Mernangen adalah salah satu tradisi lisan masyarakat suku Pakpak yang berupa nyanyian ratapan, dilakukan oleh kaum perempuan sebagai ekspresi emosional melalui seni bernyanyi dan bercerita. Tradisi ini umumnya terjadi saat perempuan menjalankan pekerjaan sehari-hari, seperti menganyam tikar (membayu) atau bercocok tanam. Mernangen tidak hanya menjadi bagian dari kehidupan, tetapi juga sarana meluapkan perasaan sedih, keluh kesah, dan pengalaman hidup.[1]

Pelaku dan Pelaksanaan

sunting

Tradisi mernangen biasanya dilakukan oleh perempuan dewasa, terutama para ibu, meskipun kadang-kadang perempuan muda atau gadis juga turut melakukannya. Kegiatan ini sering berlangsung dalam suasana kerja bersama, yang dalam bahasa Pakpak disebut abin-abin (gotong royong). Sebelum mernangen dimulai, para peserta abin-abin biasanya bercengkerama sambil bekerja. Salah satu dari mereka kemudian mengubah gaya bercerita menjadi bernyanyi, menyampaikan isi hatinya dengan penuh penghayatan.

Isi dari mernangen sering kali mencerminkan pengalaman hidup sehari-hari, perjuangan rumah tangga, hingga ungkapan kesedihan. Dalam prosesnya, si pernangen (pelaku mernangen) sering kali menangis, dan tangisannya dapat mengundang peserta lain untuk ikut larut dalam kesedihan yang dirasakan. Kemampuan si pernangen dalam menyampaikan ratapannya menjadi kunci untuk membuat pendengar ikut terhanyut dalam suasana.[2]

Referensi

sunting
  1. ^ "Menanda Tahun Di Delleng Simenoto Ritual Budaya Peninggalan Leluhur Tanah Pakpak". Pakpak Bharatkab. 2023-02-13. 
  2. ^ Nasution, Askolani; Siregar, Tikwan Raya; Hutasuhut, Anharuddin; Hamdani, Nasrul; Sinulingga, Jekmen; Rehulina, Eka Dalanta; Sekali, Mehamat Karo; Herlina, Herlina; Padang, Melisa (2021). Sibrani, Robert, ed. Ensiklopedia kebudayaan Kawasan Danau Toba. Banda Aceh: Balai Pelestarian dan Nilai Budaya Aceh. ISBN 978-623-6107-05-8.