Mediakrasi merujuk pada sistem di mana media—terutama media massa dan komunikasi—memiliki peran yang sangat dominan dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Konsep ini muncul sebagai reaksi terhadap perubahan yang terjadi pada masyarakat pasca-Industri, di mana media menjadi kekuatan yang setara, atau bahkan lebih besar, daripada kekuatan ekonomi atau politik tradisional, menurut Joseph Epstein perannya bahkan setara seperti yang dimiliki oleh Wall Street atau pemerintah.[1] Dalam mediakrasi, media tidak hanya berfungsi sebagai saluran informasi, tetapi juga memiliki kemampuan untuk membentuk opini publik, menentukan arah kebijakan, dan bahkan memengaruhi kehidupan sosial dan politik secara keseluruhan.[2][3]

Media massa disebut sebagai kekuasaan keempat (the fourth estate) karena perannya sebagai pengawas dan penyeimbang bagi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam era mediakrasi, di mana media memiliki pengaruh besar, media tidak hanya menyampaikan informasi tetapi juga membentuk opini dan narasi publik. Oleh karena itu, mereka yang bekerja di media harus selalu waspada terhadap potensi bias dan manipulasi, agar media tetap berfungsi sebagai penjaga demokrasi dan tidak terjerumus dalam kekuasaan yang tidak terkontrol.[4]

Latar Belakang

sunting

Istilah mediakrasi pertama kali diciptakan pada tahun 1974 oleh penulis dan pengamat politik Kevin Phillips dalam bukunya yang berjudul "Mediacracy: American Parties and Politics in the Communications Age". Dalam buku ini, Phillips menggambarkan bagaimana media, terutama media besar memainkan peran yang semakin dominan dalam politik dan kehidupan sosial Amerika Serikat. Konsep mediakrasi merujuk pada kondisi di mana media memiliki kekuasaan besar dalam membentuk opini publik dan perilaku masyarakat bahkan lebih besar daripada pengaruh kekuatan politik atau ekonomi tradisional. Sejak saat itu, istilah ini semakin populer di kalangan ilmuwan politik dan peneliti yang menganalisis dampak media terhadap pilihan pemilih dan tren budaya.[2][5]

Fabian Tassano seorang ekonom dan penulis, menghidupkan kembali istilah mediakrasi dalam bukunya "Mediacracy: Inversions and Deceptions in an Egalitarian Culture", Tassano berpendapat bahwa penurunan kualitas media populer, di mana informasi menjadi lebih dangkal dan mudah dicerna, dipadukan dengan meningkatnya keterasingan dalam wacana ilmiah (di mana pengetahuan atau ide-ide kritis semakin tersembunyi atau sulit diakses), telah menciptakan masyarakat yang tampaknya setara tetapi sebenarnya dikuasai oleh kekuatan yang tidak transparan dan melayani kepentingan elit tertentu.Fabian Tassano menyoroti masalah dumbing down media, di mana informasi yang disajikan menjadi lebih dangkal dan lebih mudah diterima oleh massa, sementara wacana intelektual dan kritis menjadi semakin terbatas dan terpinggirkan.[6][5]

Mediakrasi kini sering diasosiasikan dengan asumsi negatif, di mana media dianggap memiliki kepentingan tersembunyi yang mungkin tidak sesuai dengan kebutuhan atau keinginan mayoritas masyarakat. Media, dalam pandangan ini, tidak hanya menginformasikan tetapi juga memanipulasi, mengarahkan, dan mengendalikan opini publik sesuai dengan agenda elit tertentu.[5] Maka dengan kondisi seperti itu kekuasaan informasi akan berada ditangan kelompok kapital atau penguasa yang memiliki akses besar terhadap pengendalian teknologi.[7]

Pengaruh Media

sunting

Media massa dalam konteks teori mediakrasi mempengaruhi pemilu dan politik melalui dua konsep utama dalam komunikasi politik, yaitu agenda-setting dan priming, keduanya menjelaskan bagaimana media membentuk opini publik dan mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap isu-isu politik serta kandidat calon pemimpin.

Agenda-setting adalah kemampuan media untuk menentukan isu-isu yang dianggap penting oleh publik. Semakin banyak perhatian yang diberikan media pada suatu isu, semakin besar kemungkinan isu tersebut dianggap penting oleh audiens. Penelitian awal oleh Dr. Max McCombs dan Dr. Donald Shaw pada tahun 1968 menunjukkan bahwa apa yang media soroti sebagai isu utama dalam pemilu sangat berhubungan dengan apa yang dipandang sebagai isu paling penting oleh pemilih. Penelitian ini menegaskan bahwa media memiliki peran penting dalam mengatur agenda politik, mempengaruhi apa yang dianggap penting oleh publik.[8]

Priming adalah proses di mana media menyoroti isu tertentu dan mempengaruhi cara publik menilai kandidat atau kebijakan berdasarkan isu-isu tersebut. Sebagai contoh, media yang memberi perhatian lebih pada topik tertentu dapat mempengaruhi bagaimana pemilih mengevaluasi calon atau kebijakan berdasarkan topik yang lebih dominan. Priming dapat berlangsung secara tidak sengaja, namun juga dapat dilakukan secara sengaja oleh media untuk mengarahkan perhatian publik pada aspek tertentu dari kampanye atau kebijakan. Penelitian oleh Iyengar, Peters, dan Kinder (1982) menunjukkan bahwa priming dapat mempengaruhi evaluasi pemilih terhadap seorang kandidat, seperti yang terlihat dalam analisis terhadap Presiden Jimmy Carter.[9]

Selain itu, perubahan dalam reformasi demokrasi populis juga turut memperkuat peran media. Seiring waktu, banyak negara, termasuk Amerika Serikat, telah mengalihkan kekuasaan dalam pemilihan kandidat dari elit partai politik ke tangan pemilih umum. Reformasi ini, seperti meningkatnya jumlah pemilih yang menentukan kandidat melalui pemilu primer, memberikan kekuatan lebih besar kepada media yang memengaruhi opini publik.[10] Hal ini membuat media semakin memiliki peran yang lebih besar dalam proses politik, meskipun tingkat akuntabilitas politik media mungkin relatif rendah. Secara keseluruhan, kombinasi antara agenda-setting, priming dan reformasi demokrasi populis menunjukkan bahwa media massa memegang pengaruh besar dalam politik dan pemilu, dengan kemampuannya untuk membentuk opini dan mempengaruhi keputusan pemilih.[5]

Referensi

sunting
  1. ^ Joseph Epstein, "The Media As Villian," More, September 1974, p. 24.
  2. ^ a b Phillips, Kevin (1975). Mediacracy: American Parties and Politics in the Communications Age (dalam bahasa Inggris). Doubleday. ISBN 978-0-385-04945-0. 
  3. ^ Sigal, Leon V. (1975). "Mediacracy: American Parties and Politics in the Communications Age, by Kevin P. Phillips". Political Science Quarterly. 90 (4): 746–748. doi:10.2307/2148757. ISSN 0032-3195. 
  4. ^ Gautama, Candra (2010-06-21). Ashadi Siregar - Penjaga Akal Sehat dari Kampus Biru. Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-602-424-448-4. 
  5. ^ a b c d Adamson, Ian. "The Mediacracy | Dr. Ian Adamson OBE" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-12. 
  6. ^ Tassano, Fabian (2006). Mediocracy: Inversions and Deceptions in an Egalitarian Culture (dalam bahasa Inggris). Oxford Forum. ISBN 978-0-9536772-6-9. 
  7. ^ Ibrahim, Idi Subandy (2011). Kritik budaya komunikasi: budaya, media, dan gaya hidup dalam proses demokratisasi di Indonesia. Jalasutra. ISBN 978-602-8252-64-5. 
  8. ^ McCOMBS, MAXWELL E.; SHAW, DONALD L. (1972-01-01). "THE AGENDA-SETTING FUNCTION OF MASS MEDIA*". Public Opinion Quarterly. 36 (2): 176–187. doi:10.1086/267990. ISSN 0033-362X. 
  9. ^ Experimental Demonstrations of the "Not-So-Minimal" Consequences of Television News Programs. Routledge. 2016-07-22. hlm. 99–106. ISBN 978-1-315-53838-9. 
  10. ^ Thomas E. Patterson (1994). Out of order. Internet Archive. Vintage Books. ISBN 978-0-679-75510-4.