Muntok, Bangka Barat
Muntok (pernah dinamai Mentok) adalah ibu kota Kabupaten Bangka Barat yang sekaligus menjadi pusat pemerintahan dan perekonomian dari Kabupaten Bangka Barat.[3] , Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Indonesia. Kota Muntok yang merupakan salah satu kecamatan di kabupaten Bangka Barat ini memiliki luas wilayah 36.795,25 ha, dengan jumlah penduduk sebanyak 53.388 jiwa (2021) dengan kepadatan 129 jiwa/km².[2] Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, Kota Muntok sempat menjadi ibukota Karesidenan Bangka, sekaligus sebagai pusat administrasi penambangan Timah (Hoofdbureau Bankatinwinning) (1816-1907).
Muntok | |
---|---|
Koordinat: 2°03′53″S 105°09′53″E / 2.064794°S 105.164653°E | |
Negara | Indonesia |
Provinsi | Kepulauan Bangka Belitung |
Kabupaten | Bangka Barat |
Pemerintahan | |
• Camat | Sukandi S.Pd.[1] |
Luas | |
• Total | 414,00 km2 (159,85 sq mi) |
Populasi | |
• Total | 53.381 jiwa |
• Kepadatan | 129/km2 (330/sq mi) |
Kode pos | |
Kode Kemendagri | 19.05.01 |
Desa/kelurahan | 3 desa 4 kelurahan |
Kota Muntok berdiri sejak 7 September 1734 Masehi atas perintah Sultan Mahmud Badaruddin Jayawikrama (1721-1756) kepada Wan Akup yang kemudian membangun 7 bubung rumah di daratan sebuah tanjung di kaki bukit Menumbing. Pada masa itulah, Kota Muntok ditetapkan sebagai pusat Pemerintahan sekaligus pusat urusan penambangan timah di Pulau Bangka, yang berlanjut ketika Pemerintah Hindia Belanda menguasai wilayah ini, dan juga menjadikan Kota Muntok sebagai pusat pemerintahan di Bangka sekaligus pusat administrasi penambangan timah. Kota ini kemudian semakin tumbuh berkembang menjadi kota bandar utama pusat perdagangan timah dan Lada Putih (Muntok White Pepper), di mana timah dan lada putih diangkut lalu dikirim ke negara-negara Eropa melalui Pelabuhan Muntok. Pelabuhan ini pun semakin ramai dengan arus pendatang yang hilir mudik datang dan pergi, apalagi mengingat hasil penambangan yang sangat menjanjikan, semakin banyak didatangkan orang-orang dari Cina, Siam, Kamboja, dan Siantan yang berada di Johor yang ahli dalam urusan timah.
Saat ini Kota Muntok telah dtetapkan sebagai kawasan cagar budaya di bawah naungan UNESCO yaitu kawasan Kota Tua Muntok dan Bukit Menumbing. Mengikuti pembagian kluster pemukiman masyarakat Muntok di masa Pemerintahan Hindia Belanda, saat ini di kawasan Kota Tua terdapat 3 (tiga) kluster, yaitu Kluster Eropa, Kluster Tionghoa, dan Kluster Melayu. Di Kluster Tionghoa yang berdampingan langsung dengan Kluster Melayu, masih terdapat perkampungan Tionghoa berarsitektur khasnya seperti pertokoan, kelenteng Kong Fuk Miau, serta Rumah Mayor Cina Tjoeng A Tiam yang berusia ratusan tahun (dibangun 1830-an). Uniknya kelenteng ini berdampingan dengan Mesjid Jamik Muntok yang merupakan bagian dari kluster Melayu yang terdiri dari 3 (tiga) kampung, yaitu Kampung Tanjung, Kampung Ulu, dan Kampung Petenun Teluk Rubia (asal kain tenun Cual. Di kluster ini masih bisa ditemukan rumah-rumah panggung berarsitektur Melayu yang khas, juga Benteng Kuta Seribu (1812-1817) berikut pemakaman Tangga Seribu di mana para pendahulu Kota Muntok dimakamkan. Kedua kluster ini berada di sekitar pantai, sementara itu, Kluster Eropa berada di bentang lahan yang lebih tinggi. Di kluster Eropa ini, dibangunlah perumahan, perkantoran,rumah sakit, gereja, penjara, sekolah, gudang, yang berciri khas Eropa. Saat ini bangunan berciri khas Eropa ini masih bisa disaksikan, salah satunya Museum Timah Indonesia Muntok yang dulunya merupakan Eks Kantor Wilasi atau Hoofdbureau Banka Tinwinning Bedriff (1915). Di luar kluster, bisa ditemukan mercusuar Tanjung Kalian dan Pesanggrahan Bukit Menumbing (1932) di ketinggian hampir 500 meter dpa dan dikelilingi hutan lindung. Bangunan-bangunan yang dimaksud bukan saja berusia ratusan tahun namun juga mempunyai nilai sejarah, arsitektur dan budaya yang tinggi, sehingga pemerintah daerah bersama UNESCO telah menetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan cagar budaya.
Sejarah
suntingMuntok adalah kota tua yang didirikan oleh Abang Pahang, mertua Sultan Palembang Darusssalam Mahmud Badaruddin I (1720-1755) pada tahun 1722 dan menjadi ibukota Karesidenan Bangka, sebelum dipindahkan oleh Residen J. Englenberg ke Pangkal Pinang pada tahun 1907.
Demografi
suntingDi provinsi Kepulauan Bangka Belitung, warga memiliki beragam suku bangsa dan agama. Dua komunitas paling banyak ialah suku Melayu dan Tionghoa, dan ada juga suku asli lainnya yakni suku Sawang. Dua kelompok suku yang mewakili kurang lebih 90% suku yang ada, yakni suku Melayu 60% dan Tionghoa 30%.[4] Selebihnya adalah suku pendatang dari luar pulau Bangka Belitung, seperti suku Jawa, Sunda, Bugis, Batak, Minang, Aceh, Minahasa dan suku lainnya.[4]
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik kabupaten Bangka Barat tahun 2020, bahwa masyarakat di kecamatan ini memiliki keberagaman agama. Adapun persentasi penduduk menurut agama ialah Islam 91,20%, kemudian Kristen 3,28% (Protestan 2,19% dan Katolik 1,09%), Budha 3,15%, Konghucu 2,36% dan Hindu 0,01%.[3]
Desa/kelurahan
sunting- Kelurahan
- Desa
Referensi
sunting- ^ "Satpolairud Babar Datangi TI Selam Perairan Tanjung Ular". rri.co.id. 21 Mei 2024.
- ^ a b "Visualisasi Data Kependudukan - Kementerian Dalam Negeri 2021" (visual). www.dukcapil.kemendagri.go.id. Diakses tanggal 6 Agustus 2021.
- ^ a b "Kecamatan Muntok Dalam Angka 2020" (pdf). www.bangkabaratkab.bps.go.id. hlm. 11 & 116. Diakses tanggal 24 Januari 2021.
- ^ a b "Suku Bangsa Bangka Belitung". www.senibudayaku.com. Diakses tanggal 24 Januari 2021.