Masjid Jami Pontianak

masjid di Indonesia
(Dialihkan dari Masjid Jami' Pontianak)

Masjid Jami' Pontianak atau dikenal juga dengan nama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman adalah masjid tertua dan terbesar di Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.[1] Masjid ini merupakan satu dari dua bangunan yang menjadi pertanda berdirinya Kota Pontianak pada 1771 Masehi, selain Keraton Kadriyah.

مسجد بونتياناك الكبير
Masjid Jami' Pontianak
Masjid Jami' Pontianak
PetaKoordinat: 0°1′35.8″S 109°20′51.3″E / 0.026611°S 109.347583°E / -0.026611; 109.347583
Agama
AfiliasiIslamSunni
Provinsi Kalimantan Barat
Lokasi
LokasiPontianak
Negara Indonesia
Arsitektur
TipeMasjid
Kapasitas1.500 Jamaah

Sejarah

sunting

Pendiri masjid sekaligus pendiri Kota Pontianak adalah Syarif Abdurrahman Alkadrie. Ia seorang keturunan Arab, anak Al Habib Husein, seorang penyebar agama Islam dari Jawa. Al Habib Husein datang ke Kerajaan Matan pada 1733 Masehi. Al Habib Husein menikah dengan putri Raja Matan (kini Kabupaten Ketapang) Sultan Kamaludin, bernama Nyai Tua. Dari pernikahan itu lahirlah Syarif Abdurrahman Alkadrie, yang meneruskan jejak ayahnya menyiarkan agama Islam.

Syarif Abdurrahman melakukan perjalanan dari Mempawah dengan menyusuri sungai Kapuas. Ikut dalam rombongannya sejumlah orang yang menumpang 14 perahu. Rombongan Abdurrahman sampai di muara persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak pada 23 Oktober 1771. Kemudian mereka membuka dan menebas hutan di dekat muara itu untuk dijadikan daerah permukiman baru. Abdurrahman mendirikan sebuah kerajaan baru Pontianak. Ia pun membangun masjid dan istana untuk sultan.

Masjid yang dibangun aslinya beratap rumbia dan konstruksinya dari kayu. Syarif Abdurrahman meninggal pada 1808 Masehi. Ia memiliki putera bernama Syarif Usman. Saat ayahnya meninggal, Syarif Usman masih berusia kanak-kanak, sehingga belum bisa meneruskan pemerintahan almarhum ayahnya. Maka pemerintahan sementara dipegang anak yang lain dari Syarif Abdurrahman, bernama Syarif Kasim. Setelah Syarif Usman dewasa, dia menjadi Sultan Pontianak, pada 1822 sampai dengan 1855 Masehi. Pembangunan masjid kemudian dilanjutkan Syarif Usman, dan dinamakan sebagai Masjid Abdurrahman, sebagai penghormatan dan untuk mengenang jasa-jasa ayahnya.

Beberapa ulama terkenal pernah mengajarkan agama Islam di masjid Jami' Sultan Abdurrahman. Mereka di antaranya Muhammad al-Kadri, Habib Abdullah Zawawi, Syekh Zawawi, Syekh Madani, H. Ismail Jabbar, dan H. Ismail Kelantan.

Masjid Jami' Pontianak dapat menampung sekitar 1.500 jamaah salat. Masjid akan penuh terisi jamaah salat, saat waktu salat Jumat dan tarawih Ramadan. Pada sisi kiri pintu masuk masjid, terdapat pasar ikan tradisional. Di belakangnya merupakan permukiman padat penduduk Kampung Beting, kelurahan Dalam Bugis dan di bagian depan masjid, yang juga menghadap ke barat, terbentang Sungai Kapuas.

Arsitektur

sunting
 
Bagian dalam Masjid Sultan Syarif Abdurrahman

Terdapat enam pilar dari kayu belian berdiameter setengah meter di dalam masjid. Dua pelukan tangan orang dewasa tak akan mampu mencapai lingkaran pilar. Selain pilar bundar, juga ada enam tiang penyangga lainnya yang menjulang ke langit-langit masjid, berbentuk bujur sangkar.

Pilar bujur sangkar itu berukuran kayu belian untuk tiang rumah dewasa ini. Namun ukurannya di atas rata-rata. Jika sekarang ada ukuran 6x6, 7x7, 8x8, dan 10x10 maka tiang tersebut lebih besar lagi.

Masjid ini memiliki mimbar tempat khotbah yang mirip geladak kapal. Pada sisi kiri dan kanan mimbar terdapat kaligrafi yang ditulis pada kayu plafon.

Hampir 90 persen konstruksi bangunan masjid terbuat dari kayu belian. Atapnya yang semula dari rumbia, kini menggunakan sirap, potongan belian berukuran tipis. Atapnya bertingkat empat. Pada tingkat kedua, terdapat jendela-jendela kaca berukuran kecil. Sementara di bagian paling atas, atapnya mirip kuncup bunga atau stupa.

Jendelanya yang berjejeran dengan pintu masuk, berukuran besar-besar, juga dari kaca tembus pandang. Ada pula kaca yang berwarna merah dan kuning.

Jarak antara lantai masjid dengan tanah, sekira 50 centimeter. Namun menurut seorang pemuda setempat, tinggi antara lantai masjid dengan tanah sekitar dua meter. Kini kolong masjid sudah dicor semen, agar lantainya tidak semakin turun. Struktur tanah yang labil dan sebagian besar bergambut, menjadikan bangunan-bangunan di Pontianak gampang amblas. Ironisnya, barau yang melindungi halaman masjid dari kikisan air Sungai Kapuas dan dibangun dalam dua tahun terakhir, kini menjadi proyek gagal karena kesulitan keuangan.

Sepintas, terlihat tak banyak berubah dari masjid tua tersebut. Ketika semua sedang berubah dan berkembang, Masjid Jami' Sultan Abdurrahman tetap menampakkan wajah lamanya.[2]

Referensi

sunting

Pranala luar

sunting