Masjid Taqwa Muhammadiyah
0°57′07″S 100°21′36″E / 0.951829°S 100.360005°E
Masjid Taqwa Muhammadiyah | |
---|---|
Agama | |
Kepemimpinan | Abdurrahman Chan |
Lokasi | |
Lokasi | Kota Padang, Sumatera Barat, Indonesia |
Arsitektur | |
Arsitek | Ismet Darwis |
Tipe | Masjid |
Peletakan batu pertama | 1957 |
Rampung | 1987 |
Biaya konstruksi | Rp814 juta (1977–1991) |
Spesifikasi | |
Arah fasad | Timur laut dan tenggara[1] |
Menara | 1 |
Situs web | |
taqwa-muhammadiyah.blogspot.com |
Masjid Taqwa Muhammadiyah adalah salah satu masjid di Indonesia yang terletak di pusat Kota Padang, Sumatera Barat. Berada di kawasan Pasar Raya Padang, masjid yang pertama dibangun pada 1961 berupa bangunan berlantai dua ditandai dengan kubah. Namun, pada 6 Januari 1975, masjid pertama mengalami kerusakan berat setelah kubah runtuh. Pada 1977, masjid baru dibangun ulang dan akhirnya selesai pada 1987.
Masjid Taqwa Muhammadiyah menampilkan arsitektur masjid modern yang tak identik dengan kubah. Fasad bangunannya merupakan abstraksi gonjong yang juga terdapat pada gedung di kampus Universitas Andalas, Limau Manis, Padang.
Masjid ini berada tidak jauh dari Masjid Raya Ganting dan Masjid Nurul Iman yang keberadaanya turut berperan dalam perjalanan sejarah Kota Padang.[2] Selain menjadi tempat kegiatan keagamaan regional, Masjid Taqwa Muhammadiyah membuka fasilitas komersial dan pendidikan.
Sejarah
suntingCikal bakal
suntingMasjid Taqwa dibangun atas prakarsa sejumlah kader Muhammadiyah di Padang, sehingga sering disebut sebagai Masjid Muhammadiyah. Cikal bakalnya berawal dari aktivitas pengajian kelompok (ranting) Muhammadiyah di Pasar Jao dan sekitarnya pada 1952. Dipimpin oleh Hasan Herbalis, para anggotanya mengadakan pengajian dua kali seminggu di Masjid Nurul Islam yang kini dikenal sebagai Masjid Kampung Jao Dalam. Namun, baru mengadakan pengajian selama empat tahun, tepatnya pada 1956, pengajian tersebut ditentang oleh masyarakat sekitar karena dinilai telah mencampuri urusan budaya dan adat istiadat mereka. Di antara isi pengajian yang ditentang yakni seruan tidak mengadakan acara manujuah hari dengan makan-makan di tempat orang yang meninggal, yang sudah menjadi tradisi. Untuk tidak menimbulkan pertikaian, maka kegiatan pengajian dialihkan ke los (kedai) bada milik seorang bernama Bilal. Los tersebut berada di belakang Blok A, Pasar Raya Padang.[3]
Pada 1957, mulai terjadi pergolakan Dewan Banteng. Saat itu banyak bangunan yang ditinggalkan pemiliknya termasuk toko di sekitar pasar. Melihat ada satu toko yang roboh dan tidak digunakan lagi, anggota pengajian mencoba meminta izin pada pemerintah setempat untuk mendirikan rumah ibadah di atas tanah bekas toko. Setelah mengantongi izin, didirikanlah sebuah surau berukuran 9 × 12 meter dengan lantai dan dinding terbuat dari papan. Melihat ramainya jamaah yang melaksanakan ibadah di surau tersebut, maka pada tahun 1960 dibentuk panitia untuk meningkatkan surau tersebut, dan dicapai kesepakatan untuk membangun Masjid Raya Muhammadiyah.
Pembangunan awal
suntingPembangunan masjid mulai dilakukan pada 1961, setelah persiapan pembangunan seperti pembelian bahan-bahan bangunan. Arsitekturnya dikerjakan oleh PT Desicona Associate (Degigras) Bandung pimpinan Ismet Darwis. Bangunan masjid terdiri dari dua tingkat. Lantai pertama diperuntukkan sebagai tempat ibadah, sedangkan lantai atas diperuntukkan untuk aktivitas dakwah dan pendidikan. Menurut Suara Muhammadiyah, bentuk masjid Masjid Taqwa Muhammadiyah pada masanya terlihat seperti "gedung supermarket yang mewah atau gedung perkantoran yang modern".[4]
Setelah pembangunan Masjid Raya Muhammadiyah selesai, Pusat Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat dipindahkan ke Padang dan berkantor di masjid ini. Selain itu, kegiatan perkuliahan untuk Fakultas Adab (kini Fakultas Syariah, Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat) pernah diselenggarakan di sini sebelum dipindahkan ke kampus pusat di Lubuk Buaya.[3]
Runtuh dan pembangunan kembali
suntingPeristiwa yang menggemparkan terjadi pada 6 Januari 1975. Tanpa diketahui sebab yang jelas, kubah besar yang memahkotai bangunan masjid ini secara tiba-tiba roboh, menghimpit dua lantai bangunan di bawahnya dan menimpa beberapa jamaah yang sedang berada di ruangan tepat di bawah kubah tersebut. Beruntung jamaah yang tertimpa itu tidak meninggal. Padahal tahun itu akan diadakan Kongres Muhammadiyah se-Indonesia. Meskipun tidak bisa digunakan lagi, berkat bantuan pemerintah daerah kongres tetap digelar di bangunan toko di sekitar masjid ini.[3]
Hasil Muktamar memutuskan pembangunan Masjid Raya Muhammadiyah ini dijadikan proyek nasional. Jamaah Muhammadiyah dari daerah lain ikut berpartisipasi dalam pembangunan kembali masjid ini. Pada 1977 panitia pembangunan melakukan pembangunan awal dan memberi nama Masjid Taqwa. Pada 1987, masjid ini akhirnya dapat kembali digunakan sebagai tempat ibadah dan mengembangkan ajaran agama. Namun ketika itu banyak yang mengatakan bangunan masjid ini tidak berbentuk masjid, sehingga dibuatlah sebuah menara dengan membongkar sebuah bangunan di sekitarnya.[5]
Keruntuhan kubah kedua
suntingPada akhir 2005, kubah sebesar 32 ton dipasang di Masjid Taqwa Muhammadiyah. Penempatannya memicu kekhawatiran kejadian robohnya kubah pernah terjadi pada 1975. Penolakan muncul dari jemaah, termasuk bermunculan melalui surat pembaca yang dimuat di Harian Singgalang. Pengurus masjid membalas di tempat yang sama bahwa pihak kontraktor pelaksana CV Cipta Kreasi Perdana dengan konsultan pengawas CV Ultimate telah melakukan perhitungan.
Pada 13 Januari 2007, posisi kubah yang baru selesai dipasang dilaporkan miring. Masjid ditutup untuk sementara dan area sekitar disterilkan dari aktivitas warga. Setelah kejadian tersebut, kubah dobongkar dan diganti dengan atap segitiga.
Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat R.B. Khatib Pahlawan Kayo menyebut pekerjaan renovasi direncanakan menghabiskan dana Rp1 miliar. Rinciannya, Rp300 juta bantuan dari Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, Rp400 juta dari Pemerintah Kota Padang, Rp100 juta dari Menteri Sosial, dan sisanya dikumpulkan dari jemaah.[6]
Polemik
suntingPada awal 2005, Terminal Goan Hoat yang berada di dekat Masjid Taqwa Muhammadiyah dibongkar dan dijadikan sebagai lokasi pusat perbelanjaan oleh Pemerintah Kota Padang. Meski mendapat penolakan dari ribuan pedagang Pasar Raya Padang, Wali Kota Padang Fauzi Bahar tetap meneruskan pembangunan pusat perbelanjaan di bekas terminal tersebut (kini dikenal sebagai Sentral Pasar Raya).[7]
Ketiadaan terminal berdampak pada menumpuknya kendaraan, terutama angkutan kota, di jalan sepanjang masjid. Jalan menjadi tempat turun naiknya penumpang sehingga memicu kemacetan, susahnya memarkir kendaraan, dan suara bising akibat klakson. Pengurus masjid telah menyampaikan keluhan jemaah kepada Pemerintah Kota Padang, tetapi permasalahan tak teratasi dan berlanjut selama bertahun-tahun.
Pada 2008, sastrawan Wisran Hadi (yang ayahnya merupakan imam masjid ini) menulis secara satir bahwa "yang salah itu adalah kenapa masjid didirikan di pusat kota" sehingga "sudah waktunya pengurus Masjid Taqwa bersiap-siap memindahkan masjid yang dicintai masyarakat ini ke tempat yang lebih aman".
Referensi
sunting- Catatan kaki
- Daftar pustaka
- "Masjid Taqwa Muhammadiyah Padang: Pernah Roboh tanpa Sebab, Jamaah Selamat". Padang Ekspres. 2011-08-12. Diakses tanggal 28 November 2012.
- Suryadi (14 Mei 2012). "Jalan M. Yamin Padang 1970-an". Diakses tanggal 27 April 2021.
- Peta Google – Masjid Taqwa Muhammadiyah (Peta). Kartografi oleh Google, Inc. Google, Inc. Diakses tanggal 28 November 2012.
- Ariefyanto, M. Irwan (15 Maret 2012). "Masjid Raya Ganting, Simbol Agung di Kota Modern". Republika. Diakses tanggal 28 November 2012.