Media Baca (Bahasa Inggris: Reading Media) adalah sarana yang digunakan dalam proses melihat atau memahami apa yang tertulis. Hal ini juga berarti bahwa dalam proses membaca dibutuhkan skill atau keahlian untuk memahami Informasi dari sumber- sumber media baca yang tersedia. Membaca merupakan aktivitas penting dalam sebuah proses pemerolehan bahasa atau Language acquisition maupun kaitannya dalam proses menganalisis dan memahami ilmu pengetahuan. Oleh karenanya budaya membaca terus tumbuh di tengah masyarakat dari masa ke masa. Tanggal 14 September telah ditetapkan sebagai Hari Kunjung Perpustakaan dan bulan September dicanangkan sebagai Bulan Gemar Membaca sejak tahun 1995 oleh Presiden Soeharto. Tujuannya tak lain untuk menumbuhkan minat baca masyarakat Indonesia yang masih tergolong rendah. Pepatah yang mengatakan "buku adalah jendela dunia" tentu sudah tak asing ditelinga. Buku merupakan salah satu media baca yang menyediakan banyak sumber informasi bagi pembaca. Media baca dapat dibagi ke dalam beberapa jenis seperti buku, majalah, dan koran. Pada awalnya, media baca banyak terbentuk dari sejumlah informasi yang dicetak pada kertas. Hal ini yang sering kita sebut sebagai media baca cetak atau dikenal dengan istilah printed media. Meskipun media baca cetak hingga saat ini masih eksis, namun tren menunjukan adanya pergeseran ke arah media baca elektonik. Perkembangan teknologi dan informasi yang sangat pesat merupakan salah satu faktornya. Kini masyarakat mulai beralih menggunakan media baca Elektronik yang dapat diakses dari alat elektronik yang mereka miliki seperti Ponsel cerdas, Komputer tablet, Komputer dan IPad.

Budaya Membaca sunting

Penguasaan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan tolak ukur sebuah negara maju. Dibanyak negara maju, membaca sudah menjadi budaya yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakatnya. Membaca bukanlah aktivitas yang hanya dapat dijumpai di sekolah ataupun perpustakaan melainkan aktivitas ini biasa mereka lakukan di taman, kereta, dan tempat- tempat umum lainnya. Buku- buku cerita anak, novel remaja, dan berbagai jurnal ilmiah yang berkualitas baik menjadikan minat membaca semakin besar. Bangsa Indonesia merupakan negara berkembang yang jauh tertinggal dari segi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dikarenakan kurangnya minat membaca masyarakat Indonesia.

Budaya Membaca di Negara Maju sunting

Dunia anak identik dengan dunia dongeng. Berdasarkan bebagai sumber, anak kecil membaca setengah jam hingga satu jam per hari.[1] Remaja berusia 8-18 tahun membaca rata- rata 38 menit. Sedangkan setengah dari orang tua yang memiliki anak dibawah usia 12 tahun, membaca bersama dengan anak mereka setiap hari. Membaca tetap mengambil porsi yang besar dalam dunia anak.[2] Budaya membaca menjadi sangat penting dilakukan untuk menumbuhkan minat baca anak sejak dini. Membaca merupakan kunci untuk membuka jendela dunia. Banyak manfaat yang bisa diambil dari gemar membaca. Membaca juga disebut sebagai gerbang peradaban. Oleh karena itu, negara dengan kegemaran membaca yang tinggi memiliki peradaban yang lebih maju.

Jepang merupakan salah satu contoh negara yang memiliki penduduk dengan minat membaca yang luar biasa. Dimanapun mereka berada, membaca selalu menjadi alternatif cara menyenangkan untuk menghilangkan kejenuhan saat di kereta, taman, maupun tempat umum lainnya. Selain itu ada Finlandia yang merupakan negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Para orang tua Finlandia jelas memiliki andil atas prestasi sekolah yang mengesankan. Ada budaya membaca di kalangan anak-anak di rumah dan keluarga harus mengadakan kontak berkala dengan guru anak mereka. Budaya membaca memang selayaknya terus menjadi perhatian bukan hanya oleh guru atau tenaga pendidik tetapi para orang tua sehingga para generasi muda bangsa ini terus maju dan dapat bersaing dengan negara lain dalam berkontribusi dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia.

Budaya Membaca di Indonesia sunting

Berbeda dengan di negara maju dimana membaca sudah menjadi lifestyle. Budaya membaca di Indonesia dapat dikatakan masih sangat rendah. Membaca bagi banyak penduduk di Indonesia masih dianggap sebagai kegiatan yang membosankan. Orang yang gemar membaca identik dengan istilah Kutu buku yang sering digambarkan sebagai orang yang kaku, membosankan, dan berkacamata tebal. Pandangan inilah yang menjadi salah satu faktor menunjang tidak populernya budaya membaca di Indonesia. Padahal membaca memiliki segudang manfaat. Sayangnya hal ini belum disadari oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Betapa luasnya wawasan yang kita miliki jika gemar membaca. Selain itu, membaca juga dapat dijadikan sebagai alternatif hiburan diwaktu senggang.

Data Statistik Sosial Budaya BPS tahun 2012 menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Sebanyak 91,68 persen penduduk yang berusia 10 tahun ke atas lebih menyukai menonton televisi, dan hanya sekitar 17,66 persen yang menyukai membaca surat kabar, buku atau majalah. Organization for Economic Cooperation and Development(OECD) pada tahun 2009 menempatkan minat baca Indonesia pada posisi terendah dari 52 Negara Asia Timur. Sementara itu, pada tahun 2011, United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) merilis data bahwa indeks minat baca di Indonesia hanya 0,001. Artinya, dari seribu (1000) penduduk, hanya satu orang yang memiliki minat baca. Data di atas menunjukkan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Oleh karena itu pemerintah senantiasa berupaya untuk meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah dengan penetapan Hari Kunjung Perpustakaan dan Bulan Gemar Membaca. Berbagai acara menarik digelar dalam rangka Hari Kunjung Perpustakaan dan Bulan Gemar Membaca 2014, berikut beberapa di antaranya:

  • Pameran koleksi dan seminar pembuatan kartun editorial oleh Perpustakaan RI
  • Perpustakaan Daerah Metro, Lampung mengadakan serangkaian lomba, seperti lomba bercerita, pidato dan lomba resensi dan KTI
  • Mahasiswa Solo, Jawa Tengah melakukan kampanya Hari Kunjung Perpustakaan di arena Car Free Day (CFD)

Media Baca Analog sunting

Dalam proses membaca, pembaca membutuhkan sebuah media baca. Media baca berkembang seiring derasnya kemajuan teknologi dan komunikasi. Media baca analog terdiri atas kumpulan ilmu pengetahuan maupun informasi yang dicetak pada sebuah kertas. Buku, majalah, dan koran (paper based) merupakan beberapa contoh teknologi media baca analog yang masih eksis hingga saat ini. Meski dunia telah memasuki era digital, penggunaan media baca analog tetap memiliki pasarnya sendiri.

Buku sunting

Buku merupakan hasil teknologi analog. Buku disebut- sebut sebagai salah satu media baca yang paling tua. Pada zaman dahulu, buku dianggap sebagai barang yang sangat prestise karena hanya dimiliki oleh kaum bangsawan di masanya. Buku dianggap sebagai produk intelektual yang hanya dapat dimiliki oleh kalangan tertentu saja.

Sejarah Buku sunting

Skrip tertua yang hingga kini masih eksis adalah dari China yang juga mengembangkan koas, tinta, kertas pada tahun 105 masehi. Pada waktu itu, koas menggunakan tinta yang terbuat dari jelaga atau tanah hitam. Tsai Lun yang merupakan pengawas pabrik industri senjata menciptakan bentuk kertas dengan menumbuk bersama tumbuhan berbeda, kain perca, dan air lalu mengiringkannya pada bambu. Orang China membangun pengetahuannya dengan mengembangkan blok cetak, mereka memahat simbol pada sebuah kayu dan memberinya tinta, lalu menekannya pada sebuah kertas. Itulah yang mereka sebut dalam proses pembuatan buku. Penemuan ini juga merambah ke Jepang, Korea, kemudian Arab. Pada tahun 1051, orang China menambahkan logam, tanah liat, dan cetakan kayu. Sedangkan orang Korea memperhalus proses cetak dengan pengembangan tipe logam yang dapat bergerak pada tahun 1234. Namun, percetakan tidak berkembang lebih jauh lagi hingga Johannes Gutenberg yang berasal dari Jerman menemukan tipe yang dapat bergerak dan berhasil mencetak alkitab (Jerman) untuk pertama kalinya. Inovasi dimulai dari pernemuan ini hingga sekarang.[3]

Jenis- jenis Buku sunting

Buku memiliki banyak jenis ataupun Genre, diantaranya:

Majalah sunting

Majalah merupakan jenis media analog yang dicetak pada tinta di atas kertas dan diterbitkan berkala setiap minggu ataupun bulanan. Majalah biasanya berisikan informasi tentang ditujukan pada kalangan dengan target pembaca tertentu. Majalah dapat berisi bermacam- macam artikel dengan gaya penulisan dan bahasa yang mudah dimengerti oleh banyak orang.

Sejarah Majalah sunting

Awalnya, majalah dikembangkan di "Great Britain" pada tahu 1700-an. Mereka mengembangkan genre fiksi dan non fiksi dengan tingkat yang bervariasi berdasarkan segmen pasarnya. Majalah pertama yang terbit adalah Gentleman's Magazine tahun 1731, dimana para editornya memfokuskan sisi elegan dan tulisan menghibur tentang sastra, politik, Biografi,sejarah, dan kritik. Majalah modern sejak tahun 1920-an mulai bersaing dengan radio dan film. Banyak diantaranya yang tidak dapat bertahan karena kurang kompetitif. Tahun 1923, Henry Luce dan Briton Hadden memulai Time Magazine yang juga memperkenalkan Life yang mengilustrasikan majalah foto jurnalistik tahun 1936. Majalah selalu memiliki target pembaca tertentu seperti majalah wanita, majalah otomotif, majalah bisnis, dan lainnya. Hingga hari ini, sampul majalah berisikan hobi atau profesi yang mencirikan segmen pembacanya.

Sejarah keberadaan majalah di Indonesia juga cukup panjang. Perkembangannya dimulai pada masa menjelang dan awal kemerdekaan RI. Pantja Raja pimpinan Maekoem Dojohadisoeparto dengan prakarsa Ki Hadjar Dewantara terbit pada tahun 1945 di Jakarta. Pada tahun yang sama, pada bulan oktober 1945 Arnold Monoutu dan dr. Hassan Missouri menerbitkan majalah mingguan Menara Merdeka yang memuat berita-berita yang disiarkan Radio Republik Indonesia pada bulan Oktober di Ternate. Di Kediri terbit majalah berbahasa jawa Djojobodo yang merupakan pimpinan dari Tadjib Ermadi. Selain itu di Blitar, para anggota Ikatan Pelajar Indonesia menerbitkan majalah berbahasa jawa, Obor (Suluh). Di awal kemerdekaan majalah dijadikan sebagai salah satu alat pemersatu bangsa. Kebanyakan majalah terbit dengan semangat menghancurkan sisa-sisa kekuasaan Belanda dan menempa persatuan nasional untuk kemerdekaan bangsa.

Namun hal ini tidak berlangsung lama, pada masa pemerintahan Orde Lama, nasib majalah dapat dikatakan sangat tragis. Sejak dikeluarkan pedoman resmi untuk penerbit surat kabar dan majalah di seluruh Indonesia, surat kabar dan majalah di Indonesia dituntut untuk menjadi pendukung, pembela dan alat penyebar Manifesto Politik yang pada saat itu menjadi haluan negara dan program pemerintah. Akibatnya perkembangan majalah tidak begitu baik dan majalah yang terbit relatif sedikit. Sejarah mencatat majalah Star Weekly, serta majalah mingguan yang terbit di Bogor bernama Geledek hanya berumur beberapa bulan saja.

Sejak runtuhnya masa pemerintahan Orde Lama, majalah di Indonesia mulai menemukan jiwanya kembali. Banyak majalah terbit dengan jenis yang beragam. Majalah Selecta pimpinan Sjamsudin Lubis merupakan salah satu produk majalah pada era Orde Baru. Di Era Reformasi, tidak diperlukan lagi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Hal ini membuat semakin menjamurnya pihak yang menerbitkan majalah baru sesuai dengan tuntutan pasar.

Jenis - Jenis Majalah sunting

  1. Majalah Berita: Tempo, Majalah Gatra, Sinar, Tiras
  2. Majalah Wanita: Femina, Kartini, Sarinah
  3. Majalah remaja wanita: Majalah Gadis, Kawanku
  4. Majalah anak-anak: Majalah bobo, Ganesha

Koran sunting

Koran merupakan media baca yang erat dengan dunia jurnalistik. Koran (Bahasa Belanda: Krant, bahasa Prancis: Courant) biasanya berisi informasi ataupun berita terkini dari berbagai topik yang dicetak pada kertas berbiaya rendah. Topiknya biasa berisi tentang berita politik, perkembangan ekonomi, kriminalitas, olahraga, juga disisipi dengan konten berita hiburan dan Iklan

Sejarah Koran sunting

Foreign dan Domestick merupakan koran pertama di Amerika Utara. Perusahaan koran mengalami perkembangan yang sangat lambat hingga tahun 1800–an. Progres revolusi industri mulai terlihat pada tahun 1830-an dimana harga koran menjadi lebih murah dan adanya penurunan harga iklan. Hal ini kemudian mendorong kemajuan yang signifikan dalah hal penjualan. Disisi lain, koran melakukan transisi dari yang tadiya dimiliki oleh kalangan berpendidikan dan elit kepada masyarakat yang lebih luas hingga era Perang sipil (Huntzicker, 1999). Perang sipil pada pertengahan tahun 1800-an dan praktik Jurnalisme modern menstimulasi permintaan masyarakat akan berita. Jumlah koran pagi terus meningkat hingga tahun 1950.[4]

Dalam sebuah negara biasanya terdapat koran nasional yang terbit di seluruh bagian Negara. Pers di Indonesia telah lama terlibat dalam dunia politik. Perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan jurnalisme sebagai alat perjuangan. Di era-era inilah Bintang Timur, Bintang Barat, Medan Prijaji, dan Java Bode terbit. Di masa penjajahan, pers sangat ditakuti, sehingga pemerintah mengeluarkan haatzai artikelen, yaitu undang-undang yang mengancam pers apabila dianggap menerbitkan tulisan-tulisan yang “menaburkan kebencian” terhadap pemerintah. Pada pemerintahan Presiden Soeharto, wartawan harus menulis dengan sangat hati- hati agar koran tidak dibredel oleh pemerintah. Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto. Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi. Kegiatan jurnalisme diatur dengan Undang-Undang Penyiaran dan Kode etik jurnalistik yang dikeluarkan Dewan Pers.

Koran Nasional Indonesia sunting

Media Baca Digital sunting

Betapa pentingnya Media Baca dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Keberadaan buku, majalah, ataupun koran dapat menjadi sumber informasi untuk menambah pengetahuan, memberikan perspektif baru, dan sering kali dijadikan referensi dalam pengambilan keputusan. Memasuki era Digital, media baca pun telah berkembang dan mengalami pergeseran. Media baca analog perlahan-lahan mulai digantikan oleh teknologi digital seperti E-book, e-magazine, dan e-newspaper yang dapat diakses oleh perangkat elektronik seperti ponsel cerdas, komputer, mau pun ipad. Penemuan baru dalam dunia telekomunikasi seperti Internet telah memudahkan masyarakat akan mendapatkan sumber informasi baru. "E-publishing" merupakan evolusi dari era komputer yang memiliki dampak besar bagi industri percetakan dunia. "E-commerce" di internet berkembang pesat, hal ini memungkinkan semua orang membeli dan menjual secara online tanpa harus meninggalkan rumah. Toko buku virtual mengingatkan dan merekomendasikan buku yang mungkin kita sukai berdasarkan pembelian kita. Tren ini membuat media baca elektronik yang berbasis digital sangat diminati masyarakat karena masyarakat serasa memiliki "personal librarian".

Perkembangan Media Baca di Indonesia: Analog vs Digital sunting

Media baca baik analog maupun digital sangat penting keberadaanya bagi bangsa Indonesia. Sejarah mencatat bagaimana masing- masing media baca bertahan hingga saat ini. Media baca digital muncul sebagai inovasi baru media baca yang lebih maju di bidang teknologi. Penikmat media digital di Indonesia saat ini didominasi oleh kalangan anak muda yang telah akrab dengan dunia komputer. Namun sebagian besar masyarakat Indonesia masih memilih membaca koran konvensional karena dinilai lebih kredibel dan dapat dipercaya. Hal ini tidak mengherankan karena berita di internet sering kali berisi hoax.

Digital media memang menjanjikan informasi yang banyak, cepat, dan up to date. Digital media memang menjadi ancaman bagi media analog (printed media). CEO Kompas Gramedia Agung Adiprasetyo di CoNMedia 2013 mengatakan bahwa pada tahun 1998, Bill Gates pernah meramalkan bahwa koran akan punah pada tahun 2000an. Hal senada diungkapkan oleh Phillip Meyer seorang penulis buku yang berjudul “The Vanishing Newspaper” meramalkan koran terakhir yang terbit adalah pada april 2040. Media baca analog akan menghadapi berbagai tantangan seperti menurunnya oplah penjualan, isu lingkungan (paper less). Namun keberadaan media baca baik analog maupun digital saat ini di Indonesia dapat berjalan berdampingan. Masing- masing memiliki pasarnya sendiri. Meski telah banyak perusahaan percetakan beralih ke dunia digital untuk menyajikan e-book, e-newspaper, dan e-magazine, mereka tetap mencetak media baca konvensional untuk pelanggan setia mereka. Media baca analog terutama koran tetap memiliki pelanggan setia yang sebagian besar berusia 35 tahun ke atas.

Pranala luar sunting

Referensi sunting

  1. ^ Common Sense Media, 2011, 2013; Wartella, Rideout, Lauricella, & Connell, 2013; Rideout, 2014
  2. ^ Rideout, Victoria and VJR Consulting, Inc.(2014).Children, Teens, and Reading. San Fransisco:Common Sense Media
  3. ^ Straubhaar, Joseph, Robert La Rose, & Lucinda Davenport. (2012). Media Now: Understanding Media,culture, and technolog (7th ed.). USA: Wadsworth
  4. ^ Grant, August E. & Jennifer Meadows. (2010). Communication Technology update and fundamentals (12th ed.). USA: Elsevier Inc.