Media alternatif adalah bentuk media yang berbeda dari bentuk media yang dominan dari segi konten, cara produksi, ataupun cara distribusi mereka. Media alternatif, seperti media pada umumnya, dapat memiliki banyak bentuk seperti cetak, audio, video, internet, atau seni jalanan. beberapa di antara contoh media alternatif adalah radio komunitas seperti Marsinah F.M yang kerap membahas isu buruh dan perempuan, ataupun majalah berbahasa daerah seperti Damar Jati.

Definisi yang pasti dari media alternatif masih sulit didapatkan, dan bergantung pada definisi dari media arus utama yang dominan. Pada akhirnya, media arus utama kerap didefinisikan sebagai media yang menjangkau banyak khalayak dan mencerminkan pemikiran, aktivitas, atau isu yang dominan.[1] Media arus utama juga sering digambarkan mewakili kepentingan pemerintah dan korporasi,[2] sehingga media alternatif kerap didefinisikan sebagai media non-komersial yang merepresentasikan berbagai kepentingan golongan yang berada di luar arus utama seperti golongan miskin, minoritas etnis dan politis, buruh, perempuan, hingga golongan LGBT.[3] Media-media ini berusaha menyuarakan berbagai suara dan sudut pandang yang kerap terlewatkan, seperti isu buruh perempuan yang kerap diangkat oleh Marsinah F.M, dan membangun komunitas berdasarkan identitas.

Media alternatif sering didefinisikan sebagai anti-hegemoni, yaitu melawan berbagai nilai dan kepercayaan yang dominan dalam suatu budaya (lihat Antonio Gramsci). Posisi media alternatif akhirnya cenderung terpolarisasi pada sudut pandang tertentu, dan juga berukuran lebih kecil dibandingkan media arus utama. Namun lagi-lagi definisi media alternatif sebagai antitesis dari media arus utama menjadi terbatas, dan pendekatan kajian modern mengenai media alternatif terus berupaya memperjelas bagaimana dan di mana media alternatif dibuat dan juga bagaimana dinamika hubungan antara media alternatif dan khalayaknya.[4]

Pendekatan dan praktik sunting

Berbagai pendekatan akademis dapat digunakan untuk dapat lebih memahami media alternatif. Setiap pendekatan berfokus pada aspek tertentu dari media ini, di antaranya dari aspek ruang publik, pergerakan sosial, dan partisipasi komunitas.

Teori Demokrasi dan ruang publik sunting

Salah satu cara untuk memahami media alternatif, adalah dengan memahandang peranannya dalam pelaksanaan demokrasi. Jurgen Habermas, filsuf ternama yang banyak membahas mengenai demokrasi dan komunikasi, menyuarakan pentingnya keberadaan sebuah ruang bagi komunitas di mana diskusi rasional bisa berjalan. Ruang publik ini harus bersifat sangat bebas dan terlepas dari pengaruh otoritas apapun dalam bentuk apapun, agar ruangan ini bisa memfasilitasi diskusi yang murni rasional dan jujur dari setiap partisipannya.[5]

Dalam konsep ruang publik Habermas, partisipasi harus bersifat terbuka bagi setiap orang, semua partisipan harus menganggap setara satu sama lain, dan setiap isu hatus terbuka untuk dibicarakan. Namun, konsep ruang publik ini tidak memperhitungkan golongan minoritas yang kepentingannya tetap akan terpinggirkan bahkan dalam kondisi ruang publik yang bebas dan rasional. Muncul pemikiran baru dari filsuf seperti Nancy Fraser yang menegaskan perlunya beberapa ruang publik yang merdeka, di mana kelompok-kelompok kecil tersebut bisa mendiskusikan isu-isu yang sesuai dengan kepentingan mereka sebelum mereka mendorong isu tersebut ke masyarakat luas.[6] Sifat-sifat media alternatif cocok dengan teori ini, di mana ia memiliki posisi sebagai pengikat komunitas sebelum akhirnya mendorong kepentingan-kepentingan mereka ke dalam wacana publik dengan menentang hegemoni. Misalnya, sebagai contoh adalah Q! Film Festival yang membangun identitas dan komunitas LGBTQ, sambil menentang berbagai pandangan hegemonik yang telah ada kepada golongan LGBTQ.

Todd Gitlin juga memiliki pemikiran serupa mengenai ruang publik yang terbagi-bagi. Ia menganggap bahwa ruang publik tidak mungkin bersifat 'monolitik' seperti yang dikonsepkan Habermas. Ia mengajukan konsep sphericules (ruang publik kecil, dari public sphere) yang bersifat banyak, tercerai-berai namun saling terhubung. Perbedaan epistemologis dan spesifikasi bahasa menjadi pondasi dari kelompok-kelompok kecil tersebut.[7] Gitlin kemudian memprediksi penelantaran dari sebuah ruang publik besar kepada banyak sphericule yang menarik partisipasi melalui "pengembangan berbagai kelompok-kelompok khusus yang bergabung berdasarkan kecocokan dan kepentingan." Gitlin sendiri tidak yakin apakah perpecahan yang ditimbulkan dari munculnya sphericule adalah hal baik bagi demokrasi. Konsep sphericule Gitlin juga cocok dengan berbagai fungsi media alternatif sebagai tempat berkumpulnya minoritas dari segi budaya, politis dan ekonomi untuk membentuk identitas dan membangun komunitas.

Media gerakan sosial sunting

Gerakan sosial adalah aktivitas sosial berupa tindakan sekelompok yang terkadang merupakan kelompok informal berbentuk organisasi, berjumlah besar atau individu yang secara spesifik berfokus pada suatu isu sosial atau politik dengan melaksanakan, menolak, atau mengkampanyekan sebuah perubahan sosial. Media gerakan sosial adalah bagaimana media digunakan dalam sebuah pergerakan sosial. Mengingat gerakan sosial sering kali berupa tantangan terhadap nilai dominan, maka media yang digunakan cenderung berupa media alternatif.

Komunikasi dan penggunaan media mengambil peranan yang cukup penting dalam menentukan sukes atau tidaknya sebuah gerakan sosial. Ada kecenderungan dari media arus utama untuk menghambat sebuah gerakan sosial,[8] karena kecenderungan mereka untuk membela kepentingan otoritas dan menjaga status quo. Masalah dalam peliputan oleh media arus utama ini kerap disebut sebagai paradigma protes. Paradigma ini mudah diamati dengan cara melihat kecenderungan media arus utama dalam meliput aksi-aksi protes, di mana aksi protes sering kali direduksi sebagai sebuah tontonan dengan mengacuhkan pemikiran dan alasan di balik gerakan sosial tersebut, Media arus utama justru kerap kali mengeksploitasi faktor kekerasan, dramatisme, dan jangkar visual lainnya.[9]

Hal ini membuat gerakan sosial sering kali mengandalkan media alternatif untuk mendiseminasikan pesan mereka dan membangkitkan kohesivitas pergerakan. Misalnya, adalah pergerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang tentunya tidak mendapat ruang sedikit pun di media arus utama. Mereka akhirnya kerap menggunakan media alternatif seperti blog untuk menyuarakan kepentingan mereka.

Bentuk Media sunting

Cetak sunting

Media alternatif cetak biasanya berupa publikasi cetak yang menyuarakan pendapat yang berbeda atau menentang arus utama dalam bentuk koran, majalah, zine, pamflet, dan lain-lain. Salah satu bentuk jamak dari media ini adalah majalah-majalah alternatif yang mengincar segmen minoritas tertentu, seperti Majalah Kobra yang mengincar subkultur musik independen, atau majalah yang menyuarakan kepentingan minoritas yang sering teracuhkan seperti Trompet Migran yang membela hak-hak buruh migran.

Radio sunting

Radio adalah salah satu platform media alternatif yang cukup populer karena ongkos yang murah, kemudahan penggunaan, serta jangkauan yang lebih baik. Di Indonesia, banyak radio alternatif muncul untuk memenuhi kebutuhan suatu golongan etnis tertentu akan budaya yang familiar. Radio-radio semacam ini kerap kali menggunakan bahasa daerah dan bermuatan hiburan serta berita lokal.

Contoh lain, adalah radio alternatif yang bertujuan membela kepentingan golongan termarginalkan tertentu seperti Marsinah F.M, yang terus menyuarakan pembelaan atas hak buruh dan perempuan, menyediakan jasa advokasi, dan menjadi agen pendidikan bagi golongan tersebut.

Video dan Film sunting

Film alternatif biasanya digunakan untuk mendeskripsikan film yang diproduksi dan didistribusikan di luar industri film dan video arus utama, atau membawa konten yang jarang dilihat di film arus utama. Namun, genre dan kontennya sangat bervariasi. Ia kerap kali diproduksi oleh organisasi non-profit, dan/atau berasal dari gerakan akar rumput.

Festival Film Purbalingga merupakan salah satu wadah yang tersedia di Indonesia bagi film-film alternatif, sementara industri besar seperti 21 kerap dipandang sebagai industri arus utama yang dipandang sebagai antitesa dari film alternatif.

Internet sunting

Media internet merupaka salah satu kanal yang paling jamak digunakan oleh media alternatif, tetapi juga menimbulkan kebingungan dalam dikotomi alternatif - arus utama. Pertama, berbagai situs atau layanan internet seperti blog, Twitter, dan Facebook merupakan media yang dimiliki oleh korporasi besar dan bermotif keuntungan, tetapi di sisi lain media ini juga tidak memiliki karakter media arus utama tradisional seperti fungsi gatekeeping. Khalayak media baru lebih bebas menentukan sendiri apa isu yang dianggap penting, dan mereka juga memiliki kemampuan untuk turut memproduksi konten dengan mudah.

Kedua, internet menyediakan banyak ruang untuk pergerakan sosial dalam bentuk jaringan hubungan personal, yang membuat tindakan kolektif jauh lebih mudah. Internet ini juga dengan mudah menyediakan ruang bagi golongan yang tidak memiliki posisi di wacana arus utama. Teknologi internet juga relatif mudah dimanfaatkan individu untuk menghindari kekangan-kekangan politik atau ekonomis (contoh, ad blocker) yang identik dengan media arus utama.

Ketiga, internet memiliki sistem diseminasi pengetahuan yang lebih egaliter, bukan dari atas ke bawah. Internet mendorong partisipasi dan interaksi antara banyak khalayak, mendorong psembentukan semacam pengetahuan kolaboratif.

Referensi sunting

  1. ^ Chomsky, Noam, "What makes mainstream media mainstream", October 1997.
  2. ^ Herman, E., & Chomsky, N. (1988). Manufacturing consent: The political economy of the mass media. New York: Pantheon Books.
  3. ^ Atton, Chris. (2002). Alternative Media. Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
  4. ^ Lievrouw, L. (2011). Introduction. In Alternative and Activist New Media (pp. 1–27). Polity.
  5. ^ Habermas, J. (1991). The structural transformation of the public sphere: An inquiry into a category of bourgeois society. MIT press.
  6. ^ Fraser, N. (1990). Rethinking the public sphere: A contribution to the critique of actually existing democracy. Social text, 56-80.
  7. ^ Gitlin, T. (1989). Public Spheres or public sphericules? In T. Liebes and J. Curran (eds.) Media, Ritual and Identity. New York: Routledge.
  8. ^ Stein, Laura (2009). "Social movement web use in theory and practice: a content analysis of US movement websites". New Media & Society.
  9. ^ Douglas M. McLeod, News Coverage and Social Protest: How the Media's Protect Paradigm Exacerbates Social Conflict, 2007 J. Disp. Resol. (2007)