Tradisi Mamapar Gigi ini bisa ditemui di seluruh pedesaan yang ada di Sumenep, tepatnya di Desa Panagan, Kecamatan Gapura, sekitar 10 kilometer arah Tenggara Kota Sumenep. Tradisi ini sangat erat kaitannya dengan daur hidup (lingkaran hidup) individu, khususnya bagi seorang perempuan yang ingin melangsungkan pernikahan. “Mapar” dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai “melakukan suatu pekerjaan untuk merapikan dan meluruskan”. Jadi, mapar gigi dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk merapikan dan meluruskan bentuk susunan gigi dengan seperangkat alat khusus.

Waktu dan Tempat Upacara

sunting

Upacara mapar gigi biasanya dilaksanakan ketika seorang gadis akan melangsungkan pernikahan. Tujuannya, agar bentuk gigi sang gadis terlihat lebih rapi dan menarik. Selain itu, mapar gigi juga mengandung makna membuang segala macam sangkal pada diri sang gadis sebelum memasuki kehidupan yang baru.

Adapun tempat pelaksanaan upacaranya bergantung dari tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh gadis tersebut. Ada beberapa tahapan untuk tahap mapar gigi, antara lain pembacaan kidungan atau mocopat, dan pencukuran rambut halus di dahi dan tengkuk diadakan di rumah sang gadis. Sementara untuk prosesi pembuangan rambut halus sebagai simbol pembuangan sangkal berlangsung di perempatan jalan dalam sebuah kirab atau arak-arakan.

Seluruh tahapan upacara tersebut dipimpin oleh ahli papar gigi. Dalam melaksanakan tugasnya Sang ahli mapar akan dibantu oleh ahli mocopat beserta tukang tegesnya yang akan membacakan kidungan atau mocopat (tembangan dengan dialog Jawa Timur) ketika prosesi mapar gigi dilakukan. Sedangkan pihak lain yang juga terlibat dalam penyelenggaraan upacara adalah:

  • Keluarga gadis yang akan dimapar giginya
  • Calon suami si gadis beserta kerabatnya
  • Beberapa orang gadis yang nantinya akan bertugas mengitari sang gadis saat dupa dibakar
  • Para seniman soren, hadrah, dan lain-lain yang nantinya akan mengiringi calon pengantin saat melakukan kirab (iring-iringan atau arak-arakan dalam rangkaian acara atau upacara adat).

Peralatan Upacara

sunting

Peralatan dan perlengkapan yang perlu dipersiapkan dalam upacara mapar gigi dibagi menjadi tiga, yaitu yang dipersiapkan oleh pihak calon mempelai perempuan, calon mempelai laki-laki dan oleh sang ahli papar gigi. Peralatan dan perlengkapan yang dipersiapkan oleh pihak calon mempelai laki-laki adalah bang-giban atau barang-barang bawaan berupa bermacam-macam kue, alat-alat rias, dan lain sebagainya yang ditaruh dalam sebuah kotak besar berukir (judang).

Peralatan dan perlengkapan yang disediakan oleh pihak keluarga calon mempelai perempuan adalah beraneka macam jajanan atau camilan pasar yang nantinya akan digunakan sebagai suguhan bagi para tamu dan rampatan (sesajen), kelapa gading, telur ayam, air kumkuman seribu kembang, nasi kuning, dan dhamar kambang (lampu minyak kelapa). Terakhir, peralatan yang disediakan oleh ahli papar gigi berupa batu asah, pisau yang menyerupai kikir, dan batu pengganjal.

Jalannya Upacara

sunting

Apabila waktu pelaksanaan upacara mapar gigi telah disepakati, maka pihak calon mempelai pria akan menuju ke rumah calon mempelai wanita dalam sebuah arak-arakan sambil membawa judang, tenong (bakul bundar), dan lain sebagainya. Di sepanjang perjalanan menuju ke rumah calon mempelai wanita tersebut, biasanya mereka diiringi oleh lantunan kesenian tradisional dari para seniman Saronen atau Gendingan.

Di lain pihak, sambil menunggu kedatangan calon mempelai pria, kerabat calon mempelai wanita mulai mempersiapkan segala peralatan dan perlengkapan yang nantinya akan digunakan ketika prosesi adat mapar gigi berlangsung. Selain itu, mereka juga mengundang ahli papar gigi untuk memimpin upacara dan tiga orang lagi yang akan bertugas sebagai pembaca tembang mocopat beserta tukang tegesnya.

Setelah rombongan calon mempelai pria datang prosesi mapar gigi pun segera dimulai. Dengan menggunakan peralatan berupa batu asah, pisau berbentuk kikir, dan batu pengganjal sang ahli mapar mulai meratakan gigi sang gadis. Sisa-sisa gigi hasil mapar lalu dikumpulkan dalam sebuah kain untuk dibuang di sebuah persimpangan jalan.

Selama proses perataan gigi tersebut berlangsung, tukang mocopat mulai membacakan kidung-kidung dari sebuah kitab kuno berhuruf Jawa yang berisikan hikayat Arjuna. Untuk lebih memperjelas makna yang terkandung dalam kitab tersebut tukang mocopat dibantu oleh tukang teges yang akan menerjemahkan kidung ke dalam bahasa Madura. Seiring dengan pembacaan kidungan, dilakukan juga pembakaran dupa di dekat sang gadis sambil dikitari oleh beberapa orang gadis lainnya.

Selesai mapar gigi, dilanjutkan dengan prosesi paras yaitu pembersihan atau pencukuran rambut halus disekitar dahi dan tengkuk sang gadis. Selanjutnya, potongan-potongan rambut halus itu dikumpulkan untuk dibawa bersama sisa-sisa potongan gigi dalam sebuah arak-arakan menuju ke perempatan jalan (tapak dadang) yang letaknya tidak jauh dari rumah sang gadis. Arak-arakan membuang rambut halus ini tetap dipimpin ahli mapar gigi dan diikuti oleh tukang mocopat, tukang teges, kerabat calon mempelai wanita, kerabat calon mempelai pria, para tetangga terdekat, dan diiringi lantunan musik dari para seniman soren atau Gendingan.

Sesampainya di persimpangan jalan, ahli mapar gigi mulai membaca doa-doa lalu membuang rambut halus dan sisa potongan gigi sebagai simbol pembuangan segala macam sangkal pada diri sang gadis agar kehidupan baru bersama suaminya nanti selamat hingga akhir hayat. Prosesi pembuangan rambut dan sisa gigi ini merupakan akhir dari serentetan rangkaian dalam upacara mapar gigi.[1]

Daftar Pustaka

sunting
  • Deskripsi Upacara Mapar Gigi yang disampaikan pada Festival Upacara Adat dan Busana Adat dalam Pekan Budaya dan Pariwisata Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur Tahun 1994 di Kabupaten Jember.
  • Suradi Hp, dkk. 1982. Upacara Tradisional Daerah Maluku. Ambon: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Pranala luar

sunting