Masjid Nurul Huda Sungai Jawi
Artikel atau bagian dari artikel ini menggunakan gaya bahasa naratif yang tidak sesuai dengan Wikipedia sehingga menurunkan kualitas artikel ini. Bantulah Wikipedia memperbaikinya. Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini. |
Masjid Nurul Huda adalah sebuah masjid yang terletak di Kampung Sungai Jawi, kecamatan Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Masjid ini merupakan salah satu masjid tertua di Kabupaten Ketapang dan dibangun pada tahun 1932. Masjid ini telah ada sejak pemerintahan Panembahan Gusti Muhammad Saunan (1924-1943). Masjid ini semula bernama Masjid Kuning, dan dalam perubahan waktu lebih dikenal sebagai Masjid Nurul Huda di Desa Sungai Jawi.
Sejarah
suntingKebiasaan masyarakat di kala itu ketika menunaikan Salat Jumat, mereka harus mempersiapkan berbagai hal untuk keberangkatan menuju masjid. Satu-satunya masjid yang dituju ketika itu hanya terdapat di Kampung Kaum (kini Kelurahan Kauman), yaitu Masjid Jamik Kerajaan Matan. Jarak tempuh pada waktu itu begitu jauh dengan transportasi terbatas. Dibutuhkan waktu yang tidak sedikit hanya untuk mencapai Kampung Kaum dari Kampung Sungai Jawi.
Untuk berangkat Salat Jumat, pagi-pagi sekali mereka harus sudah meninggalkan kampung dengan perbekalan yang cukup. Hal yang tentu saja begitu menyulitkan bagi masyarakat Kampung Sungai Jawi, sehingga kemudian muncul ide agar berdiri masjid di kampung mereka. Ide itu dilontarkan Haji Muhammad Saleh. Namun tentu saja harus ada yang berani menyampaikan keinginan tersebut kepada Raja Matan, Panembahan Saunan. Kemudian ditunjuklah Uti Haji Dulmukti, sebagai penyambung lidah masyarakat demi memintakan izin kepada panembahan.
Dulmukti yang bergelar Pangeran Sepuh merupakan guru tinggi di Sungai Jawi. Dengan keberaniannya dia menghadap panembahan di Istana Mulia Kerta di Kelurahan Mulia Kerta saat ini. Sebagai penghormatan kepada panembahan, masyarakat mempersembahkan sebuah mustika atau buntat sebesar telur bebek. Mustika itu begitu dihargai panembahan, sehingga dia menempatkannya pada jambangan indah. Mungkin mustika itu, kini telah menjadi satu dari sekian banyak harta rampasan yang diambil Jepang pada masa penjajahan mereka, sehingga sudah tak dapat ditemui lagi di Istana Mulia Kerta.
Keinginan masyarakat ternyata tak bertepuk sebelah tangan. Panembahan kemudian mengabulkan dan memberi izin. Hanya saja, syarat yang dimaklumatkan kepada masyarakat, bahwa masjid yang berdiri nantinya tidak dipakai untuk pelaksanaan akad nikah. Untuk hal yang satu itu, masih tetap harus diselenggarakan di Masjid Jamik Kerajaan Matan. Izin tersebut tentu saja mendapat sambutan gembira dari masyarakat, sehingga mereka kemudian langsung mengambil langkah membangun tempat ibadah. Itu berarti, ketika terbangun masjid tersebut, mereka tidak perlu berangkat jauh-jauh ke Kampung Kaum hanya untuk melaksanakan Salat Jumat.
Selain syarat masjid yang bukan tempat penyelenggaraan akad nikah, panembahan juga meminta agar masjid yang dibangun berjarak 25 meter dari jalan raya. Panembahan tampaknya telah bisa memprediksi, bahwa pembangunan nantinya akan kian memperlebar ruas-ruas jalan. Pada 1932 berdirilah masjid di kampung tersebut, namun belumlah bernama seperti saat ini. Usman bin Husin kemudian ditunjuk menjadi imam pertama di masjid tersebut. Namun 4 tahun kemudian, lokasi masjid dipindah dan menjadi lokasi berdirinya Masjid Nurul Huda saat ini. Pemindahan terjadi karena ruas jalan lama telah dipindahkan terlebih dahulu. Bekas-bekas bangunan lama masjid tersebut sudah tak lagi tampak. Namun Masjid Nurul Huda yang masih berdiri hingga kini tetap tegar dan begitu mudah dilihat ketika melintas di jalan raya Desa Sungai Jawi.[1]
Referensi
sunting- ^ "Pontianak Post - Menelusuri Masjid-Masjid Tua di Ketapang. 18 September 2008". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-01-22. Diakses tanggal 2010-04-18.