Mansorandak
Mansorandak atau tradisi injak piring adalah penyambutan bagi mereka yang pergi merantau jauh di luar tempat asal untuk waktu yang cukup lama. Masyarakat percaya kalau tradisi ini merupakan ungkapan syukur karena telah menjalani perjalanan jauh. Yang menjadi ciri khas dari tradisi ini adalah menginjak piring. Tradisi ini juga diyakini untuk mengusir roh-roh jahat yang ikut bersama mereka yang merantau sehingga mereka perlu dibersihkan melalui tradisi Mansorandak. Mansorandak adalah sebuah tradisi turun temurun suku Biak di teluk Doreri, Manokwari, Papua Barat untuk menyambut anggota keluarga yang baru kembali dari tanah rantau dalam kurun waktu yang cukup lama. Tradisi ini dimulai dengan prosesi mandi kembang berbagai rupa di atas piring adat. Selanjutnya, sang perantau akan masuk ke sebuah ruangan khusus di dalam rumah bersama dengan keluarga besarnya dan harus mengitari sembilan piring adat sebanyak sembilan kali putaran. Angka sembilan melambangkan sembilan marga suku Doreri di Manokwari. Prosesi ini diakhiri dengan penginjakan replika buaya sebagai lambang tantangan, penderitaan dan cobaan hidup yang akan menyertai jalan hidup sang perantau. Prosesi ini berakhir dengan kegiatan makan bersama. Makanan adat yang mereka makan setelah prosesi ini yaitu makanan utama seperti daging, ikan, hingga sirih dan pinang akan digantung di bagian atas rumah dan baru boleh disantap setelah mendapat aba-aba dari sesepuh Doreri. Seiring berjalannya waktu, tradisi ini sekarang hanya dilakukan dengan menyiramkan air pada sang perantau sebelum masuk ke rumah tanpa pengitaran piring dan makan bersama.[1]