divisi Siliwangi kemudian membawahi langsung Batalyon sebagai satuan tempurnya.

Masa awal terbentuknya, Divisi Siliwangi terdiri dari 5 Brigade yaitu :

  1. Brigade I Titrayasa di bawah pimpinan Letnan Kolonel Brata Menggala dan Letnan Kolonel Dr. Erie Sadewa sebagai kepala staf. Daerah tanggung jawabnya meliputi seluruh Karesidenan Banten dan sebagian Jakarta Barat.
  2. Brigade II Surya Kencana di bawah pimpinan Letnan Kolonel Kawilarang yang bergerilya di daerah Bogor sampai dengan Cianjur Selatan.
  3. Brigade III Kiansantang dengan Komandan Letnan Kolonel Sidik Bratakusumah yang bergerilya di daerah Jakarta Timur sampai dengan Bandung Utara.
  4. Brigade IV Guntur adalah gabungan dari Guntur I dan Guntur II dengan komandan Letnan Kolonel Daan Jahja. Daerah gerilyanya meliputi Bandung Selatan, Pringan Timur, Bandung Utara sampai sebelah timur.
  5. Brigade V Sunan Gunung Jati yang sebelumnya adalah organisasi Divisi Banyumas dengan Komandan Letnan Kolonel Abimanyu. Daerah gerilyanya adalah Karesidenan Cirebon.

Pembentukan Divisi Siliwangi berawal dari pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang diserukan oleh Presiden Soekarno pada masa awal kemerdekaan dalam keputusan tanggal 30 Agustus 1945. Awal pembentukan BKR di Jawa Barat adalah pada 27 Agustus 1945 dari pertemuan antara Residen Priangan, R. Puradireja dengan R. Sanusi Hardjadinata yang menghasilkan BKR Priangan di bawah pimpinan Arudji Kartawinata dan Omon Abdurachman sebagai wakilnya.

Pertemuan selanjutnya dilaksanakan di Gedung Sirnagalih, Bandung yang dihadiri oleh hampir seluruh mantan anggota Pembela Tanah Air (PETA) Priangan, Heiho, dan Koninkrijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) dengan hasil pembentukan BKR Kabupaten Bandung dipimpin oleh R.Sukanda Bratamanggala, BKR Kota Bandung dipimpin oleh Suhari dan BKR Cimahi dipimpin oleh Gandawidjaya.

Pembentukan BKR Jawa Barat kemudian berlanjut dibeberapa daerah antara lain :

  1. BKR kota Jakarta dengan tokoh pendirinya adalah Latief Hendraningrat, Moeffreni Moe'min, Priatna, S.Kusno, Daan Jahja, Taswin, Daan Mogot, Sujono Yudadibrata, Kemal Idris dan Sadikin.
  2. BKR Karesidenan Jakarta dengan tokoh pendirinya adalah Sumarma, Arjana Prawiraatmaja, Achjar Arif, Halim, Marwoto, dan Amir.
  3. BKR Keresidenan Banten dengan tokoh pendirinya, K.H.Achmad Chotib, K.H.Sjam’un, E.Taryana, Djajarukmantara, K.H.Djunaedi dan H.Abdullah.
  4. BKR Karesidenan Bogor dengan tokoh pendirinya, Gatot Mangkupradja, Eddy Sukardi, Basuni, D. Kosasih, Husein Sastranegara, A.Kosasih, Dule Abdullah.
  5. BKR Karesidenan Priangan dengan tokoh pendirinya, Arudji Kartawinata, Omon Abdurachman, Sjamsu, Abdullah, Suriadarma, Sukanda Bratamanggala, Hidajat, Supari, Sumarsono, Abdurachman.
  6. BKR Karesidenan Cirebon dengan tokoh pendirinya, Asikin, Sumarsono, Rukman, Effendy dan Sjafei.

Di tengah proses pembentukan BKR Jawa Barat ini, muncul seorang mantan pimpinan Seinendan daerah Cigelereng bersama 200 anggotanya yang kemudian menggabungkan diri dengan BKR. Pimpinan Seinendan ini yang kemudian diangkat menjadi penasihat BKR Priangan. Perkembangan BKR sebagai Badan Keamanan Rakyat dan Badan Penolong Korban Perang selanjutnya berdasarkan Maklumat Presiden Sukarno tanggal 5 Oktober 1945 diubah atau dibentuk menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pembentukan TKR di Jawa Barat dipelopori oleh Didi Kartasasmita, seorang mantan Opsir KNIL yang pada September 1945 mendatangi Perdana Mentri Republik Indonesia menawarkan diri membantu perjuangan RI. Sebagai seorang perwira lulusan Koninlijke Military Academy (KMA) Breda berpangkat Letnan satu, Didi Kartasasmita disambut baik oleh Amir Syarifudin karena dirasa akan sangat membantu dalam perjuangan kemerdekaan. Berdasarkan persetujuan Presiden, Didi Kartasasmita kemudian membuat maklumat yang berisi pernyataan bagi para mantan opsir KNIL untuk berdiri di belakang RI yang berisi antara lain kurang lebih tentang pembubaran tentara KNIL sejak 9 Maret 1942 oleh Panglima Tertinggi Tentara Hindia-Belanda, Letnan Jendral Ter Poorten, dan dengan pembubaran itu, maka secara otomatis terbebas dari sumpah setia prajurit. Pertimbangan mengenai keamanan Republik yang tengah terancam dengan keberadaan Nedherland Indhisce Civil Administration (NICA) dan kesadaran akan gerakan kemerdekaan Indonesia, maka para mantan opsir KNIL ini menyatakan berdiri di belakang Republik Indonesia dan siap menerima segala perintah untuk menegakkan dan dan menjaga keamaan Republik Indonesia. Maklumat ini kemudian diikuti dengan surat dukungan yang datang dari para opsir junior, mantan taruna KMA Bandung dan bekas opsir cadangan kepada Didi Kartasasmita pada 8 Oktober 1945.

Petikan surat yang intinya menyatakan dukungan dan bersedia bergabung dengan para perwira opsir senior berisi sebagai berikut :

"Kami bekas Cadettan dan bekas Aspirant-Reserve Officieren Tentara Hindia
Belanda menerangkan, bahwa kami menyetujui pendirian para opsir kami
sebagai tertua dari kami dan berdiri sepenuhnya dibelakang mereka"

Bandung, 8 Oktober 1945

-A.H.Nasution
-R.A.Badjoeri M.M.
-R. Kartakoesoema.
-R.S.Sasraprawira.

Dukungan itu dilanjutkan dengan langkah Didi Kartasasmita menghubungi sejumlah mantan opsir KNIL dari KMA Bandung diantaranya A.H.Nasution, Rahmat Kartakusuma, Daan Jahja, Singgih, Arudji Kartawinata, Asikin Judakusumah, KH Sam’un, Husein Sastranegara dan Sastraprawira untuk berkumpul di Tasikmalaya pada 20 Oktober 1945 dalam usaha pembentukan TKR Jawa Barat.

Pertemuan di Tasikmalaya itu berjalan lancar menghasilkan TKR yang terbagi dalam komandemen-komandemen yang membagi Jawa dalam 3 komandemen dan Jawa Barat masuk dalam bagian komandemen I Jawa Barat dengan susunan :

  1. Panglima Komandemen : Mayor Jendral Didi Kartasasmita
  2. Kepala Staf : Kolonel A.H.Nasution
  3. Staff Komandemen : Letnan Kolonel Kartakusumah, Mayor Akil, Mayor Kadir, Mayor Suryo dan Kapten Satari

Satuan Tempur Komandemen 1 Jawa Barat adalah terdiri dari 3 (tiga) Divisi :

  1. Divisi I TKR : Komandan Kol. KH Syam'un, meliputi wilayah Banten dan Bogor
  2. Divisi 2 TKR : Komandan Kol. Asikin, meliputi wilayah Jakarta hingga Linggarjati - Cirebon
  3. Divisi 3 TKR : Komandan Aruji Kartawinata, daerah Priangan - Bandung hingga Sukabumi

Sepuluh bulan kemudian baru pada tanggal 20 Mei 1946 bertepatan dengan hari Kebangkitan Nasional formasi itu kemudian dilebur dalam satu divisi dengan nama Divisi Siliwangi.

Tanggal 20 Mei ini kemudian diperingati sebagai hari jadi Divisi Siliwangi. Tiga hari kemudian tanggal 23 Mei dalam rapat seluruh komandan Jawa dan Madura A.H.Nasution terpilih sebagai Panglima Divisi Siliwangi dengan pangkat Jendral Mayor.

Formasi ini menjadi susunan awal terbentuknya Divisi Siliwangi seperti yang disebutkan diawal dan pada perkembangannya formasi ini terjadi beberapa perubahan hingga menjelang hijrahnya Siliwangi.

B. Perjuangan Divisi Siliwangi sebelum Hijrah pada Perang Revolusi sunting

Masa Agresi Militer Belanda I dimulai pada 21 Juli 1947.14 Jawa Barat diserang dengan Strategi Ujung (speerpunter strategie) oleh Divisi B pimpinan Mayjen S.De Waal dan Divisi C pimpinan Mayjen H.J.J.W. Durt Britt, kedua divisi ini mengandalkan mobilitas tinggi dengan dukungan pasukan artileri dan bantuan udara..

Pasukan Belanda berhasil menerobos pertahanan TNI di sektor Bandung Timur, setelah dilakukan pergantian pertahanan oleh Divisi II/Sunan Gunung Jati dari Jawa Tengah.

Gempuran dalam empat hari pertama Belanda berhasil menduduki kota Cirebon. Akhir Agustus 1947 diketahui hanya Brigade I Banten yang masih utuh, sementara Brigade II Surya Kencana, Brigade III Kiansantang, Brigade IV Guntur dan Brigade V Sunan Gunung Jati bergeser dan melakukan pertahanan di pegunungan-pegunungan.

Serangan Belanda yang mampu menerobos pertahanan TNI akhirnya memberikan pelajaran baru, bahwa dengan strategi pertahanan linier dalam kondisi pasukan dan persenjataan yang kurang memadai hanya akan membuang tenaga karena TNI saat itu memang masih jauh secara kemampuan dan persenjataan bila dibandingkan dengan Belanda yang militernya lebih maju.

Akhir Agustus 1947 pasukan Siliwangi mulai menyusun kembali kekuatan dan kesatuannya dengan memanfaatkan kondisi alam atau medan pertempuran yang berupa pegunungan-pegunungan di mana pasukan TNI lebih mengenal dan menguasai medan dibanding pasukan Belanda. TNI menyusun kesatuannya dalam kantong-kantong pertahanan gerilya dengan mengikutsertakan unsur-unsur Pemerintahan RI dan rakyat yang dikenal dengan Perang Rakyat Semesta atau perang Gerilya TNI..

Serangan gerilya ditujukan pada sektor-sektor penting seperti jalan-jalan penghubung, jalur logistik, pos Belanda. Jalur Tasikmalaya- Garut, Ciamis-Kuningan, Bogor-Sukabumi oleh Belanda dinyatakan sebagai “Jalur Maut” karena serangan gerilya TNI.

Kesatuan Siliwangi yang sudah mulai terkondisikan berhasil mengadakan pertemuan pada November 1947 di Taraju, Tasikmalaya Selatan yang dihadiri oleh Kolonel A.H.Nasution, Kolonel Hidayat, Letkol Sutoko, Letkol H.Y.Mokoginta, Mayor Rambe, Kapten D.Suprayogi, Kapten Sakadipura, Kapten Kresno, Letkol Eddy Sukardi, Mayor Sidik Brotosewoyo, Mayor Askari, Kapten Hadi, Kapten Saragin, Kapten Djerman Prawirawinata, Kapten S.L.Tobing, Lettu Tatang Soemantri, Kapten Sugilar, Lettu Ace Kapten Zen dan Lettu Abas Herwan.

Pertemuan tersebut guna menyampaikan instruksi kepada setiap kesatuan dari Divisi Siliwangi yang berisi tentang pembentukan kantong- kantong pertahanan bagi kesatuan TNI. Kantong pertahanan ini kemudian dinamakan Wehrkreise. yang merata dibentuk di semua distrik. Untuk itu pasukan disebar dan dikembalikan ke daerah asalnya. Membentuk organisasi wehrkreise, sub wehrkreise gerilya sebagai pemerintah militer yang dinamakan Komando Distrik Militer (KDM) dan kader-kader desa. Tiap-tiap wehrkreise harus menegakkan terus de facto RI secara gerilya.

Strategi perang gerilya ini dalam prakteknya mampu mengacaukan barisan pertahanan Belanda, bahkan gerakan anti gerilya yang dilancarkan Belanda tak mampu membendung serangan gerilya TNI.

Di Jawa Barat perang gerilya oleh pasukan Siliwangi mampu melumpuhkan usaha perkebunan yang merupakan sektor ekonomi penting bagi Belanda hingga para pengusaha partikelir menuntut jaminan keamanan dari pihak Belanda.

Kondisi ini kemudian membawa Indonesia dan Belanda dalam sebuah perundingan di bawah pengawasan Komisi Tiga Negara (KTN) yang dibentuk oleh PBB pada 27 Agustus 1947. KTN ini terdiri dari negara Australia sebagai wakil pihak Indonesia, Belgia sebagai wakil pihak Belanda dan Amerika Serikat sebagai penengah yang dipilih oleh kedua negara. Diplomat KTN ini terdiri dari Dr. Frank P Graham, Presiden Universitas North Carolina, Richard C Kirby dan Paul Van Zaeland..

Perundingan dilakukan di atas kapal perang Amerika U.S.Renville yang kemudian melahirkan Perjanjian Renville 17 Januari 1948 dimana perjanjian itu membawa dampak besar bagi pemerintahan RI yaitu jatuhnya kabinet Amir Syarifudin dan juga bagi TNI yaitu dengan menarik pasukan ke dalam wilayah republik yang kemudian dikenal dengan hijrahnya pasukan Siliwangi dari Jawa Barat.

Peristiwa hirjah ini kemudian menjadi babak baru perjuangan Siliwangi dalam perang kemerdekaan bersama dinamika politik pemerintahan serta desakan Belanda secara militer maupun secara politis.

C. Hijrah Divisi Siliwangi ke Wilayah RI sunting

Perjanjian Renville dalam isinya menuntut kepada pihak Republik untuk menarik pasukan TNI keluar dari garis Van mook atau garis status quo menyusul serangan gerilya TNI yang merepotkan daerah-daerah pertahanan Belanda. Pasal-pasal perjanjian Renville yang merugikan pihak Republik diantaranya :

  1. Bahwa suatu perintah tinggal tetap (stand fast) dan dikeluarkan oleh kedua belah pihak masing-masing serta serentak dengan segera sesudah ditandatangani persetujuan ini dan akan berlaku sepenuhnya di dalam empat puluh delapan jam. Perintah itu berlaku untuk pasukan-pasukan kedua belah pihak di sepanjang garis daerah-daerah seperti dimaksud dalam Proklamasi Pemerintah Hindia Belanda pada 29 Agustus 1947, yang akan dinamakan garis status quo, dan di daerah-daerah seperti yang dimaksud dalam ayat tersebut.
  2. Bahwa terlebih dahulu dan buat sementara waktu akan diadakan bentuk daerah-daerah yang akan dikosongkan oleh tentara (militerized-zone), pada umumnya sesuai dengan garis status quo, tersebut di atas. Daerah-daerah itu pada intinya mengenai daerah- daerah diantara garis status quo, disatu pihak garis kedudukan Belanda dan dipihak lain pihak garis kedudukan Republik itu lebarnya rata-rata sebanding.

Pasal yang menyebutkan mengenai pemindahan pasukan TNI keluar dari garis status quo antara lain :

  • Kesatuan dari pasukan-pasukan TNI yang masih berada di daerah yang dikuasai oleh tentara Belanda akan dipindahkan ke daerah mereka sendiri dengan membawa senjata, perlengkapan serta alat-alat perang.
  • Pemindahan ini akan dilakukan dengan bantuan dan dibawah pengawasan pembantu-pembantu milter Komisi Tiga Negara. Instruksi-instruksi selanjutnya akan dikeluarkan oleh Kepala Staf Umum masing-masing setelah bermusyawarah dengan pembantu- pembantu tersebut dan dengan pembesar-pembesar pihak lain.
  • Pemindahan-pemindahan akan dilaksanankan dan diselesaikan selekas mungkin, selambat-lambatnya dalam 21 hari setelah penandatanganan dan perjanjian gencatan senjata.. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, tidak hanya Divisi Siliwangi yang harus melakukan hijrah. Divisi Brawijaya dari Jawa Timur yang terdiri dari Brigade Narotama, Suropati dan Ronggolawe pun juga harus meninggalkan markasnya.

Jawa Barat wilayah yang masih dimiliki Republik berdasarkan garis status qou yaitu meliputi:

  • Serang laut,
  • Timur Djati,
  • Putat,
  • Timur Taru,
  • Tjarewod,
  • Bitung,
  • Tjurug,
  • Sumedang Wetan,
  • Tjimantjeuri Timur,
  • Parungpandjang,
  • Dago hilir,
  • Timur Sineh,
  • Tengah Pahong Hilir,
  • Padurungan,
  • Tjicempuan,
  • garis tengah Kalong durian,
  • Gunung Kendang,
  • Tjibareno,
  • batas Karesidenan Bogor,
  • Banten
  • sebelah timur Bantar kelapa.

Pasukan Siliwangi di Jawa Barat mendapatkan perintah hijrah dari Jendral Sudirman melalui ”Tim Perhubungan” yang dibentuk di Yogyakarta untuk menyampaikan perintah hijrah secara langsung kepada panglima divisi dan komandan brigade Divisi Siliwangi.

Tim perhubungan ini dipilih dari perwira yang dianggap mengenal baik pribadi para pimpinan Divisi Siliwangi. Tidak semua pasukan Siliwangi dihijrahkan karena sesuai perintah Jendral Sudirman agar sebagian pasukan tetap melakukan aksi-aksi gerilya terhadap Belanda untuk tetap menjaga de facto wilayah RI di Banten Jawa Barat.

Pemerintah membentuk panitia hijrah berdasarkan Penetapan Presiden No.4 tahun 1948 tanggal 2 Februari 1948 tentang pembentukan Panitia Hijrah. untuk memperlancar pelaksanaan hijrah. Panitia ini bertugas menyiapkan kebutuhan logistik dan menyediakan alat-alat trasnportasi bagi pasukan yang berhijrah.

Susunan panitia hijrah yang dibentuk adalah sebagai berikut :

  • Ketua : Arudji Kartawinata (Kementrian Pertahanan)
  • Wakil Ketua I : Jendral Mayor Ir. Sakirman (TNI bag. Mayarakat)
  • Wakil Ketua II : Moh.Siraj (Kementrian Dalam Negeri)
  • Ketua Sekertaris : Dr. Hutagalung (Kementrian Pertahanan)
  • Wakil Ketua Sekertaris : Mayor Haryono (Anggota Panitia Istimewa).

Panitia hijrah yang telah terbentuk kemudian mengadakan perundingan dengan Belanda dibawah pengawasan KTN terkait tatacara pengangkutan prajurit TNI. Pasukan Siliwangi muncul dari kantong-kantong gerilya nya seperti harimau keluar dari kandangnya untuk melaksanakan perintah hijrah. Prajurit Siliwangi tampak tegap, bugar dengan membawa senjata masing-masing membuat tentara Belanda segan dan menyadari bahwa selama ini markas mereka berada sangat dekat dengan posisi para gerilyawan Siliwangi.

Pasukan Siliwangi berkumpul di stasiun-stasiun kereta api yang telah ditentukan oleh panitia hijrah untuk kemudian diberangkatkan secara bersama- sama. Tempat pengumpulan prajurit diantaranya di stasiun Sukabumi menjadi tempat berkumpulnya Brigade II/Suryakencana pimpinan Letnan Kolonel A.E.Kawilarang, stasiun Purwakarta menjadi tempat berkumpulnya Brigade III/Kian Santang pimpinan Letnan Kolonel Sadikin dan stasiun Padalarang menjadi tempat berkumpulnya Brigade V/Guntur II pimpinan Letnan Kolonel Daan Yahya..

Pasukan ini kemudian berkumpul di Tasikmalaya untuk kemudian diberangkatkan ke Yogyakarta. Melalui jalur darat proses hijrah ditempuh dengan tiga cara yaitu :

- Dengan kereta api, dengan truk dan dengan jalan kaki. Jalur kereta api dilakukan oleh tiga Brigade yang sebelumnya telah dikumpulkan di Tasikmalaya kemudian melalui stasiun Parujakan Cirebon, Gombong menuju Yogyakarta.

- Perjalanan dengan truk ditempuh pasukan Brigade IV/Guntur I dan Brigade VI/Sunan Gunung Jati. Pemberangkatan dimulai dari lapangan terbang Cibeurem Tasikmalaya mengangkut sekitar 2.000 prajurit yang sebelumnya telah ditanya tentang kesediaannya untuk berhijrah dibawa menuju stasiun Kutoarjo kemudian melanjutkan perjalanan dengan kereta api..

Sekitar 2.000 prajurit lainnya memutuskan untuk tetap melanjutkan aksi gerilya di bawah pimpinan Mayor Sugiharto dari Batalyon 22 Cililin, Bandung.

  • Brigade VI/Sunan Gunung Jati diangkut dari Kuningan menuju Gombong dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju Karang Anyar dan ketika sampai di Kebumen pasukan hijrah mendapatkan hiburan kethoprak yang diselenggarakan oleh panitia hijrah dan mendapatkan uang saku sebesar Rp. 100,- setiap masing-masing prajurit..
  • Hijrah pasukan Siliwangi dari Jawa Barat dengan berjalan kaki juga ditempuh satuan pengawal staf divisi tergabung dalam satuan Detasemen.di bawah pimpinan Kapten Leo Loulisa, Kapten Suparyadi dan Kapten Suparman..
  • Batalyon MBT (Markas Besar Tentara) pimpinan Mayor R.A.Nasuhi turut serta dalam hijrah berjalan kaki melalui rute Kuningan-Ciamis- Gunung Slamet-Pegunungan Dieng-Karangkobar-Banjarnegara-Wonosobo. Selama perjalanan hijrah senjata pasukan Siliwangi dikumpulkan menjadi satu dalam satu gerbong dan diawasi secara ketat oleh TNI sendiri dan dalam perjalanan hijrah juga dikawal oleh tentara Belanda bagi satuan yang menggunakan kereta api dan truk.
  • Jalur laut pasukan hijrah terlebih dahulu berkumpul di pelabuhan Cirebon untuk kemudian diberangkatan dengan dengan kapal barang Plancius dan LST menuju Rembang.. Di pelabuhan Rembang pasukan hijrah disambut oleh Bupati Rembang, Sukardji dan Jendral Mayor Djatikusumo Panglima Divisi V/Ronggolawe kemudian diberangkatkan ke Yogyakarta dengan Truk setelah sebelumnya mendapatkan jamuan di pendopo kabupaten Rembang.

Pemberangkatan prajurit hijrah Siliwangi secara teknis militernya dilakukan dalam dua eselon yaitu eselon I dibawah pimpinan A.E.Kawilarang dan didampingi Letnan Kolonel Kusno Utomo sebagai Kepala Staf dengan membawa batalyon-batalyon yang dipimpin Mayor Kemal Idris, Mayor A.Kosasih, Mayor Daeng dan Mayor Ahmad Wiranata Kusumah yang menempatkan basis pasukannya di Yogyakarta.

Eselon II dibawah pimpinan Letnan Kolonel Abimanyu yang kemudian digantikan Letnan Kolonel Sadikin dengan kepala staf Mayor Syamsu dengan membawa batalyon-batalyon yang dipimpin Mayor Umar, Mayor Rukman, Mayor Sambas, dan Mayor Sentot Iskandardinata yang menempatkan basis pasukannya di Surakarta.

Brigade cadangan Siliwangi di bawah pimpinan Letnan Kolonel Eddy Sukardi ditempatkan di Magelang.. Sesuai perintah awal dari Jendral Sudirman bahwa untuk tidak menghijrahkan semua prajurit Siliwangi dan menyisakan sebagian kesatuan unuk tetap melakukan gerilya di wilayah Republik Indonesia di Jawa Barat.

Pasukan yang masih bertahan adalah Brigade I/Tirtayasa yang menduduki wilayah Banten di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala, yang kemudian digantikan oleh Mayor dr. Eri Sudewa yang ditugaskan langsung oleh Muhammad Hatta untuk menyiapkan pertahanan daerah Banten.

Dokter Eri Sudewa adalah seorang dokter berpangkat Mayor yang mulai 1 Maret 1949 berikrar akan membuat seluruh Banten menjadi neraka bagi Belanda. kemudian Batalyon 22 Mayor Sugiharto yang memutuskan untuk tidak ikut hijrah juga menggabungkan diri dengan Brigade I/ Tirtayasa dibantu juga oleh pasukan dari laskar Hizbullah dan Sabilillah..

Panglima Divisi Siliwangi juga turut bersama pasukan hijrah melalui jalur laut berangkat dari Cirebon setelah menempuh rute Deudel-Tasikmalaya-Ciamis-Kuningan-Cirebon kemudian menuju Rembang dan tiba di Yogyakarta pada 12 Februari 1948 setelah sebelumnya rombongan pertama tiba di stasiun Tugu pada 11 Februari 1948.

A.H.Nasution bersama para komandan brigadenya kemudian melaporkan diri kepada Panglima Besar Jendral Sudirman.

Laporan itu kemudian ditindaklanjuti oleh Kepala Staf Umum Letnan Jendral Urip Sumoharjo dengan memerintahkan Panglima menyusun rencana pertahanan berdasarkan perang gerilyanya di Jawa Barat. Panglima Siliwangi yang kemudian diangkat menjadi wakil Panglima Besar diminta menyusun konsep rekonstruksi teritorium yang menjadi bagian dari rencana rasionalisasi untuk persiapan perang gerilya dan pertahanan dengan mendayagunakan pengalaman Divisi Siliwangi.

Panglima Siliwangi mengajukan rancangan konsep tentang pertahanan dan gerilya yang berisi antara lain : Penyerbuan Belanda tidak mungkin ditahan, paling banyak hanya diperlambat dengan gangguan serta bumi hangus, untuk memperoleh waktu dan ruang yang sebanyak mungkin untuk mengungsikan pasukan-pasukan,alat-alat,pegawai- pegawai dan rakyat ke kantong pedalaman.

Pokok perlawanan adalah perang gerilya, yang disatu pihak agresif terhadap musuh dan di lain pihak bersifat konstruktif dapat menegakkan de facto RI dalam arti militer dan sipil di kantong kantong yang sebanyak mungkin.

Diperlukan dukungan dari setiap lapisan untuk membantu menentukan kemenangan TNI yaitu dari lapisan terbawah di pemerintahan yaitu pimpinan yang totaliter dalam tangan lurah, Komando Onderdistrik Militer (KODM), Komando Distrik Militer (KDM), Gubernur Militer daerah dan Panglima pulau. Dewan Pertahanan Nasional (DPN) dan Dewan Pertahanan Daerah (DPD) harus ditiadakan, Politik nonkooperasi dan nonkontak yang tegas.

Menempatkan pasukan dalam porsi ideal di wilayah- wilayah Republik dengan perbandingan komposisi batalyon mobil, lebih kurang satu batalyon ditiap karesidenan, untuk tugas-tugas menyerang (bersenjata 1:1), batalyon-batalyon teritorial lebih kurang satu batalyon ditiap kabupaten untuk perlawanan statis (bersenjata 1:3-5), kader teritorial untuk kader desa, KODM, KDM dan seterusnya ke atas. Meng-wingate-kan pasukan-pasukan kita ke daerah federal di Jawa khususnya dan di seberang umumnya. Pasukan-pasukan asal Jawa Barat, Besuki, Kalimantan dan sebagainya disusun untuk tugas-tugas itu..

D. Divisi Siliwangi di Surakarta dan Awal Ketegangan dengan Divisi Panembahan Senopati sunting

Pasukan hijrah Siliwangi ditempatkan di daerah-daerah republik menurut garis demarkasi Van Mook yang telah disepakati dalam perjanjian Linggarjati dan kemudian ditegaskan lagi dalam perjanjian Renville 17 Januari 1947. Penempatan pasukan Siliwangi dipusatkan di tiga titik utama wilayah Republik Indonesia untuk melindungi Ibu Kota Yogyakarta, di antaranya di Yogyakarta sendiri yang pasukan Siliwangi di bawah komando Letnan Kolonel A.E.Kawilarang tergabung dalam Brigade I Siliwangi, di Surakarta di bawah komando Letnan Kolonel Sadikin yang tergabung dalam Brigade II Siliwangi, dan Brigade cadangan di bawah komando Letnan Kolonel Eddy Sukardi yang ditempatkan di Magelang sebagai garis depan pertahanan terhadap Belanda yang berpusat di Semarang.

Sebagian pasukan dari Jawa Barat juga ditempatkan di Madiun, dan beberapa Detasemen yang ditempatkan di Cepu, Pati dan Bojonegoro.. Panglima Divisi Siliwangi, segera mengeluarkan Amanat Panglima Siliwangi setelah seluruh pasukan hijrah tiba dan ditempatkan di wilayahnya masing- masing. Amanat itu tertuang dalam Perintah Harian No.1/Dt/48 tanggal 17 Februari 1948 yang kemudian dijadikan pedoman bertindak bagi pasukan Siliwangi selama berada di daerah hijrah. Perintah harian Panglima Siliwangi itu kurang lebih berisi sebagai berikut :

"Divisi Siliwangi memindahkan kedudukan ke Jawa Tengah, atas dasar perintah petunjuk pimpinan tentara sebagai pemenuhan persetujuan pemerintah Republik dengan pihak Belanda.

Semua ini tidak berarti bahwa divisi ataupun satu-satu anggotanya terlepas dari kewajiban dan keharusan sebagai satuan tentara dan sebagai warga negara. Konsekuensi daripada poin dua ialah bahwa : Kesatuan divisi tetap, nama divisi tetap, karena itu kehormatan divisi tetap dipertahankan. Di mana kita berada dalam daerah tanggung jawab divisi lain, yang menjadi teman kawan seperjuangan kita.

Dengan ini diperintahkan jangan mengorbankan nama baik Silwangi dengan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan kehormatan prajurit. Jangan mengecewakan kawan-kawan kita di sini dengan tidak mengindahkan tanggung jawab mengenai ketentaraan, keamanan, dan ketertiban daerah. Jangan memberatkan kewajiban pimpinan sendiri. Perlihatkan bahwa tempat dalam hati rakyat untukmu tidak sia-sia diadakannya.

Amanat yang kami berikan padamu ialah melihat ke depan dengan hati yang teguh, bahwa kita akan meneruskan tradisi perjuangan Siliwangi, tetap melindungi negara ke luar dan ke dalam, dengan disiplin dengan tertib. Perjuangan masih akan tetap sulit, maka itu teguhkan hatimu dan kuatkan tekadmu, aku akan berjuang dengan tidak kepalang.”

Surakarta menjadi salah satu tempat pemusatan prajurit Siliwangi di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sadikin yang tergabung dalam Brigade II Siliwangi membawahi 4 Batalyon di antaranya batalyon I/Sunan Gunung Jati di bawah Mayor Rukman berkedudukan di Tasikmadu, Batalyon II/Tarumanegara di bawah Mayor Sentot Iskandardinata berkedudukan di Delanggu bersama satu kompi Cokrotulung,

Batalyon III/ Ciremai di bawah Mayor Umar berkedudukan di Colomadu, dan Batalyon IV/Kian Santang di bawah Mayor Sambas Atmadinata berkedudukan di Ngawi yang kemudian dipindahkan ke Sragen. Brigade ini dikawal oleh Kompi III dari Batalyon Ciremai pimpinan Kapten Oking..

Jumlah ini bertambah dengan pindahnya SDS (Staf Divisi Siliwangi) dari Yogyakarta ke Surakarta di bawah pimpinan Kepala Staf Letnan Kolonel Abimanyu pada Juli 1948 dengan susunan Staf Divisi sebagai berikut :

a. Opsir Security/Intellegence SDS (Asisten Intelejen) Mayor Kosasih

b. Opsir Operation (Asisten Operasi) Mayor Krisno Abdulkadir dan Kapten Sani Lupias sebagai wakilnya.

c. Opsir Organisasi/ Personalia Mayor Pepep Cakradipura, kemudian digantikan Mayor Sara gih.

d. Opsir Suplai (Asisten Logistik) Mayor Taswin kemudian digantikan Mayor Suprayogi.

e. Komandan Regu Administrasi Letnan I Wachyu Hagono.

Pengawalan Staf Divisi ditugaskan kepada Kompi II Batalyon Tarumanegara di bawah pimpinan Kapten Komir Kartaman yang kemudian dibentuk menjadi Kotreop (Commando Troops) atau pasukan khusus pengawal Staf Divisi yang terdiri dari markas batalyon dan 3 kompi di bawah pimpinan Mayor Umar Wirahadikusumah. Markas Divisi bertempat di pabrik Blima, jalan Kleco, Solo dengan kondisi sederhana dan seadanya sedangkan pengawal staf menggunakan ruangan yang digunakan untuk menyimpan mesin-mesin pabrik.

Tidak jarang mereka juga harus berpindah-pindah menyesuaikan kondisi darurat yang sedang dihadapi. Keberadaan pasukan Siliwangi di Surakarta awalnya disambut dengan baik oleh masyarakat Jawa Tengah, namun ada beberapa masalah yang kemudian timbul karena sebutan”tentara kantong” dan ejekan dari pejuang-pejuang di Surakarta yang telah terpengaruh oleh isu-isu yang dilancarkan golongan PKI/FDR yang menyebut Siliwangi sebagai “Gendarmeri”,”Stoot Leger Wilhelmina” atau tentara kolonial yang berkedok Siliwangi.

Masalah yang dihadapi Siliwangi di Surakarta bertambah ketika pada tanggal 23 Januari pemerintah mengumumkan pembubaran Kabinet Amir Syarifudin dan mengangkat Muhammad Hatta untuk menyusun kabinet baru dengan program Rasionalisasinya yang mengancam posisi golongan komunis dalam pemerintahan maupun dalam kemiliteran.

Kebijaksanaan politik pemerintah Muhammad Hatta ditentang oleh golongan oposisi, PKI dan Partai Sosialis Amir Syarifudin dengan membentuk FDR yang berusaha menggalang kekuatan sebanyak-banyaknya untuk menentang Rasionalisasi.

Pasukan Siliwangi dibujuk oleh FDR untuk memperkuat dukungan kekuatan FDR, namun bujukan itu tidak berhasil dan hasilnya FDR memusuhi Siliwangi dengan melancarkan fitnah-fitnah dengan menuduh bahwa Siliwangi adalah alat pemukul yang dimiliki kabinet Muhammad Hatta sebagai pemimpin pemerintahan yang menerima rencana Spoor berupa peleburan TNI dalam KNIL yang komando tertingginya dipegang oleh Jendral Spoor.

Muhammad Hatta merencanakan program Rasionalisasi yang kemudian menjadi masalah bagi pasukan Siliwangi, Divisi Siliwangi tahun 1946 sampai 1948, telah diadakan tiga kali Re-Ra. Peristiwa ini merupakan hal yang sulit dilupakan mengingat rakyat secara sukarela berjuang dan masuk TNI demi membela bangsa dan tanah air. Namun demi menyelaraskan jumlah personil yang cukup dalam kwantitas dan kwalitas dan jumlah logistik yang mampu disediakan pemerintah, serta untuk mencapai efektivitas kerja. Tidak sedikit anggota Siliwangi yang di PHK.

Posisinya yang sedang hijrah di wilayah pertahanan divisi lain, rencana Rasionalisasi ini justru digunakan oleh FDR untuk menyebarkan fitnah bahwa rencana Rasionalisasi itu adalah salah satu upaya peleburan TNI dengan KNIL. Hijrah memaksa Rasionalisasi dan pengelompokan baru, serta mempelajari ide-ide baru tentang pola perang rakyat yang dilancarkan pada agresi militer pertama Belanda di Jawa Barat. Siliwangi dipusatkan sebagai kesatuan mobil dan selebihnya sebagai kesatuan kerangka persiapan kesatuan teritorial.

Rapat rekonstruksi Siliwangi pertama diadakan oleh para perwira senior di rumah Walikota Solo Syamsurizal pada pertengahan Maret 1948. Pertimbangan mengenai pengalaman perang menghadapi serangan Belanda masa agresi pertama dengan pertahanan linier konvensional yang tidak efektif karena mengacaukan barisan pertahanan akhirnya menimbulkan konsep baru pertahanan wilayah dan taktik gerilya dengan mengandalkan komando batalyon.

Rapat itu kemudian menghasilkan keputusan bagi Divisi Siliwangi bahwa mereka tidak akan bertahan di Jawa Tengah maupun Jawa Timur apabila Belanda melancarkan agresinya. Pasukan Siliwangi akan kembali ke Jawa Barat dengan tiga Brigade yang telah disiapkan dalam penempatannya selama hijrah di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta.

Hasil rapat ini kemudian menjadi pedoman bagi rekonstruksi Divisi Siliwangi dengan tidak memecah kesatuan-kesatuan Siliwangi guna membantu memperkuat garis pertahanan di daerah-daerah. Divisi Siliwangi dikelompokkan dalam Kesatuan Reserve Umum (KRU) dengan tiga puluh batalyon yang dikelompokkan dalam lima brigade dalam susunan batalyon-batalyon mobil untuk melakukan infiltrasi ke Jawa Barat.

bersambung ke Hijrah Siliwangi

Referensi sunting

1. Amar, D. (1963). Bandung Lautan Api. Bandung: Pusat Sedjarah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat.

2. Crouch, H. (1999). Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. <ref>

3. Disjardam VI Siliwangi. (1979). Siliwangi dari Masa ke Masa. Bandung: Angkasa.<ref> <ref>

4. Ekadjati, E. (1980). Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Jawa Barat. Jakarta: Depdikbud.<ref> <ref>

5. Gootschalk, L. (1986). Mengerti Sejarah. Jakarta:UI Press.<ref> <ref>

6. Indonesian State Secretariat . (1975). Thirty Years Of Indonesia Indepedence, 1945-1975. Jakarta: State Secretariat.<ref> <ref>

7. Taswin, Letn. Kol, (1950). “Surat Dari Basis Komandan Djakarta Raya Kepada Sofjan Safei, Kapten Djauhari, Kmd.Bat.T. dan Kapten Sudjono Judo” No.11/adj/BGO/50 (29 Januari 1950).<ref> <ref>

8. Tim Kerja DHD’45 Jawa Barat (2005). Rute Perjuangan Kemerdekaan dan Pelakunya di Jawa Barat. Bandung: DHD’45.<ref>

9. Nasution, AH. (1955). Tjatatan-Tjatatan Sekitar Politik Militer Indonesia. Jakarta: CV. Pembimbing. * (1973). Kekarjaan ABRI. Jakarta: Seruling Bangsa. * (1968). Tentara Nasional Indonesia II. Jakarta: Seruling Bangsa. * (1983). Memenuhi Panggilan Tugas. Jilid.III. Jakarta: Gedung Sate.

10. Poesponegoro, M.D, Notosusanto,N. (1993). Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.

11. Pusat Sejarah Militer Angkatan Darat. (1965). Peranan TNI Angkatan Darat Dalam Perang Kemerdekaan, Revolusi Pisik 1945-1950. Bandung: Pusat Sejarah Angkatan Darat.

12. Pusat Sejarah Militer Angkatan Darat (1979). Sedjarah TNI-AD 1945-1973 bagian 2. Bandung: Pusat Sejarah Angkatan Darat.

13. Pusat Sejarah Militer Angkatan Darat. (1979). Cuplikan Sejarah Perjuangan TNI-AD. Bandung: Dinas Sejarah Militer TNI AD dan Fa. Majuma.

14. Pusat Sejarah Militer Angkatan Darat.(2004). Sudirman & Sudirman. Bandung: CV.Grayana.

15. Ricklefs, M.C. (1998). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

16. Sedjarah Militer Kodam VI Siliwangi.(1968). Siliwangi Dari Masa Ke Masa. Jakarta: Fakta Mahjuma.

17. Taram, sastranegara, Yahya, Aam, R. H., Iip D (2019). Letjen TNi (Purn.) Achmad Wiranatakusumah. Jakarta: PT kompas media Nusantara. hlm. 163 s/d 172. ISBN 978-602-412-623-0.

18. Taram, Sastranegara, D yahya., Aam, R. H. ,Iip (2019). Letjen TNI (Purn.) Achmad Wiranatakusumah "Komandan Siluman Merah". Jakarta: PT kompas Media Nusantara. hlm. 163 s/d 172. ISBN 978-602-412-623-0.

19. https://historia.id/militer/articles/darah-dan-air-mata-long-march-siliwangi-6jMnL/page/1