Makara (Dewanagari: मकर; ,IASTMakara, मकर) adalah makhluk legendaris dalam mitologi Hindu yang kerap digambarkan dalam dalam seni rupa Hindu-Buddha Asia Selatan dan Tenggara. Makara merupakan hewan yang diasosiasikan dengan air dan digambarkan sebagai wahana atau kendaraan Dewa Baruna maupun Dewi Gangga.[1]

Pahatan Makara sebagai ornamen lidah tangga di Candi Bubrah, Jawa

Nama sunting

Makara merupakan kata Sanskerta yang kurang lebih bermakna "naga laut" atau "makhluk air". Makara juga dikenal dalam sejumlah bahasa lain dengan nama yang menunjukkan pemahamannya sebagai hewan gabungan, sebagaimana dalam bahasa Bali yang kadang mengenal makara dengan nama gajah mina (ᬕᬚᬄᬫᬶᬦ, secara harfiah berarti "gajah-ikan"). Dalam perkembangannya di sejumlah tradisi India, rupa dan nama makara diasosiasikan dengan buaya dan bahkan menjadi akar kata bahasa Hindi modern untuk buaya: magar (मगर).[2]

Rupa sunting

 
Ornamen logam, Nepal. Dalam banyak tradisi, makara merupakan hewan campuran yang umum digambarkan dengan badan ikan, rahang buaya, dan belalai gajah
 
Lukisan makara sebagai wahana, atau kendaraan, Dewa Baruna dari India. Sejumlah tradisi India kerap menggambarkan makara dalam gubahan yang menyerupai buaya

Makara umumnya digambarkan sebagai hewan campuran; bagian badan dan ekor makara mengadaptasi hewan-hewan air bersisik seperti ikan atau buaya sementara bagian kepalanya merupakan campuran dari mamalia yang meliputi gajah, rusa, dan celeng.[3] Rupa makara dengan ekor ikan, rahang buaya, dan belalai gajah kemudian harinya menjadi gubahan umum yang digunakan dalam berbagai tradisi.[4] Sejumlah kajian menunjukkan bahwa hewan buaya tampaknya menjadi inspirasi awal makara[1] yang seiring waktu menjadi lebih rumit dan dicampur dengan hewan-hewan lainnya hingga menjadi sebuah hewan hibrida legendaris. Sejumlah tradisi India kerap menggambarkan makara dalam gubahan yang masih menyerupai buaya meski memiliki elemen-elemen campuran, dan pemahaman makara sebagai ekivalen buaya hingga kini masih dapat ditemui dalam sejumlah seni rupa dan sastra India.[3] Hewan nyata lainnya yang juga diduga menjadi inspirasi awal makara meliputi dugong[5] dan lumba-lumba Gangga.[2]

Peran sunting

Sebagai makhluk air, makara dikonotasikan dengan air yang membawa kehidupan, kesuburan, serta tumbuh-tumbuhan. Namun begitu, makara tidak sepenuhnya dianggap baik dan memiliki aspek hewan buas yang liar dan mengancam. Kedua aspek ini berkembang dari asosiasi makara dengan dewa-dewi air yang memiliki aspek serupa. Sejak zaman Weda India kuno, Makara dikenal sebagai wahana atau kendaraan Dewa Baruna yang menguasai sungai, samudra, dan segala badan air. Baruna yang menguasai samudra memiliki konotasi ketidak-tahuan, alam bawah, dan kegelapan sebagai cerminan keluasan dan kedalaman air samudra yang tidak terjamah oleh masyarakat India kuno. Sebagai wahana Baruna, makara pun dikonotasikan sebagai makhluk laut misterius yang berbagai aspeknya tidak dapat dimengerti manusia biasa. Makara juga disebut sebagai wahana Dewi Gangga, personifikasi sungai suci Gangga. Meski Dewi Gangga digambarkan sebagai tokoh berwelas asih dalam sastra India, sungai Gangga sendiri kerap membawa banjir yang menghancurkan hunian manusia dan dihuni oleh banyak buaya yang ditakuti oleh masyarakat India kuno.[1]

Memasuki abad ke-2 SM, makara juga diasosiasikan sebagai simbol Pradyumna, putra Basudewa Kresna yang merupakan salah satu perwujudan Kresna. Salah satu gelar Pradyumna yang ditemukan dalam kitab Hariwangsa adalah Makaradhwaja yang kurang lebih berarti "ia dengan panji Makara".[6] Dalam beberapa bagian Mahabharata, Makara diasosiasikan dengan Pradyumna serta Kamadewa, mensugestikan bahwa keduanya merupakan tokoh yang sama.[6]

Dalam Astrologi Hindu, makara juga merupakan salah satu rasi bintang yang setara dengan zodiak kaprikornus[7] serta nama bulan dalam kalender Hindu India.[8] Terdapat kesinambungan rupa antar makara dan kaprikornus, yang dalam sejumlah depiksi sering kali digambarkan sebagai hewan campuran yang bagian belakangnya memiliki badan ikan sebagaimana makara.

Sebagai ornamen sunting

India sunting

Penggunaan makara sebagai motif ornamen arsitektural memiliki akar yang kuno dalam tradisi India.[1] Pada kuil Hindu, makara digunakan sebagai motif pahatan yang menghiasi relief, kepala kolom, ambang pintu, lidah tangga, talang air dan berbagai bagian bangunan lainnya. Kitab arsitektur Mānasāra, yang sering kali dijadikan rujukan dalam pembangunan arsitektural tradisional India, menspesifikasikan penggunaan makara sebagai motif ornamen ambang pintu. Dalam Mānasāra bait 133-136, bab XV mengenai kolom, dituturkan bahwa Makara sebaiknya digunakan sebagai sebagai kepala kolom di ujung lengkung (toraṇa) yang membingkai bagian atas pintu.[9] Penggunaan serupa sebagai kepala kolom dapat ditemukan pada salah satu pahatan makara tertua yang ditemukan di India, yakni pada Kolom-kolom Heliodorus yang diperkirakan dibangun pada sekitar abad 2 SM.

Ornamen Makara di India

Jawa Kuno sunting

Penggunaan makara sebagai ornamen paling sering ditemukan pada candi. Makara umumnya digunakan pada bingkai pintu atau relung bersama ornamen kala sebagai satu kesatuan.[10][11] Makara pada candi Jawa kuno selalu digunakan di bagian bawah pintu atau relung dengan posisi kepala saling membelakangi, berbeda dengan penerapan makara di India. Makara pada pintu India digunakan di bagian atas dan umumnya saling berhadap-hadapan. Selain pada pintu, penggunaan ornamen makara juga ditemukan pada talang air atau jaladwara dan lidah tangga.[12] Makara paling sering ditemukan dengan mulut menganga dan belalai terangkat ke atas. Ditemukan juga makara dengan bentuk serupa yang di bagian tengahnya terdapat makhlus lain, seperti manusia dan singa, sebagaimana makara pada lidah tangga Candi Prambanan dan Candi Bubrah.

Ornamen Makara di Jawa Kuno

Galeri sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b c d Darian, Steven (1976). "The Other Face of the Makara". Artibus Asiae. 38 (1): 29–36. doi:10.2307/3250095. ISSN 0004-3648. 
  2. ^ a b Janaki Lenin (2011-01-14), "My Husband and Other Animals - The beast within", The Hindu, ARTS » HISTORY & CULTURE, Kasturi & Sons Ltd, diakses tanggal 2011-01-14 
  3. ^ a b K. Krishna Murthy (October 1985). Mythical animals in Indian art. Abhinav Publications. hlm. 37, 41, 44. ISBN 978-0-391-03287-3. Diakses tanggal 17 January 2011. 
  4. ^ Archaeological Institute of America (1970). Archaeology. Archaeological Institute of America. hlm. 41–43. Diakses tanggal 17 January 2011. 
  5. ^ Meulenbeld, Gerrit Jan (1974), The Mādhavanidāna and Its Chief Commentary, Chapters 1-10, Parts 1-10, Brill Archive, hlm. 484, ISBN 978-90-04-03892-9 
  6. ^ a b Austin, Christopher R. (2019). Pradyumna: Lover, Magician, and Son of the Avatara (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. hlm. 65. ISBN 978-0-19-005411-3. 
  7. ^ Bangalore V. Raman (2003). Studies in Jaimini Astrology. Motilal Banarsidass. hlm. 10–19. ISBN 978-81-208-1397-7. 
  8. ^ Robert Sewell; Śaṅkara Bālakr̥shṇa Dīkshita (1896). The Indian Calendar. S. Sonnenschein & Company. hlm. 5–11, 23–29. 
  9. ^ Acharya, Prasanna Kumar (1934). Manasara Series Vol II: Indian Architecture according to Mānasāra-Śilpaśāstra (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Oxford University Press. hlm. 159. ISBN 0834803496. 
  10. ^ John Micsic (2002). Indonesian Heritage vol 6: Architecture. Grolier International. ISBN 9813018305. 
  11. ^ Parul Pandya Dhar (July 2018). Cultural and Civilisational Links between India and Southeast Asia. Palgrave Macmillan. hlm. 325–345. ISBN 9789811073168. 
  12. ^ Halim, Andre; Herwindo, Dr. Rahadhian Prajudi (2017). "Makna Ornamen pada Bangunan Candi Hindu dan Buddha di Pulau Jawa (Era Klasik Tua – Klasik Tengah – Klasik Muda)". RISA (Riset Arsitektur). 01 (02): 49–68. ISSN 2548-8074. 

Pranala luar sunting